[caption caption="Sumber: store.print.kompas.com dari Shutterstock.com"][/caption]Suatu sore sekerumun anak-anak tengah asik bermain monopoli. Siapa menyangka, mainan ini tetap bisa saya jumpai di sudut Kota Madiun.  Kini usia saya bukan usia yang cocok untuk bermain-main seperti mereka. Lama saya memperhatikan mereka yang duduk bergerombol. Kebetulan saya sedang memiliki waktu senggang sambil menanti suami pulang kerja.
"Siapa yang punya monopolinya?" tanyaku.
"Putriiii," jawab dua orang anak kompak, sementara yang bernama Putri ikut menjawab cukup dengan menunjukkan tangannya sembari senyum memperlihatkan giginya yang tumbuh tak beraturan.
Sayapun terkenang dengan monopoli yang dulu saya mainkan seperti yang pernah saya tuliskan sebelumnya di sini. Ingin saya bergabung bersama mereka bermain monopoli. Tapi...ah, masih pantaskah bermain bersama anak-anak? Tapi bukan soal itu yang utama. Agaknya mereka sudah bermain sedari tadi. Rasanya tidak mungkin bergabung di tengah permainan. Saya pun mengamati tak seberapa jauh dari tempat mereka bermain. Tiba saat pion milik Ita berhenti berjalan entah pada petak yang mana. Riuh dua pemain lain saling melempar kata-kata
"Ndang dituku lho..."1
"Emoh, murah... Aku tuku liyane wae," jawab Ita.2Â
Saya pun menyergit, penasaran.. dan beranjak mendekat.
"Apa tho?" selidikku sambil melihat.
"Ita gag gelem tuku Indonesia,"Â jawab Putri tersungut-sungut.3
"lho..kenapa?" Indonesia kan negara kita?" tanyaku sedikit menyelidik.
"Iya tapi murah sewane...mending tuku liyane"4
Tak lama kemudian teriakan riang ala anak-anak itu menghiasi sore. Riuh mereka berceloteh menggunakan Bahasa Jawa yang jika diartikan kira-kira demikian, di antaranya:
"Horee aku beli Amerika!"Â
"Asyik aku beli Australia!"
"Jepang punyaku lho ya..."
"Aku bangun rumah di Afrika. Bangun hotel juga, ah, di sana."
[caption caption="Dokpri. Pemainan monopoli"]
Atau mereka akan tersungut-sungut. Bak pesiar yang menghabiskan banyak uang. Ketika pion yang harus dimainkan berhenti pada petak Afrika. Tepat di atasnya konon sudah dibangun hotel ala monopoli dengan ditandai benda mungil terbuat dari plastik perwarna merah berbentuk trapesium. Lantas pemilik tanah beserta bangunan hotel itu pun akan mengenakan tarif sewa yang terbilang cukup menghabiskan uang si pemilik pion yang singgah.
Sementara petak Indonesia jarang ada yang melirik. Pada saat negara-negara lain dalam petak monopoli dipenuhi dengan bangunan rumah dan hotel, Indonesia masih belum dilirik oleh pemilik uang sekedar untuk membeli tanahnya. Harga Indonesia memang paling murah, tak ubahnya Malaysia yang masuk kategori kompleks A dalam petak monopoli. Dua negara itu jarang diperebutkan oleh para pemain monopoli.
Saya menarik nafas panjang. Dulu saya bermain monopoli tidak pernah berfikir seperti apa yang baru saja saya lihat. Terhenyak, namun itulah permainan anak-anak.
Inikah pergeseran zaman? Inikah cerminan kecintaan terhadap Indonesia yang anak-anak sekarang miliki meski diatas petak permainan monopoli?
Tak ingin mengusik anak-anak itu bermain monopoli, saya pun kembali ke tempat di mana saya sebelumnya berada. Hening dalam hati, sejenak berfikir dalam-dalam. Sembari merenungkan nama besar bangsa dan negara Indonesia.
Semoga ini hanya terjadi pada petak permainan monopoli Internasional. Semoga tidak demikian halnya dalam realitas kebangsaan baik yang bersifat internal maupun eksternal dimata bangsa-bangsa lain
Saya pun mulai berfikir, kenapa tidak dibuat papan monopoli yang menjadikan Indonesia sebagai primadona yang menjadi rebutan. Berharga, mahal, sehingga siapa yang singgah di Indonesia harus membayar mahal. Hal itu akan menjadi perantara kesejahteraan bagi pemiliknya.
Ahh...monopoli..monopoli..monopoliÂ
Â
Catatan:
1Cepat dibeli lho
2Tidak Mau.. Murah, mending beli yang lain saja
3Tidak mau beli Indonesia
4Tapi harga sewanya murah, mending beli yang lain
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H