Fiuhh, itu pengalaman paling mengesankan. Berusaha menerobos kerumunan di lokasi konser untuk wawancara adalah hal yang sangat tidak memungkinkan. Alhasil saya pun mencari informasi tempat penginapan. Satu-satunya hotel berbintang di Purwokerto waktu itu saya datangi. Membuat janji dengan orang-orang management di pagi hari. Dengan berbekal kartu Pers Mahasiswa, Surat Tugas dari redaksi, alat rekam berbentuk tape rekorder dan kaset kosong, serta kamera digital yang kesemuanya adalah peralatan milik Unit Kegiatan Mahasiswa Persma Sketsa, saya pun menaikkan level percaya diri hingga ambang batas maksimal. Setidaknya saya menjaga agar tidak histeris ketika saya benar-benar bisa bertemu dengan sosok Iwan Fals. Sebab meski saya adalah salah satu penggemar lagu-lagunya, tapi kali itu saya bukanlah sebagai penonton konser, melainkan sebagai reporter magang dari pers mahasiwa Sketsa.
Selepas kuliah, bekerja di Jakarta khususnya di dunia media adalah satu target. beberapa kali ikut seleksi, tidak membuahkan hasil. Malah saya bekerja di lingkungan Kementrian yang mengelola program wawasan kebangsaan. Dunia tulis menulis pun sebenarnya masih berjalan,hanya saja yang saya tulis biasanya adalah konsep sambutan acara , atau konsep makalah yang harus dibawakan oleh perwakilan Kementrian yang ditugasi untuk hadir membuka acara sekaligus sebagai pembicara. Berakhirnya program wawasan kebangsaan, mengantarkan saya bekerja di lingkar politik.Â
Sempat diminta mengedit naskah pidato petinggi partai. Membuatkan draft presentasi dan makalah yang terkait dengan tema Pemberdayaan Perempuan. Meski  semua itu masih merupakan bahan mentah yang kemudian akan kembali diedit dan disempurnakan oleh orang yang menjadi tangan kanan beliau. Ah entah sebagai apa posisi saya waktu itu. Tapi itulah sekelumit pengalaman dunia tulis menulis yang saya alami. Saya rasakan dan saya nikmati.
Keluar masuk lingkar politik sempat membuat saya merasa jauh dengan apa yang menjadi bakat saya sedari kecil, salah satunya menulis. Meski salah satu tugas saya masih ada kaitan dengan menulis. Apa yang saya tulis? salah satunya adalah  laporan. Tentunya, banyak perbedaan antara kaidah penulisan laporan dengan menulis ala saya sebelumnya.Â
Saya sempat hidup di Yogyakarta sekitar tahun 2010, masih mensupport aktifitas politik. Kenangan akan awal perjuangan saya lolos UMPTN di Yogyakarta mengembalikan kerinduan untuk kembali menulis. Kali itu, media yang saya gunakan adalah catatan facebook. Saya cukup produktif membuat sebuah kisah fiksi, sesekali puisi realistis atau kritik sosial. Hampir tiap hari saya mengisi catatan facebook saya dengan tulisan-tulisan. Saya sempat berangan-angan ketika tulisan-tulisan saya tersebut suatu saat bisa mewujud menjadi sebuah buku.Â
Seperti novel misalnya. Namun angan tinggallah kenangan. Facebook saya sempat di hack. Ketika berhasil dipulihkan dengan bantuan kawan, semua isi baik berupa foto maupun catatan raib tanpa sisa. Sebagian bisa diselamatkan, namun jalinan cerita bersambung yang saya tulis sudah tidak utuh lagi. Tulisan dalam Catatan Facebook tersebut saya beri judul Memoar Lara.
Hengkang dari Yogyakarta saya kembali ke Jakarta. Saya sempat melanjutkan kembali aktifitas menulis di Catatan Facebook. Salah satu tulisan yang saya beri judul Separuh Nyawa Karsini ada pada Karsono.(saya publish di Kompasiana) Terinspirasi dari peristiwa nyata yang saya lihat di salah satu rumah sakit ternama di Jakarta. Sungguh antara impian dan kegagalan kadang teramat tipis jaraknya. Meski saya hobi ke Gramedia untuk sekedar membaca ditempat atau sedikit membeli buku-buku untuk saya baca dirumah. Namun saya belum tahu kemana jalan yang harus saya tempuh untuk mewujudkan impian dan harapan.
Hingga pada suatu ketika, sesaat setelah pemilihan legislatif tahun 2014 saya mengikuti sebuah acara yang saya rasa perlu. Melalui salah satu kawan saya di Tegal yang aktif di waskita Reiki, Tuhan mengantarkan saya bertemu sosok yang luar biasa. Pak Tjiptadinata Effendi, dari beliaulah saya mengenal Kompasiana. Buku Beranda Rasa karya beliau yang berisi kisah perjalanan hidup seolah memecut saya untuk bisa bangkit dengan menulis. Sore itu Aula Perpustakaan Soekarno Hatta di pojok Bundaran Slawi - Kabupaten Tegal menjadi saksi.
Membuat akun di Kompasiana, tidak serta merta langsung membuat saya menulis. Tiga bulan saya menjadi silent reader. Saya tidak tahu apa yang harus saya tulis waktu itu. Tanggal 3 April saya berhasil menayangkan  karya pertama saya di Kompasiana. Puisi ini berjudul Bumi laka-laka, Jepangnya Indonesia. Saya dedikasikan untuk kota tempat saya bertumbuh sekaligus menjadi tanda lokasi pertama saya bertemu Pak Tjip bersama karya beliau. Inilah jalan lain yang saya tempuh. Sebuah upaya untuk mengembalikan apa yang Tuhan lekatkan berupa bakat dan talenta. Sungguh banyak hal yang saya pelajari di Kompasiana.