Setiap Imlek datang, setiap itu pula hujan meski sekedar rinai gerimis. Suasana itu seperti membawaku pada lorong waktu. Sekitar tahun 80-an, dalam rentang usaia 5-7 tahun aku merasakan sebuah momen yang hingga saat ini selalu terkenang saat Imlek datang. Kala itu imlek hanya dirayakan dalam lingkup kecil. Jarang ada pertunjukan barongsai atau liong yang bisa disaksikan masyarakat. Â
Masa kecil dulu tinggal tak jauh dari lingkungan pecinan. Pada umumnya mereka memiliki toko untuk berdagang. Dan persis di sebelah rumah nenek yang waktu itu kami tempati adalah keluarga keturunan Tionghoa.
Lekat dalam ingatan, sore itu masih di di akhir tahun 80-an gerimis mengguyur sedari pagi. Aku asik bermain air hujan di pelataran. Persis disebelah rumah, ada gerojokan air yang dialirkan dari pipa paralon.Â
Sembari bermain air, aku melihat rumah tetangga tampak  ramai. Hingga anak tetangga sebut saja mbak Vey yang usianya terpaut 2 tahun diatasku keluar sembari membawa makanan berwarna cokelat berbentuk bulat dalam kemasan plastik. Telunjuknya tampak asik mencolek makanan yang tampak masih lembek, kemudian memasukkannya ke dalam mulut.Â
Aku kecil begitu penasaran dengan rasa makanan itu. Â Dua anak kecil berbeda etnis, masing-masing saling menatap berbatas pagar besi. Aku kecil membayangkan lezatnya kue yang dinikmati mbak Vey.Â
Demikian kiranya mbak Vey pun ingin menikmati guyuran air hujan seperti yang sedang aku rasakan saat itu itu. Sesaat setelah itu, aku kecil merengek pada Ibu untuk bisa mencicipi kue yang dikenal dengan kue keranjang.
Sungguh, ini bukan kisah fiksi. Demi memenuhi permintaan anaknya, Ibu melakukan perjuangan luar biasa. Tak sabar menunggu Bapak pulang kerja, aku terus merajuk minta kue itu.Â
Hingga dalam hujan, dengan menggunakan becak langgakan, Ibu membawaku serta mencari dimana kue keranjang bisa didapatkan. Zaman belumlah seterbuka sekarang. Suasana perayaan Imlek saat aku kecil jauh dari kesan kentara.Â
Toko-toko yang rata-rata dimiliki oleh kalangan Tionghoa yang memungkinkan menjual kue keranjang semua tutup. Zaman itu supermarket belumlah berani memasang pernak pernik imlek atau pun menjual  kue keranjang.
Becak yang kami naiki mengarah ke sebuah bangunan yang dominan berwarna merah dan kuning. Kelak dikemudian hari, aku mengerti bahwa bangunan itu adalah Klenteng atau Vihara. Disana pula, Ibu berhasil memenuhi permintaan anaknya untuk mencicipi kue keranjang. Aku kecil begitu bahagia bisa menikmati jajan yang baru sekali aku rasakan. Meski aku tidak tahu persis cara Ibu mendapatkan kue keranjang itu. ingatan itu begitu mendalam. HIngga kini tiap imlek datang, memori tentang kue keranjang seolah "auto replay".
Awal tahun 1990-an, kami pindah rumah. Tidak lagi menempati rumah nenek yang bertetangga dengan keluarga dari kalangan Tionghoa. Usaha Sandal yang Bapak miliki berkembang cukup pesat.Â
Banyak pesanan sandal datang dari kalangan Tionghoa. Mereka bilang sandal Bapak awet. Sungguh bukan sebuah kebetulan. Saat aku mulai mengerti sebuah perbedaan seiring bertambahnya usia, aku seperti mendapatkan kebahagiaan tersendiri.Â
Misalnya saja, saat kami mengantar pesanan sandal ke pelanggan dari kalangan Tionghoa, Aku selalu diberi kue oleh keluarga mereka. Entah itu manisan buah hingga saat imlek di Tahun 90-an kami mendapatkan kue keranjang yang mereka bagikan.
Berteman dekat dengan mereka yang berasal dari kalangan Tionghoa menambah makna persaudaraan. Memanggil mereka dengan sebutan Jeje atau Cici bagi perempuan .Atau Koko atau Koh bagi laki-laki menjadi sebuah penghargaan tersendiri.
Tegal hingga kini memiliki komplek pecinan seperti halnya kota-kota lain di Indonesia, termasuk Medan. Tiap Imlek datang, lampion di pasang semarak menghias sepanjang jalan. Umbul-umbul hingga aroma dupa yang khas menjadikan kawasan sekitar Jalan Gurami yang terhubung ke Jalan Veteran terkesan etnis. Penjual kue keranjang dalam berbagai ukuran, warna, rasa dan kemasan menghias saat imlek menjelang.
Meski kini hidup  jauh dari Tegal, namun Imlek selalu menjadi momen yang aku rindukan. Kerinduan akan masa kecil, dan kerinduan terhadap kawan-kawan Tionghoa yang dekat. Bersyukur, anugerah persaudaraan dengan mereka seolah tak pernah putus. Tak jarang ada kawan yang mengirim kue keranjang saat imlek menjelang. Hingga pernah Ibu mengirim kue keranjang khusus dari Tegal sebagai sebuah pengingat akan kasih Ibu yang tak lekang oleh zaman.
Komplek pasar Gede solo meriah dengan lampion dan aneka atraksi budaya. Begitupun saat Imlek tahun 2017-2018 lalu. Sebuah kesempatan yang tidak saya lewatkan saat kawan-kawan Kompasianer Jogja mengadakan event bersama untuk menikmati Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta.
Hingga merasa begitu dekat dengan Pak Tjiptadinata Effendi beserta Ibu Lina, Kompasianer yang cukup dikenal selama ini. Tulisan tentang kisah hidup mereka selama di Medan begitu menginspirasi. Ataupun Kompasianer yang merayakan Imlek yang tak bisa disebut satu persatu.
Gong Xi Fat Choi
note :
Patut kiranya kita berterima kasih pada Bapak Pluralisme, Almarhum Gus Dur yang telah mencabut Inpres Nomor 14/1967 dan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19/2001 sebagai dasar hukum yang menjadi Imlek sebagai Hari libur Fakultatif. Hingga kini, meriahnya Imlek bisa dinikmati oleh semua yang menjunjung tinggi nilai perbedaan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H