[caption caption="dok.pri"][/caption]9 Maret 2016  menjadi hari bersejarah bagi dunia khususnya Indonesia terkait dengan fenomena Gerhana Matahari Total. Ditengah pemberitaan berkumpulnya para ilmuwan, akademisi, pemerhati alam hingga masyarakat yang ingin menjadi saksi kuasa Tuhan atas alam semesta ini, saya hanyalah satu dari sekian orang yang mencoba untuk berbagi cerita disertai beberapa foto hasil jepretan lensa kamera sederhana pagi tadi.
Tidak ada hal khusus menyambut datangnya Gerhana matahari total. Pun tidak ada ingatan khusus tentang fenomena serupa yang terjadi pada tahun 1983 lalu. Wajar saja kala itu usia saya mungkin masih berkisar kurang lebih 1 tahun. Bersyukur, pagi tadi sekitar pukul 07.30 WIB saya sempat mengelilingi beberapa lokasi strategis di Kota Madiun untuk bisa menyaksikan kebesaran kuasa yang Tuhan perlihatkan melalui terjadinya Gerhana Matahari yang menarik perhatian banyak kalangan.
[caption caption="dok.pri"]
Sembari melaju diatas sepeda motor, lamat-lamat saya mendengar cerita dari suami terkait kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang jaman dulu ketika mendengar kata gerhana. Zaman dulu ketika ada gerhana, orang-orang, khususnya anak-anak akan berlindung dengan masuk kebawah kolong, kebanyakan diantaranya kolong meja. Sebagian diantaranya juga disarankan menggigit Kreweng, yakni sesuatu yang terbuat dari tanah yang dibakar. Bisa berupa tembikar ataupun pecahan genteng. Konon dengan menggigit Kreweng, benda yang terbuat dari tanah akan menjadikan orang-orang tersebut tetap menyatu dengan bumi yang sebagian unsurnya terdiri dari tanah.
Cerita tentang kreweng dan fenomena gerhana pada zaman dahulu membuat saya sedikit menyergit. Apalagi terkait dengan alasan tetap menyatunya dengan bumi. Saya pun mencoba melogikakan istilah tersebut dengan sedikit pengetahuan tentang gravitasi bumi. Ah..apapun yang dilakukan orang-orang saat terjadinya gerhana matahari baik itu zaman dahulu ataupun zaman sekarang, masing-masing akan menjadi cerita tersendiri yang selalu menarik untuk disimak.
Seperti cerita saya kali ini yang menelusuri beberapa lokasi untuk ikut melihat terjadinya gerhana matahari dengan sangat apa adanya. Lokasi pertama yang saya tuju adalah alun-alun yang berada tepat di depan Masjid Agung Kota Madiun. Seperti di beberapa lokasi lainnya, Masjid Agung Kota Madiun menjadi salah satu tempat dilaksanakannya shalat sunnah Gerhana. Pelaksanaan shalat gerhana kali ini terlihat berbeda dengan pelaksanaan shalat sunnah pada perayaan Idul Fitri ataupun Idul Qurban. Peserta Shalat Gerhana bisa di katakan lebih sedikit, tidak terlihat jamaah yang shalat di pelataran masjid atau bahkan trotoar alun-alun.Â
[caption caption="dok.pri"]
Pagi itu selepas selesai shalat gerhana, terlihat beberapa warga keluar dari masjid tidak secara bergerombol. Di seputar alun-alunpun tidak tampak kerumunan warga menyaksikan fenomena yang menghiasi angkasa. Hanya terlihat beberapa pedagang kaki lima di trotoar alun-alun. Jalanan pun terlihat lengang. Saya menyempatkan diri mengambil foto apa yang terlihat di angkasa. Jujur saja tanpa kacamata seperti yang disarankan.
Sekitar 15 menit saya berada di alun-alun kota Madiun. Sepertinya memang tidak ada tanda-tanda para pemerhati gerhana melakukan pengamatan disini. Saya pun beralih lokasi. Menelusuri Jalanan yang tampak lengang. Melewati perempatan Jl. PB Sudirman. Lokasi tersebut bisa dibilang menjadi jantung kota madiun yang menghubungkan beberapa pusat perbelanjaan modern, alun-alun, dan pasar besar. Ada Tugu yang tepat berada di tengah perempatan tersebut. Lagi-lagi saya mengambil foto penampakan gerhana matahari yang berada persis membelakangi tugu. Hasilnya pun terkesan artistik.
[caption caption="dok.pri"]
Dua lokasi strategis di Kota Madiun masih belum menandakan adanya kerumunan warga menyaksikan gerhana matahari layaknya antusiasme di beberapa lokasi yang tersiar di televisi , sebut saja jembatan Ampera- Palembang, Ternate,ataupun Bangka Belitung. Ah lain lubuk lain belalang, demikian hibur saya dalam hati karena tidak kunjung bertemu dengan kerumunan massa yang menjadi saksi atas kebesaran-Nya. Berharap bertemu dengan kerumunan pemerhati gerhana di lain tempat, saya pun melaju menuju Gor, salah satu tempat yang biasanya dijadikan tempat berkumpul. Lagi-lagi sepi, demikian juga dengan beberapa lapangan yang ada. Tidak ada fenomena kerumunan warga yang menyaksikan gerhana matahari Total.