Mohon tunggu...
Tamita Wibisono
Tamita Wibisono Mohon Tunggu... Freelancer - Creativepreuner

Penulis Kumpulan Cerita Separuh Purnama, Creativepreuner, Tim Humas dan Kemitraan Cendekiawan Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Riang Gembira Dolanan Bocah Hingga Gegap Gempita Sendratari Kolosal dalam Mataram Culture Festival

20 Juli 2017   00:07 Diperbarui: 29 Juli 2017   20:13 1170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok.pri keceriaan anak-anak bermain jamuran

"Jamuran ya gege thok

Jamur apa ya gege Thok

Jamur Gajih mbejijih, Saara ara

sira bade jamur apa?

seorang  anak berdiri ditengah. Sementara 5-6 anak duduk melingkar mengitarinya sembari menyanyikan lagu diatas. Ketika anak-nak yang duduk melingkar selesai bernyanyi, 1 anak yang berdiri wajib menjawab :

Jamur Grombol.....

Sontak anak-anak yang duduk langsung mencari pohon atau tiang untuk dipegang kuat-kuat. Semua saling mendekap dari belakang, hingga anak yang jaga, dia yang berdiri ditengah akan menarik teman dari baris paling belakang hingga terpisah dari gerombolannya. Ada yang terjatuh, terhimpit temannya atau yang berusaha bertahan dengan berpegang kuat pada temannya. 

dok.pri Jamuran yo gege thok...
dok.pri Jamuran yo gege thok...
Itulah Jamuran, satu dari aneka dolanan bocah yang dihelat di tujuh titik sepanjang pedestrian/trotoar sayap kiri sepanjang jalan Malioboro. Siang hingga sore pada Sabtu pekan lalu, kembali Mataram Culture Festival menyapa para pecinta Jogja kali tahun kedua.  Sumringah, tertawa tergelak, ataupun cekikikan. Itu ekspresi yang keluar saat mereka memainkan aneka dolanan. Riang gembira sebab mereka didaulat untuk memainkan dolanan bocah yang mungkin di kota-kota nyaris punah.

Pelataran kantor dinas pariwisata Propinsi Daerah Istimewa Jogjakarta di bilangan malioboro menjadi titik awal dolanan bocah di gelar. Aneka kostum tradisional yang mereka kenakan menambah kesan kenes, gandes, luwes. Si Thole, para lelaki cilik mengenakan baju lurik lengkap dengan blankon yang melekat di kepala. Si Gendhuk, para dara cilik hingga yang hendak menginjak remaja mengenakan kebaya,  kain jarik dan sanggul cempol. Beberapa diatara mereka tampak memegang alat permainan tradisional yang dibuat dengan bahan dari alam sekitar.

dok.Pri Eggrang, Dolanan anak dengan kepiawaian tinggi
dok.Pri Eggrang, Dolanan anak dengan kepiawaian tinggi
Kirab nan Istimewa namun tetap bersahaja. Atraksi pembuka pun tiba, sekelompok anak perempuan dan laki-laki lincah memainkan Eggrangbambu. bambu berukuran lebih dari 1 meter itu telah diberi pijakan kaki pada ruas bawahnya. Tentu tidaklah mudah memainkan eggrang. Tidak sekedar butuh keberanian melainkan pula konsentrasi, keseimbangan dan keteraturan dalam menggerakkan ruas bambu bagian atas yang menjadi pegangan tangan dengan ruas bambu bawah yang menjadi pijakan kaki. Kanan-kiri....kanan-kiri...jalan ditempat...begitu kira-kira aba-aba yang membuat enam anak  kompak menggerakan eggrang bambu mereka. 

Ampir-ampiran, demikian istilah yang disebut oleh Mas Aria Nugrahadi selaku Kepala bidang pengembangan destinasi wisata Disparbud Pemprov DIY. Maksudnya setelah selesai bermain di titik pertama, maka mereka akan menghampiri kelompok di titik kedua, dan seterusnya.  Akan terjadi pertemuan antar kelompok anak dengan permainan yang berbeda.

dok.pri bathok..sejenis eggrang namun lebih sederhana dari batok kelapa
dok.pri bathok..sejenis eggrang namun lebih sederhana dari batok kelapa
 Thak..thok..tak thok .begitu rampak bunyi terdengar dari tiap gerakan langkah kaki anak-anak yang menjadikan setengah tempurung kelapa masing-masing di kaki kanan dan kirinya. Bathok kelapa itu dilubangi tengahnya. Dipasang tali yang bisa ditarik dan dipegang di kedua tangan. Ketika tangan kanan menarik  tali maka kaki kanan yang menginjak bathok melangkah, disusul kaki kiri. Begitu selesai eggrang bathok berputar, dua tempurung kelapa yang tadinya diinjak oleh kaki kemudian mereka pegang dikedua tangan. Kedua batok dibenturkan satu sama lain. Lagi-lagi terdengar suara thok..tok...tok..dengan irama yang rupanya bisa mereka mainkan. Itulah Bathok, permainan sederhana yang bisa dibuat sendiri dirumah dari tempurung kelapa.

dok.pri lompat bambu
dok.pri lompat bambu
Tidak kalah seru, ada pula dolanan lompat bambu. Atraktif sekaligus menunjukkan betapa lincah anak-anak itu bermain dolanan tradisional. Kakinya bergerak diantara dua bambu yang dibuka tutup. celah diantara kedua bambu itulah yang harus dilewati kaki-kaki mungil berjingkat dari satu sisi bergerak ke sisi yang lain. Saat ada kaki yang tersenggol bambu, maka itu berarti giliran dia untuk bergantian memberikan kesempatan bagi anak yang sedang memegang bambu.

