"Darah itu merah Jenderal !!!"
Sepenggal kalimat yang menjadi dialog dalam film G 30 S PKI itu lekat dibenak para pemirsanya. Bagaimana tidak, tahun 80 -an hingga 90-an sebelum masuk masa reformasi, film itu menjadi tontonan yang wajib dengan sendirinya di setiap rumah warga. Hampir diseantero wilayah Jawa. Maaf, saya tidak berani menyebut seluruh wilayah Indonesia, mengingat pembangunan di wilayah Jawa- luar Jawa, Â khususnya bidang komunikasi jelas mengalami kesenjangan yang cukup berarti kala itu.
Melalui  tv tabung layar hitam putih, anak-anak, remaja, dewasa hingga mereka yang lanjut usia disuguhi rekonstruksi aksi PKI menculik dewan Jenderal. TVRI sebagai satu-satunya channel televisi yang ada, efektik menjadi corong pemerintah menayangkan program wajib tiap tahunny. Berbentuk film semi dokumenter, nyata membius masyarakat yang menyaksikannya. Saya yang pada saat itu masih tergolong anak-anak, biasa saja menyaksikan adegan demi adegan film yang belakangan mengundang kontroversi.  Film itu membekas sebagai sebuah keberhasilan Indonesia mempertahankan  Pancasila atas rongrongan  sejumlah orang yang tergabung dalam PKI. Bukan sebagai sebuah ancaman yang menakutkan atas aksi PKI. Itu pula yang kemudian mendasari semangat patriotik Hari Kesaktian Pancasila pada tanggal 1 Oktober, sehari setelah peristiwa Gestapu.
Jauh sebelum peristiwa Gestapu (Gerakan Tiga Puluh September), Tahun 1948 PKI Â menorehkan percik pemberontakan di Madiun. Melalui salah satu tokoh sentral PKI, Musso berhasil mencipta sejarah gerakan PKI di wilayah regional Jawa Timur. Jika pada tahun 1965, PKI melancarkan aksi di lingkup pusat pemerintahan Jakarta pada tanggal 30 September. Pemberontakan PKI di Madiun yang justru berakhir pada tanggal 30 September 1948. Kota Madiun dapat kembali dikuasai oleh Tentara Nasional Indonesia dalam waktu singkat hanya 2 minggu saja.
Keanehan berfikirpun saya rasakan manakala santer berhembus issue tentang PKI. Seberapa kuat sih PKI masa kini meringsek masuk ke pusat pemerintahan kembali?. Bukan tanpa sebab, tiga tahun saya tinggal di Madiun, Â tidak ada jejak PKI Â terlihat dengan kasat mata. Kota yang genap berusia 100 tahun ini tumbuh menjadi kota Kharismatik. Penduduknya berkembang melalui aktifitas industri kecil dan perdagangan. Ikon kuliner Pecel dan Brem seolah menghapus jejak Madiun dari trauma tahun 1948 lalu.Â
Sebagai pendatang yang kerap perpindah lokasi hunian selama di Madun, belum pernah  saya temukan adanya diskriminasi/ perlakuan yang berbeda dari warga atas warga lain/keluarga yang terkena stigma masa lalu sebagai PKI. Fakta, bahwa PKI telah diberantas hingga akar. Sungguh tak mampu dia tumbuh menjadi pohon pemangsa yang akan memakan korban atas nama pemberontakan. Terlebih, dibawah kepemimpinan Jokowi, TNI-POLRI solid, NKRI terjaga menjadi sebuah fakta yang valid.
Dilansir dari pikiran rakyat.com, Jokowi dengan tegas tidak akan mencabut TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia. Pemerintah dikatakannya tidak memberi ruang kepada PKI. Hal itu disampaikan saat menghadiri Upacara Hari Kesaktian Pancasila di Monumen Lubang Buaya satu tahun yang lalu.
Tutup Buku Bagi PKI, Lantas Bagaimana dengan  HTI?
 53 tahun sudah peristiwa itu berlalu. Nyata tidak ada geliat pemberontakan atas nama partai komunis Indonesia menyeruak ke permukaan. Meski oleh sebagian kalangan, issue keberadaan PKI masih menjadi momok menyeramkan. PKI tutup buku kini. Namun bukan berarti tidak ada lagi upaya rongrongan atas tetap tegaknya NKRI.
Beda rupa, beda gaya dan tentu saja beda tujuannya. Meski intinya sih tetap sama. Merubah tatanan negara Republik Indonesia berdasarakan Pancasila dan UUD 1945. PKI berkiblat pada komunisme. Sementara ada sekelompok massa dibawah panji Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) jelas-jelas ingin mengganti sistem pemerintahan dengan sistem Khilafah. Entah mereka  berkiblat pada dunia yang mana.Â
Dalam balutan religi, HTI kerap mengusung panji-panji Islami. Sayang, prinsip yang mereka usung berseberangan dengan prinsip Islam Rahmatalil Alammin itu sendiri. Agak terlambat memang saya menelusuri jejak digital HTI. Sebab kini website resmi dan sekretariatnya sudah tidak aktif lagi. Santer berita kekuatan Hizbut Tahrir tidak saja ada di Indonesia. Jejaknya berada di hampir seluruh dunia. Mereka menorehkan jejak  kelam bagi peradaban bangsa-bangsa hampir diseluruh dunia.