Mohon tunggu...
Tamita Wibisono
Tamita Wibisono Mohon Tunggu... Freelancer - Creativepreuner

Penulis Kumpulan Cerita Separuh Purnama, Creativepreuner, Tim Humas dan Kemitraan Cendekiawan Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

"Abangan", Santri, dan Prabowo

4 Maret 2019   05:19 Diperbarui: 6 Maret 2019   10:46 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terinspirasi dari buku lawas karya Clifford Geertz : Abangan, Santri dan Priyayi, artikel ini saya tulis. Karya besar Anthropolog budaya dari Amerika Serikat yang menaruh perhatian besar pada kebudayaan masyarakat Indonesia ini begitu lekat dan kerap menjadi sumber rujukan sosial agama, budaya dan politik. Bukan bermaksud teoritis, namun kondisi sosial politik belakangan ini  cukup menarik untuk ditelisik. 

Saya bukanlah dalam kapasitas seorang Anthropolog. Meski saya pernah dengan sangat singkat mencicip pembelajaran di pasca sarjana Anhtropologi UI tahun 2007. Meski  gagal secara formal akademik, namun minat saya untuk berada di  tengah suasana budaya masyarakat Indonesia tidak serta merta memudar. Tulisan ini pun terdukung oleh suasana kebatinan  Pilpres 2019 yang memunculkan kandidat penuh kontrovesi dari segi sosial keagamaan , Prabowo Subianto. 

Politik tidak akan  bisa lepas dari struktur masyarakat. Apapun itu bentuknya, acapkali politik menjadikan masyarakat sebagai objek pencarian dukungan suara. Terlebih dalam sistem demokrasi langsung seperti sekarang ini. Keterwakilan suara dari beberapa struktur masyarakat begitu antusias dijadikan sebagai indikator kekuatan dukungan. Sebut saja Emak-emak dan kelompok milenials ala Prabowo Sandi. Begitupun dengan Jokowi- Ma'ruf Amin yang tak kalah memiliki dukungan suara dari kalangan santriwan-Santriwati, hingga kelompok alumni perguruan tinggi dari berbagai daerah.

Jauh berbeda dengan kondisi yang dipaparkan oleh Geertz pada tahun 50-an, bahwa salah satu struktur lapisan masyarakat Indonesia, Jawa Khususnya  santer disebut dengan "Abangan". Abangan dalam era itu menjadi kelompok sosial masyarakat yang patut diperhitungkan. Namun kini, maraknya aliran Islam fanatik yang identik dengan HTI, kaum pengusung cita-cita khilafah yang banyak mendukung Prabowo membuat kelompok abangan  kurang muncul ke permukaan sebagai entitas budaya sekaligus struktur sosial masyarakat yang patut diperhitungkan.

Abangan yang dalam kacamata saya mewakili unsur masyarakat asli Indonesia. Mereka yang mengenal Islam sebagai suatu keyakinan namun tetap menjalankan norma budaya lokal. "Abangan" terwakili dalam wajah sebagian "wong cilik" yang berjibaku di beberapa bidang profesi.

Sebut saja petani, tukang becak, sebagian perempuan di desa yang aktif sebagai ibu rumah tangga biasa hingga sebagian mereka yang menjadi pedagang konvensional di pasar tradisional. Wajah "Abangan" kerap kali membaurkan Islamisme, Hinduisme, hingga tradisi Animisme dalam satu sistem sosial. Relatif tidak ada pertentangan dalam diri "abangan".

Surga dan neraka bagi kelompok abangan bukan sekedar dogma agama yang mudah diucapkan. Melainkan cerminan dari sikap dan perilaku welas asih kepada sesama bahkan kepada hewan sekalipun. "Abangan" acapkali terpinggirkan karena sebagain masih mengganggap abangan sebagai kelompok menengah ke bawah.

Namun secara jumlah, kaum  Abangan patut diperhitungkan sebagai struktur sosial yang dapat menentukan selisih angka kemenangan bagi kandidat Presiden 2019. Biar bagaimana pun, itulah struktur sosial yang asli dan alami terbentuk di Indonesia. Bukan struktu sosial masyarakat yang justru banyak mengadopsi "Islam ke-Arab-araban" yang justru terkesan melahirkan tindakan radikal. Padahal Islam di Arab sana tidak sepenuhnya seperti dalam tafsir kalangan pendukung Khilafah Indonesia.

Struktur berikutnya adalah "santri. Sejak dulu hingga sekarang kelompok yang berdiam di Pondok pesantren di bawah asuhan Kyai ,alim ulama ini masih tetap berhasil mempertahankan entitas sosialnya. Santri begitu  diperhitungkan suara politiknya. Saking besarkan ekpekstasi terhadap dukungan politik dari kalangan santri, maka istilah santri milenial pun dimunculkan. Dalam kesejarahannya, baru kali ini santri identik dengan suasana gaya hidup berdasarkankan masa kekinian. Padahal selama ini pembagian kelompok santri hanya mengenal dua istilah saja yakni santri salafi dan santri modern.

Para kandidatpun berebut suara santri. Terlebih ada sosok Kyai di sebagai salah satu calon wakil presiden yang mendampingi Jokowi. Ya, nuansa keagamaan khususnya Islam begitu kuat mewarnai Pilpres 2019. Istilah Ijtima ulama pun muncul sebagai terobosan politik yang konon mendukung Capres 02. 

Meski untuk yang kesekian kali fakta keagamaan capres 02 cukup bertentangan dengan kelompok Islam yang berada di belakangnya. Entah kenapa kalangan pendukung Ijtima Ulama seolah bungkam manakala Prabowo secara terbuka merayakan natal bersama keluarga besarnya. Benarkah Prabowo muslim? sebuah pertanyaan yang hanya bisa dijawab oleh yang bersangkutan. Yang jelas Prabowo bukanlah seorang "abangan" apalagi "santri".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun