Kang Tham Son dengan gaya penulisan yang khas menjadi salah satu punggawa komunitas pecinta buku alias kutu buku. Jauh sebelum berkomunitas ria seperti sekarang. Sejatinya aku awal mengenalnya melalui bedah buku online yang digelar oleh para Rumpies the club. Dari aktifitas tersebut aku dikiriminya novel terjemahan berjudul Got Set a Watchman karangan Harper Lee.
Gayung bersambut, beberapa kali kolaborasi terkait buku dan dunia literasi ala kami pun terlakoni. Meski jujur aku punya Hutang yang sampai saat ini belum terbayar. Ya, hutang itu berupa rencana untuk menerbitkan buku karya ku sendiri. Beberapa tulisanku sempat dibukukan dalam bentuk ontologi. Namun aku janji sama kang Tham Son, bahwa aku pengen bisa menerbitkan buku karya pemikiranku utuh. Tidak harus yang terkesan berat, berbobot dan Intelek. Buku Fiksi pun akan aku jabani. Biar hutang itu bisa lunas.
"Wah Kang, aku sudah lama aku pengen bisa ke Bali"
"Tapi sikon masih belum selo ini"aku menimpali bak  dua sisi mata uang yang menggambarkan keadaan.Â
Antara keinginan dan harapan bisa jalan ke Bali, tetapi konsidinya memang belum memungkinkan. Alhasil aku pun hanya bisa berdecak menahan keinginan dan menghela nafas pelan.
Bukan aku tidak sopan dan tidak menghormati kang Tham Son yang bisa dibilang senior. Tapi begitulah, caraku "nguwongke" tetangga kampung. Utamanya dengan bahasa Ibu, yang tanpa basa basi. Cenderung Cablaka dan apa adanya. Tidak bermanis-manis di depan. Namun jika sedang pahit tak segan aku akan mengatakan.
 Kang Tham Son tahu persis. Sebab sejatinya kami pernah bermukim di garis pesisir yang sama. Pesisir Pantura. Tegal - Pemalang dengan dialek ngapak. Sementara khusus daerah Pemalang ada imbuhan "Ra" diakhir sebuah kalimat yang diucapkan dalam nada yang sedikit memanjang. Misalnya :"Iya Ra...."
"oke nanti aku kontak lagi"
(terdengar dari belakang , ramai suara orang mengajak bicara Kang Tham Son)
Gawai masih aku pegang. Satu per satu pesan yang kebanyakan berasal dari Grup WA aku baca. Tanpa sadar 30 menit sudah aku mengulur waktu bercengkrama dengan gawai. Satu pesan masuk sebelum aku meletakkan gawai ke tempat semula.
Kang Tham Son mengirim undangan digital. Â Aku mengamati desain undangan yang sederhana namun cantik, menarik dan ciamik. Zaman Milenials gitu loh. Saatnya undangan pernikahan tak harus berwujud fisik.Â