"Gantian bae wis, papat disit ya..liyane dadi sing Jaga Bank" (2), Aturku agar semua ikut bisa ikut menikmati permainan monopoli
Dan begitulah sepenggal kenangan tentang permainan monopoli. Tak Jarang para orang tua dikampung bertanya
"dolanan apa donge?" ketika melihat anak-anak mereka begitu betah bermain dirumahku hingga berjam-jam lamanya
Monopoli dari tahun ke tahun melekat hangat dalam ingatan. Ketika sudah masuk ke Jenjang pendidikan yang lebih tinggi sekalipun, terkadang bermain monopoli tetap mendatangkan keasyikan tersendiri. Mungkin lebih dari 5 kali saya membeli monopoli.Terlebih ketika uang-uang-an kertas sudah lusuh atau sobek karena terlalu sering dimainkan oleh banyak tangan.
Hingga suatu ketika saya mendapati kata monopoli dalam sebuah materi pelajaran IPS (ilmu pengetahuan sosial) ekonomi yang menyebut bahwa monopoli merupakan salah satu sistem perdagangan yang berlaku di luar negeri. Pemahaman itu pula yang membuat saya semakin memberi arti pada permainan monopoli.
Ya, dalam permainan monopoli memang semua bisa kita beli. Petak-petak yang diberi label nama-nama negara bisa dibeli dengan murah, Bisa membangun rumah, hotel, memiliki stasiun, pelabuhan, airport hingga perusahaan listrik dan air. Semua ditentukan oleh pemegang uang terbanyak. Adakalanya seseorang harus bangkrut akibat sering singgah di hotel yang dibangun diatas petak yang dimiliki lawan main. Bermain monopoli terkadang menghabiskan waktu lebih dari 3 jam lamanya. Asyik bukan?
Berjalan seiringnya waktu, meski saya suka bermain monopoli tidak dengan serta merta saya menyukai dunia traksaksional. Terlebih jiwa saya terbentuk menjadi jiwa sosial. Semakin menjauhkan saya dari dunia hitung-menghitung untung-rugi dalam sebuah aktifitas ekonomi. Jujur saja saya kurang menyukai hitungan matematis. Saya lebih nyaman dengan menguraikan kata dan kalimat. Mungkin karena itulah akhirnya Tuhan memberi saya kesempatan untuk mengenyam pendidikan tinggi di sebuah Universitas Negeri di Kota Purwokerto pada Fakultas ilmu Sosial Politik dimana 1 ditambah 1 tidak sama dengan 2. Â Namun hal itu tidak dengan serta merta saya tidak menyukai permainan monopoli.
Sepenggal rekam jejak saya memang identik dengan kehidupan aktivis. Sebutlah kebanyakan orang dan teman-teman menganggap demikian. Namun sungguh dengan segala kelemahan dan kekurangan yang saya miliki saya bersyukur, bisa mempertahankan apa yang menjadi "energi murni" dalam diri saya. Hingga akhinya manakala saya harus tersesat di jalan yang benar pun, saya sadar penuh bahwa semua itu masih dalam kehendakNya.
Ah..dunia Aktivis mana bisa terlihat borjuis?! Itulah yang membuat saya sempat jauh dengan permainan monopoli. Aktivis bermain monopoli?! apa kata dunia....kira-kira demikian komentar yang akan saya terima sembari menyembunyikan rapat-rapat permainan masa kecil yang mengesankan.
Monopoli..monopoli..monopoliÂ
Nyatanya permainan itu mendapat ruang tersendiri dalam hati dan pikiran saya. Selepas tamat dari istilah mahasiswa dan mulai menyadari realitas hidup yang sedemikian rupa. Disaat saya menepi dari hiruk pikuk dunia, meski untuk sejenak. Pada saat Tuhan memberikan jalan pada bertemunya jodoh. Disaat itu pula monopoli kembali saya mainkan.