Mohon tunggu...
Tamita Wibisono
Tamita Wibisono Mohon Tunggu... Freelancer - Creativepreuner

Penulis Kumpulan Cerita Separuh Purnama, Creativepreuner, Tim Humas dan Kemitraan Cendekiawan Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Andhum Basuki: Sebuah Filosofi Berbagi

6 April 2019   06:53 Diperbarui: 6 April 2019   07:04 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok.Pri Suatu Hari bersama Warga Tengger- Desa Ngadas- Poncokusumo -Lereng Bromo

Merawat Takdir Pertemuan, begitu kalimat ini saya pinjam dari Kompasianer yang kerap mengajak madyang-madyang. Dialah bozz madyang alias Rahab Ganendra, nama yang terlintas muncul saat mbah ukik alias mas Ukik mengajak saya beberapa bulan lalu untuk berkunjung ke kawasan Bromo. 

Entah kenapa, tawaran itu datang begitu tanpa ba bi bu, ini itu. Rencana semula perjalanan ke kawasan Bromo ini akan pula diikuti oleh beberapa Kompasianer dari Malang. Namun dalam perjalananya, Tuhan menghendaki hanya kami berlima saja yang kemudian melanjutkan rencana menjadi nyata.

Rencana mengunjungi Bromo dan kawasan sekitarnya bukanlah sebuah proses Instan. Dua bulan perencanaan yang sedemikian matang rupanya tengah disiapkan oleh mbah ukik selaku tuan rumah. Termasuk penyesuaian jadwal dengan personil yang berkenan hadir.  Informasi seputar cuaca dan suasana kawasan Bromo disampaikan dengan sedemikian detail. Maklum Januari-Februari, intensitas curah hujan relatif tinggi. 

Cenderung beresiko jika memaksakan diri mengunjungi Bromo. Jelang Akhir Maret lalu,  barulah menjadi "hari baik" bagi kami untuk menjejak tapak kaki di kawasan Bromo- Tengger- Semeru via jalur Tumpang, Kabupaten Malang.

dokpri
dokpri

Seminggu sudah , takdir pertemuan itu berlalu.Biasanya kami sebagian yang aktif berkegiatan off line baik Nangkring ataupun On location Kompasiana bertemu di sebuah "panggung" bersama. 

Maka, takdir pertemuan yang dipantik oleh sebuah undangan khusus ala mbah ukik sekeluargapun kami sambut dengan penuh suka cita. Terlebih ada mbak Aridha yang bagi saya merupakan  nama baru. Padahal sejatinya  merupakan kompasianer lawas yang hadir dari Surabaya untuk turut serta bersama kami selama kurang lebih 3 hari dua malam

Singkat cerita, koordinasi via grup WA sementara yang sekarang sudah bubar dengan sendirinya menjadi cara kami untuk berkirim informasi seputar persiapan kedatangan ke Malang dan seterusnya menuju Kawasan Bromo. Itenary layaknya trip ala traveller pun mbah ukik siapkan Beserta informasi tempat kami menginap yang membuat kami kian penasaran.

dokpri
dokpri

Rabu Legi, 27 Maret 2019 menjadi hari yang sangat dinanti. Bukan Takdir pertemuan biasa. Begitu gumam saya. Dengan semangat 45, dini hari saya menempuh perjalanan Madiun-Malang via Surabaya dengan bus. Masing-masing hanya selisih 30 menit. Mbak Aridha, personil yang datang pertama di titik kumpul penjemputan. Disusul saya baru kemudian bozz madyang. 

Gass poll, begitu konsep tour hari pertama. Begitu sampai, mbah ukik beserta istri langsung memboyong kami menuju kawasan Tumpang, tepatnya desa Tulus Besar. Di tengah perjalanan, isi bensin alias madyang ala breakfast and lunch kami lakukan. 

Sebagai tuan rumah, mbah ukik tangap ada kompasianer yang doyan gerebeg makanan dimana mana. Pagi menjelang siang kala itu pun menjadi saksi, si bozz madyang menikmati sajian Sego Tempong khas Banyumas sembari memandang sawah yang menghampar sebagai bonus pemandangan yang jarang ditemui di resto atau warung Ibukota.

dokpri
dokpri

Setibanya di Tulus Besar, kami bergant moda transportasi dari yang semula sedan feminim menjadi kendaraan macho, Jipp Kapasitas 6 orang penumpang. Mbah Ukik pun mengenalkan driver Jipp dari komunitas Gimbal Alas  Indonesia bernama mas Agus. 

Dengan Jip yang tampak tangguh ini juga selama dua hari berturut-turut kami akan menjelajah Kawasan yang masuk dalam wilayah Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. 

Siang yang menyengat terasa begitu bersahabat bagi perjalanan menuju destinasi pertama, Desa Ngadas Kecamatan Ponco kusumo Kabopaten Malang. Tak sedikit pun lelah terpancar dari wajah kami. Jipp memasuki kawasan nan asri, sejuk berseri. 