Ketika permainan tradisional menjadi bagian dari budaya, segmentasi usia terjadi dengan sendirinya. Dalam tiap permainan pun tidak dipisahkan berdasar jenis kelamin. Anak laki-laki berbaur dengan anak perempuan. Kerumunan anak-anak kecil itu membawa aneka rupa dolanan. Umah-umahan, eplek-eplekbatang daun pisang hingga lompat tali. semua dilakukan dengan riang gembira. Hingga petang pun tiba. Di sebang Gedung agung, pedestrian depan benteng Van Der Burg menjadi titik  akhir dolanan bocah.

dok.pri guyub rukun dolanan ocah
dok.pri guyub rukun dolanan ocah
Icipili Mitirimin, membaca nama permainan ini sungguh terdengar asing. Rasa penasaranpun terjawab, manakala anak-anak tersebut menyanyikan beberapa tembang macapat layaknya paduan suara. Ealah jebul. Kreatifitas Jogja memunculkan sebutan bagi Acapela oleh anak-anak kecil sebagai Icipili. Sementara mitiriman sendiri merupakan kata kreatif untuk menyebut Mataraman sebagai ruang tempat anak-anak bertumpuh kembang. Ya...ya..sajian yang unik dimana saat anak-anak menyanyi, tangan-tangan mungil mereka berkreasi. Aneka hiasan dan mainan yang terbuat dari janur pun tercipta sedemikian rupa. Keris-kerisan, kitiran/baling-baling hingga aneka kembang janur. 

 Saat temaran senja dan malam tiba, Malioboro yang dalam salah satu lagu karya Doel Soembang disebut sebagai ubun-ubunnya Jogjakarta menjadi kian romantis adanya. Mungkin itu pula Mataram Culture Festival menjadikan siang sebagai ruang budaya dolanan anak, sementara malamnya memberi suguhan mataram performace Art. Ya, budaya terbentuk dari interaksi lintas usia. Bukan hanya milik mereka yang dewasa, melainkan ruang budaya bagi anak-anakpun luas adanya.

dok. pri Kuliner pembuka bagian tak terpisah dari budaya , aneka jajanan tradisional cenil, lopis, sawut, klepon dsb
dok. pri Kuliner pembuka bagian tak terpisah dari budaya , aneka jajanan tradisional cenil, lopis, sawut, klepon dsb
Selepas maghrib, bertempat di pelataran monumen serangan umum 1 Maret, Panggung sendratari yang dapat dinikmati oleh semua kalangan itu menjadi pusat perhatian. Di samping para pesert foto Hunter yang berasal dari komunitas fotografi dari beberapa kota se-indonesia, wisatawan domestik maupun manca tak melewatkan aneka suguhan budaya. Ya, patut bangga saya berada diantara ratusan pecinta fotograsi yang seharian mengabadikan moment dolanan bocah dalam pelbagai jenis lensa kamera. Kabarnya mereka juga ditantang untuk menghasilkan karya foto bertema eksplore Malioboro lho. 

Teramat banyak item terkait dengan Budaya. Hingga hidangan yang tersaji bagi pengunjung secara cuma-cuma menjadi bagian yang tak terpisahkan dari budaya. Sebut saja aneka jajanan tradisional seperti Gatot, timul, Cenil, Sawut, lupis.   Tak hanya jajanan pasar, malam Performance Art Mataram Culture festival pun menyediakan kembul dahar sego gurih dalam takir daun pisang sebagai salah satu bentuk budaya makan di bumi mataram.

dok.pri Pink Kavalary, tari Kolosal modern nan heroik
dok.pri Pink Kavalary, tari Kolosal modern nan heroik
Sebagai malam puncak acara, tentu nuansa perhelatan dengan tatanan panggung terbuka menyuguhkan beberapa sendratari dalam balutan tema kolosal. Sebut saja Tari barada dengan judul tangan prajurit estri mataram, Merupakan tarian yg bercerita ttg prajurit perempuan yg dipilih dr perempuan2 cantik di seantero kerajaan dilatih menjadi pelindung tanpa harus menghilangkan kodrat keperempuanannya. Disusul kemudian dengan persembahan dari Pink Kavalary. Tarian kolosal modern yg dimainkan oleh penari perempuan memadukan nuansa tari jaranan dan suasana heroik.

dok.pri tari Matar Mitor, menutup rangkaian sendratari Kolosar di Malam Puncak Maratarm Culture festival 2
dok.pri tari Matar Mitor, menutup rangkaian sendratari Kolosar di Malam Puncak Maratarm Culture festival 2
Hingga klimaks acara menyuguhkan tari Matar Mitos. Perlambang sebuah perjalanan beradaban budaya mataram. Budaya adalah aset peradaban. Bumi mataram menjadi rahim budaya sekaligus Bak Ibu bagi pertiwi. Tak sekedar melahirkan budaya-budaya baru yang selaras  ajaran adiluhung agar  tetap tumbuh di tengah pusaran perubahan,pun  menjaga kelestarian budaya agar tak punah dimakan pergantian zaman
Sungguh Menakjubkan, sampai bertemu di Mataram Culture Festival tahun berikutnya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun