Mohon tunggu...
Tamita Wibisono
Tamita Wibisono Mohon Tunggu... Freelancer - Creativepreuner

Penulis Kumpulan Cerita Separuh Purnama, Creativepreuner, Tim Humas dan Kemitraan Cendekiawan Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Kang Tham Son Mantu

13 Maret 2019   04:08 Diperbarui: 13 Maret 2019   04:20 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. Keluarga Thamrin Sonata

Drrrrreeeeettttt...

Drrrrrrreeeettttttt...

Drrrrrrrrrrrrrrrrrrreeet....

Getar gawai diatas meja samping dipan membuatku beranjak dari lelap tidur siangku. Sengaja aku silent memang. Hanya getar saja yang menjadi pertanda  notifikasi pesan  ataupun panggilan masuk. Sembari menguap dan ngulet alias meregangkan badan tanganku menjangkau gawai itu. Layar masih menyala pertanda ada notifikasi yang belum lama masuk.

Layar gawai memperlihatkan pukul 16.30. Hari sudah sore, saatnya bangun dan membersihkan diri. Apa daya, gawai ini menahanku barang sejenak untuk tetap berada di atas tempat tidur. Lincah jari ku mengusap layar. Aplikasi whaashap telah membuat sms menjadi nir-fungsi. Hanya kelompok tukang tipu-tipu yang masih menggunakan jalur sms untuk mencari korban. Bak menebar jala berharap ada ikan yang terperangkan didalamnya. Modus iming-iming hadiah jutaan hingga puluhan bahkan ratusan juta mereka tawarkan melalui sms yang asal-asalan.

wuihhhh...pesan WA masuk begitu banyaknya. Beberapa bahkan merupakan panggilan jalur WA. Pun terdapat Panggilan tak terjawab lainnya. Terekam ada 10 kali panggilan tak terjawab dari nomor yang tersimpan atas nama Kang Tham Son. Wah, ada gerangan apa tuan?!. Bagiku, Kang Tham Son sudah seperti keluarga sendiri. Padahal belum genap 5 tahun aku mengenalnya. Siapa yang menyangka, dibalik namanya yang tampak berirama itu sejatinya dia adalah tetangga kampung.

"Ya Kang..maaf baru bangun tidur" begitu aku menulis di aplikasi Whashaap

Sejurus kemudian panggilan masuk dari yang bersangkutan langung aku terima.

"Jadi gini, aku lagi sibuk persiapan mantu"

"bla....bla...bla..." 

seperti biasa gaya bicaranya tak jauh berbeda dengan gaya menulis yang kerap dilakoninya. Logat, intonasi dan pemilihan kata nyaris sama dengan karya-karya yang dihasilkannya. Cerpen Minggu Pagi, ah itu sih hanya salah satunya. Profesi wartawan lawas pun sudah ia tanggalkan. Namun jiwa merangkai kata tetap ada dalam dirinya yang kini sudah tidak lagi muda. Baginya, banyak media untuk tetap menulis. Dari Blog Keroyokan macam Kompasiana misalnya, dia pun membidani penerbitan buku minor alias Indie dari mereka yang telah mematenkan karya-karyanya.

Kang Tham Son dengan gaya penulisan yang khas menjadi salah satu punggawa komunitas pecinta buku alias kutu buku. Jauh sebelum berkomunitas ria seperti sekarang. Sejatinya aku awal mengenalnya melalui bedah buku online yang digelar oleh para Rumpies the club. Dari aktifitas tersebut aku dikiriminya novel terjemahan berjudul Got Set a Watchman karangan Harper Lee.

Gayung bersambut, beberapa kali kolaborasi terkait buku dan dunia literasi ala kami pun terlakoni. Meski jujur aku punya Hutang yang sampai saat ini belum terbayar. Ya, hutang itu berupa rencana untuk menerbitkan buku karya ku sendiri. Beberapa tulisanku sempat dibukukan dalam bentuk ontologi. Namun aku janji sama kang Tham Son, bahwa aku pengen bisa menerbitkan buku karya pemikiranku utuh. Tidak harus yang terkesan berat, berbobot dan Intelek. Buku Fiksi pun akan aku jabani. Biar hutang itu bisa lunas.

"Wah Kang, aku sudah lama aku pengen bisa ke Bali"

"Tapi sikon masih belum selo ini"aku menimpali bak  dua sisi mata uang yang menggambarkan keadaan. 

Antara keinginan dan harapan bisa jalan ke Bali, tetapi konsidinya memang belum memungkinkan. Alhasil aku pun hanya bisa berdecak menahan keinginan dan menghela nafas pelan.

Bukan aku tidak sopan dan tidak menghormati kang Tham Son yang bisa dibilang senior. Tapi begitulah, caraku "nguwongke" tetangga kampung. Utamanya  dengan bahasa Ibu, yang tanpa basa basi. Cenderung Cablaka dan apa adanya. Tidak bermanis-manis di depan. Namun jika sedang pahit tak segan aku akan mengatakan.

 Kang Tham Son tahu persis. Sebab sejatinya kami pernah bermukim di garis pesisir yang sama. Pesisir Pantura. Tegal - Pemalang dengan dialek ngapak. Sementara khusus daerah Pemalang ada imbuhan "Ra" diakhir sebuah kalimat yang diucapkan dalam nada yang sedikit memanjang. Misalnya :"Iya Ra...."

"oke nanti aku kontak lagi"

(terdengar dari belakang , ramai suara orang mengajak bicara Kang Tham Son)

Gawai masih aku pegang. Satu per satu pesan yang kebanyakan berasal dari Grup WA aku baca. Tanpa sadar 30 menit sudah aku mengulur waktu bercengkrama dengan gawai. Satu pesan masuk sebelum aku meletakkan gawai ke tempat semula.

Kang Tham Son mengirim undangan digital.  Aku mengamati desain undangan yang sederhana namun cantik, menarik dan ciamik. Zaman Milenials gitu loh. Saatnya undangan pernikahan tak harus berwujud fisik. 

Arrrrggg sayang sekali, aku belum bisa menyaksikan dan hadir di hari bahagia Kang Thamson sekeluarga di Bali sana. Bali memang eksotis dan romantis. Pantas saja belakangan Kang Tham Son bertolak ke Bali dan memamerkan beberapa foto selama disana. Jebul, Putranya berjodoh dengan gadis Bali.

#####

Beberapa Hari Kemudian...

######

Hari gini segala lini komunikasi didukung oleh berbagai aplikasi. Tak terhubung di WA, siapapun bisa tetap terhubung melalui jalur lainnya. Messanger salah satunya. Foto perempuan cantik menyapaku. Aku lekas mengenali. Sebab ada wajah orang yang aku kenal. Ah senang rasanya bisa mengenal keduanya.

Yu Nuning istri dari Kang Tham Son membuka percakapan. Seperti biasa, dua perempuan kalo sudah bercerita pastinya mengalir eh mengular keman mana. Namun tetap berujung pada sebuah moment bahagia. Kang Tham Son Mantu.

"ayo kapan kesini, biar tambah rame" Meski bercakap lewat tulisan, namun suasana batin nan akrab membuatku riang gembira membaca chat dengan Yu Nuning.

"Iya nih Yu, pengen bisa ke Bali tapi belum memungkinkan...Nanti kapan-kapan tak mampir Bekasi saja ya" begitu kilahku

Ah Bali...salah satu pusat peradaban budaya nan adiluhung. Aku membayangkan suasana pernikahan di Bali, sebuah ensiklopedi yang belum aku miliki. Selama ini untuk konsep pernikahan aku cenderung Jawa Centris. Sayang sungguh sayang sikon belum memungkinkan.

Dan Esok, Akad nikah dan walimatul Ursy akan dihelat di kediaman Kang Tham Son di Bekasi. Apa daya aku masih tertahan disini. Dan Kang Tham Son pun mahfum bahwa jangan memaksakan diri ke Bekasi. Atas seizin shahibul bait, aku pun berinisiatif menjadi Toa kecil...penyampai pesan bahagia itu. Mengabarkan pada mereka yang dekat seperti keluarga. Bukan sebagai bisik-bisik tetangga.

Sssssttt...sssssttt Kang Tham Son Mantu...

Kiranya Tulisan ini pun menjadi Kado yang tak "seberapa" dari ku

Lazimnya Kado dari aku yang tengah digodok untuk lihai menulis, maka hanya tulisan ini yang bisa aku jadikan sarana untuk turut berbahagia, bersuka cita atas pernikahan ananda Kang Tham Son dan Yu Nuning pastinya...

Salam tempel kata-kata..

kado sambel pecel dkk menyusul ya..

hehehehehe

Mediyoen, 13 Maret 2019

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun