Mohon tunggu...
Tamita Wibisono
Tamita Wibisono Mohon Tunggu... Freelancer - Creativepreuner

Penulis Kumpulan Cerita Separuh Purnama, Creativepreuner, Tim Humas dan Kemitraan Cendekiawan Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Ke Museum Bahari Aku kan Kembali

22 Juli 2019   19:59 Diperbarui: 22 Juli 2019   20:07 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
miniatur kapal koleksi museum bahari dok. Muthiah al hasani

Sebulan lalu Propinsi DKI Jakarta merayakan Ulang tahunnya. Banyak acara yang dihelat untuk memperingati momentum  bertambahnya usia ibukota Propinsi yang 13 kali  berganti nama itu. Sebut saja Sunda Kelapa (abad ke 14). Nama ini hingga kini melekat pada sebuah kawasan masjid di kawasan Menteng sekaligus tetap menjadi nama pelabuhan Sunda Kelapa yang lokasinya tidak jauh dari museum bahari yang saya kunjungi.

Eksplorasi kecil bertajuk sejarah dalam rangka HUT Jakarta ini digagas oleh CLICK, salah satu komunitas kompasiana yang selama ini menaungi para Commuterliners. Siang yang menyengat tak menjadi penghalang langkah 5 orang termasuk saya untuk berkumpul di stasiun Jakarta Kota yang ditetapkan sebagai meeting point. Dari kawasan stasiun Jakarta Kota, rombongan melanjutkan perjalanan dengan menggunakan Trans Jakarta wisata. Tak butuh waktu lama untuk sampai di kawasan museum Bahari, Persis di halte yang letaknya berada tak jauh dari bangunan kuno bertuliskan VOC itulah kami turun dan berjalan kaki menyeberang menuju museum Bahari.

berpose bersama wisatawan manca negara yang berkunjung ke museum Bahari dok. Muthiah Alhasani
berpose bersama wisatawan manca negara yang berkunjung ke museum Bahari dok. Muthiah Alhasani
Bangunan yang terlihat kuno yang sebagian berbahan kayu itu masih kokoh berdiri. Meski beberapa tahun lalu tersiar kabar si jago merah berhasil melalap sebagian arealnya, namun museum Bahari kini kembali berbenah. Nyata, siang itu tak hanya kami yang mengunjunginya. Beberapa wisatawan domestik asyik berfoto ria di sudut museum yang menyimpan aneka diorama sejarah perdagangan hingga tokoh-tokoh sejarah sewaktu masa berjayanya Sunda Kelapa.

Seorang wisatawan manca yang mengaku datang dari Saudi Arabia cukup mengundang perhatian kami. Diawali dengan percakapan ringan sebagai wujud keramahan kami pada tamu asing, sang wisatawan nyatanya cukup mengusai sejarah perdagangan yang melibatkan tokoh dari negara asalnya. Kepadanya, Muthiah Alhasany tak mau kalah mengeluarkan pengetahuan sejarah Jakarta dan menyebut tokoh sejarah yang dikenal dengan nama Fatahillah alias Faletehan. Diskusi ringan dengan wisatawan manca cukup membuat kami asyik menunjuk diorama tokoh dari berbagai negara yang pernah singgah dan melakukan transaksi perdagangan di kawasan sunda kelapa. Selain dari Saudi Arabia, China, Eropa  pun sempat mewarnai nafas perdagangan antar pulau. Wajar jika  Museum ini dinamakan museum Bahari, mengingat tersimpan jejak kejayaan maritim di waktu yang lampau.

Sunda Kelapa sendiri kemudian berganti nama menjadi Jayakarta oleh Fatahillah pada pada 22 Juni 1527. Hal itu dilatarbelakangi oleh sebuah peristiwa sejarah dimana Fatahillah berhasil mengusir Portugis dari kawasan Sunda Kelapa. Dalam sejarah, Portugis tercatat sebagai salah satu negara yang menjajah sebagian wilayah Indonesia, termasuk kawasan Jakarta yang kala itu bernama Sunda Kelapa.

Satu hal yang menjadikan Indonesia sebagai tanah jajahan adalah potensi rempah-rempah yang sedemikian menggiurkan untuk diperdagangkan di lintas manca. Tak heran di Museum Bahari ini, terdapat ruangan yang menyimpan aneka jenis rempah-rempah yang menjadi komoditas perdagangan maritim dari dulu hingga sekarang. Aneka Jenis rempah-rempah tersebut antara lain Pala, Cengkeh, Kayumanis, Lada putih ataupun HItam, Kemiri, Kayu Lawang, Adas, Kapulaga dan satu nama yang mungkin terdengar asing yakni Jungrahab.

dok.pri Jung rahab, salah stau jenis rempah-rempah yang sudah langka keberadaannya kini
dok.pri Jung rahab, salah stau jenis rempah-rempah yang sudah langka keberadaannya kini
Museum Bahari memiliki perpustakaan yang cukup lengang. Tak banyak pengunjung museum bahari yang singgah di perpustakaannya yang berada di lantai 2. Saya menyempatkan diri untuk melihat koleksi buku-buku tak tampak tertata rapi. Suhu ruangan yang dingin efek dilengkapi dengan AC membuat saya sedikit rileks dari cuaca panas disekitar lokasi museum. Sayang, belum banyak pohon yang di tanam di sekitar kawasan ini. Hawa pelabuhan yang panas menjadikan bangunan yang terletak di Jalan Pasar Ikan nomor 1 ini menjadi kalah pamor dengan kawasan lain di Jakarta yang lebih rindang. Setelah puas mengulik koleksi buku saya  kembali turun dan melihat koleksi replika kapal. Slaah satunya replika kapal Pinisi yang tenar dengan kejayaannya mengarungi Lautan lintas pulau.

Nah siapa belum pernah mengulik jejak sejarah di Museum Bahari? Yuks agendakan, sebab saya pun berencana akan kembali, alias kesana lagi

miniatur kapal koleksi museum bahari dok. Muthiah al hasani
miniatur kapal koleksi museum bahari dok. Muthiah al hasani

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun