Tak lama kemudian teriakan riang ala anak-anak itu menghiasi sore. Riuh mereka berceloteh menggunakan Bahasa Jawa yang jika diartikan kira-kira demikian, di antaranya:
"Horee aku beli Amerika!"Â
"Asyik aku beli Australia!"
"Jepang punyaku lho ya..."
"Aku bangun rumah di Afrika. Bangun hotel juga, ah, di sana."
[caption caption="Dokpri. Pemainan monopoli"]
Atau mereka akan tersungut-sungut. Bak pesiar yang menghabiskan banyak uang. Ketika pion yang harus dimainkan berhenti pada petak Afrika. Tepat di atasnya konon sudah dibangun hotel ala monopoli dengan ditandai benda mungil terbuat dari plastik perwarna merah berbentuk trapesium. Lantas pemilik tanah beserta bangunan hotel itu pun akan mengenakan tarif sewa yang terbilang cukup menghabiskan uang si pemilik pion yang singgah.
Sementara petak Indonesia jarang ada yang melirik. Pada saat negara-negara lain dalam petak monopoli dipenuhi dengan bangunan rumah dan hotel, Indonesia masih belum dilirik oleh pemilik uang sekedar untuk membeli tanahnya. Harga Indonesia memang paling murah, tak ubahnya Malaysia yang masuk kategori kompleks A dalam petak monopoli. Dua negara itu jarang diperebutkan oleh para pemain monopoli.
Saya menarik nafas panjang. Dulu saya bermain monopoli tidak pernah berfikir seperti apa yang baru saja saya lihat. Terhenyak, namun itulah permainan anak-anak.
Inikah pergeseran zaman? Inikah cerminan kecintaan terhadap Indonesia yang anak-anak sekarang miliki meski diatas petak permainan monopoli?
Tak ingin mengusik anak-anak itu bermain monopoli, saya pun kembali ke tempat di mana saya sebelumnya berada. Hening dalam hati, sejenak berfikir dalam-dalam. Sembari merenungkan nama besar bangsa dan negara Indonesia.