Taman Nasional Bromo Tengger Semeru begitu menyajikan pemandangan hutan yang teramat perawan dari kejauhan. Meskipun Mbah Ukik sempat memperlihatkan sebagian kawasan hutan yang tampak berkurang kerimbunannya.

Bagi saya yang lebih dari 3 kali melintas kawasan Lawu, medan terjal menuju Bromo menjadi khasanah yang seolah menggenapkan ruang jelajah saya selama ini. Meski keindahan antara Lawu dan Bromo bukanlah untuk saling cari siapa yang lebih diantara keduanya. 

Bagi saya, Lawu, Bromo,Slamet hingga Gunung-gunung lain yang menjadi penanda negara kita kita adalah negara cincin Api  menjadi simbol kebesaran Ilahi. Sekaligus menjadi perantara Syukur tak terperi bagi insan yang diberi kesempatan untuk menikmati keindahan alam nan hakiki.

Matahari sudah lewat sepenggalah saat rombongan kecil kami memasuki kawasan desa Adat Ngadas. Sekitar 1 jam perjalanan dari Tumpang memngantarkan kami pada sebuah peradaban anak negeri. Wonderfull Tengger. kabut Sebagian menyelimuti areal Ngadas. Sejuk napa dingin yang menusuk. Tenang bak akan menjadi tempat yang selalu dikenang.

dokpri
dokpri

Meski Ngadas bukan satu-satunya tempat bermukim suku Tengger, Namun diyakini, suku Tengger di Ngadas inilah yang hingga sekarang masih memegang erat tradisi budaya. Bukan sebuah kebetulan, Warga Tengger yang bermukin di Ngadas sedang melakukan sebuah sembahyangan yang rutin digelar setiap rabu,  khususnya Rabu legi.

Kebhinekaan begitu kentara terlihat di Ngadas. Vihara, Pura dan Masjid hanya berjarak sejengkal saja. Suku Tengger memgang teguh toleransi keyakinan. Sebagian meyakini Budha 'kasunyatan" atau Budha "Jawa", Sebagian lagi meyakini Hindu sebagai sebuah sinkretisme nilai yang ada. 

Dan tak terkecuali suku Tengger pun ada yang memeluk Islam. Mereka tumbuh dalam kehidupan yang penuh kasih dan toleransi yang melingkupi.

Warga Tengger begitu terbuka dengan mereka yang datang sekedar untuk bertandang. Hingga kami pun tak segan untuk bergabung duduk bersama warga mendengar semacam penyampaikan petuah bijak oleh seorang "Romo". Dalam islam tak jauh berbeda dengan semacam pengajian lebih tepatnya Jiping alias Ngaji Kuping.

dokpri
dokpri

Semua yang disampaikan adalah bersifat kebaikan. Mengingatkan warga Tengger untuk tetap mengedepankan cinta kasih dan tidak lupa untuk berbagi. Hasil bumi yang melimpah menjadi sarana utama mereka dalam berbagi selama ini. Seperti dalam hidangan sesaji yang mereka bawa. 

Untuk kemudian dinikmati bersama. Sederhana namun penuh makna. Seperti halnya kentang Ngadas yang direbus, Nasi liwet dari hasil panen Padi Gogo, Telur ayam kampung rebus, Sambel, dan rebusan daun kelor.  Sehat, nikmat tanpa campuran bahan kimia yang cukup berarti.

menjelang Sore,Sejenak kami pun pamit dari Ngadas. Setelah sebelumnya kami menyusuri jalan-jalan desa yang menghubungkan ke Pura. Kami singgah di Balai desa. Hingga sapaan hangat dari warga yang kami lewati semabri berkata sopan : "Pinaraakkk", yang kurang lebih mempersilahkan kami mampir duduk singgah di rumahnya. Ah, pengelaman ke Ngadas sungguh belumlah tentu terulang dalam waktu dekat. Dan semua itu biarlah melekat dalam tulisan singkat.

dok. Rahab Ganendra
dok. Rahab Ganendra

Tentang Andhum Basuki, dimana Warga Tengger begitu memiliki cara untuk berbagi bersama kami. Begitupun mbah Ukik dan istri, yang telah membagi waktu, tenaga, kebahagiaan, hingga keindahan kawasan Bromo-Tengger-Semeru kepada kami. Andhum Basuki, sebuah filosofi berbagi dari peraih Kompasiana Award untuk The Best Netizen Journalist dan People Choise. 

Terima Kasih tak terkira kagem Mbah Ukik beserta istri.Tak sekedar berbagi melalui tulisan-tulisannya saja selama ini. Begitupun lelaki yang bernama asli Pak Basuki ini ternyata begitu bermurah hati untuk berbagi kepada kami.

Note : 

Dont Miss it,Tulisan tentang menapak Jejak di Bromo dan Padepokan Mangun Dharmo  The Bromo Series ///

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun