"Sendirian saja. Mbak??"
Pertanyaan itu kerap terlontar saat aku menikmati perjalanan "ecek-ecek" lintas kota, lintas provinsi di atas moda kendara umum baik itu bus ataupun kereta api. Biasanya hanya aku jawab dengan anggukan atau senyuman.
Bagiku, tidak ada kata sendiri dalam perjalanan yang telah aku tempuh. Ada Tuhan, sang penentu ke mana arah kaki melangkah yang aku yakini menjadi penggerak atas tiap kepindahan ruangku. Dari satu perjalanan ke perjalanan yang lain.
Sungguh bersyukur aku tumbuh pada zaman yang tidak lagi mengekang perempuan untuk "keluyuran" di luaran. Apa jadinya jika aku hidup di zaman sebelum maraknya emansipasi, tidak ada nafas panjang yang mampu meredakan penat akibat terlalu lama berada di dalam rumah.
Sekelumit kisah sempat aku dengar bahwa pada usia yang terlalu dini yakni 3-4 bulan pasca dilahirkan aku telah diajak menempuh perjalanan. Antara Jakarta dan Tegal, di situlah awal perjalanan hidup yang kemudian mengakar hingga sekarang bahkan mungkin nanti.
Percaya tidak percaya, tanda lahir itu ada. Andeng-andeng alias tahi lalat yakni titik kecil berwarna hitam menjadi noktah yang melekat persis di kulit tumit kaki sebelah kiri. Berharap bukan sebuah kutukan, ketika ibu kerap berucap aku akan menjadi orang yang suka ngeluyur alias kuat jalan, ayo saja jika diajak jalan.
Konon petunjuk andeng-andeng ada di bagian tubuh yang mana dan bagaimana pengaruh pada orangnya bisa dilihat di primbon Jawa "betaljemur". Begitu salah satu sumber referensi kekunoan patut menjadi rujukan literasi pada zaman kekinian.
Â
Setiap kita pasti pernah menempuh perjalanan. Aku masih belum cukup PD (percaya diri) disebut sebagai seorang traveller. Apalah arti perjalanan sederhanaku jika dibanding dengan perjalanan manca negara yang kerap ditempuh oleh mereka dengan segala cerita. Kemudian tren gaya hidup travelling pun belakangan banyak disuka. Ah, aku hanya pejalan biasa.
Jika boleh jujur, "Minggat" adalah petualangan yang patut disebut sebagai sebuah awal perjalanan hidupku. Bukan saat studi tour atau darma wisata sekolah. Melainkan saat kabur dari rumah. Tak tanggung-tanggung, untuk ukuran perempuan berusia 17 tahun saat itu. Pergi sendirian menggunakan bus malam tanpa arah tujuan. Sekadar ingin menunjukkan sebuah perlawanan.