Â
[caption caption="dok.pri"][/caption]
Yogyakarta dikenal sebagai kota Budaya. Geliat aktifitas budaya, seni dan sastra seakan menghangat ditiap sudut kota. Seperti malam itu, bertempat di Pendopo Tembi Rumah Budaya yang terletak di Jl. Parangtritis Km 8.4, Desa Tembi, Kel. Timbulharjo, Kec. Sewon, Kec. Bantul, bertepatan dengan Rabu Legi malam kamis Pahing, 23 Desember 2015 terselenggaralah kegiatan rutin bulanan yang bertajuk Sastra Bulan Purnama.
Ada yang istimewa pada pergelaran kali ini khususnya bagi 6 Kompasianer yang semuanya berjenis kelamin perempuan yang dengan suka cita meluncurkan ontologi puisi yang diberi judul Wajah Perempuan, disamping dua ontologi  lainnya yang bertajuk Uterus karya Kedung Darma Romansha, dan Kepada Anakku Karya Mbak Umi Kalsum.  Bisa dibilang Ontologi Wajah Perempuan  sendiri merupakan kolaborasi apik antara 6 perempuan yang berasal dari Yogyakarta dan Jawa Tengah.Tentu saja semua itu terwujud berkat kerjasama yang dinamis dari pihak pendiri Sastra Bulan Purnama yakni Bapak Ons Untoro sekaligus pegiat sastra di tembi Rumah Budaya, begitu hal sempat disampaikan oleh salah satu Penyair Perempuan yang berdomisili di Magelang.
Siapa sajakah mereka? Tersebutlah dia Mbak selsa, mbak Gadis Pembayun, Mbak Marul Prihastuti (dalam nama sebenarnya) dan Mbak Umi yang mencantumkan kedua anaknya Azzurasantika sebagai penggenap nama penanya. Sementara dua penyair lain melenggang dengan nama pena D-Nyota dan Zee Ohm. Sudah lumayan kenal bukan dengan siapa mereka?.
Enam Perempuan ini memang luar biasa. Sisi perbedaan karakter, latarbelakang aktifitas dan inspirasipun tercermin dari masing-masing puisi yang terangkum dalam buku setebal 158 halaman ini. Rentang Jarak antar kota bahkan antar Propinsi tidak menjadi penghalang bersatunya karya-karya mereka. Dari keenam orang tersebut hanya mbak Marul yang berdomisili di Yogyakarta. Sementara Mbak Selsa tinggal di Temanggung, Mbak Gendis Pembayun tinggal di Wonosobo, mbak D-Nyota di Kota Semarang, dan 2 lainnya yakni mbak Umi dan Zee Ohm tinggal di Magelang. Itulah kekuatan Sastra Budaya yang mampu menyatukan perbedaan ruang diantara kita. Keyakinan tentang kekuatan sastra budaya itu semakin  terlihat nyata ketika malam itu ada sekian penyair yang hadir dari berbagi wilayah. Ada yang jauh-jauh datang dari Tulung Agung. Happening Art dalam pentas puisi Uterus pun diiringi penabuh salah satu instrumen gamelan yang berasal dari Kuningan Jawa Barat. Luar biasa ketika kekuatan sastra budaya mampu menjalin ikatan diantara sekian perbedaan asal wilayah yang ada. Inikah miniatur budaya bangsa kita yang sebenarnya?
[caption caption="dok.diambil dari koleksi pribadi mbak Marul Prihastuti"]
Menjadi sebuah kejutan bagi saya bisa berada di tengah-tengah pegiat sastra budaya yang berasal dari berbagai daerah. sekilas ada hal mendasar dalam kehadiran saya untuk yang pertama kalinya di Tembi Rumah Budaya. Sebutlah  mengemban aspirasi atau semacam amanat dari salah satu komunitas sastra kata di kompasiana yakni Rumpies The Club (RTC). Berawal dari sebuah pesan singkat salah satu admin RTC yang sudah berulang kali bertemu di Surabaya, Cak Buyut Trader yang pada intinya menyematkan kata "Duta" alias utusan alias perwakilan RTC untuk hadir di acara peluncuran ontology tersebut diatas. Sebenarnya tanpa ada istilah apapun yang disematkan saya akan dengan senang hati bertandang ke Tembi. Pesan itu pun kemudian dikuatkan oleh mbak Fitri manalu yang intinya membenarkan bahwa RTC berharap ada yang bisa mewakili kehadiran RTC. Tanpa Panjang lebar, saya iyakan saja permintaan tersebut dengan catatan semua atas keputusan bersama tim RTC. Sungguh Apresiasi dan kesempatan yang sarat makna bagi pemula seperti saya ini.Â
Dan benar saja. Ada binar mata hati yang menyeruak ketika kaki menapaki serambi bangunan Tembi. Tampak deretan kursi dipenuhi oleh peminat sastra budaya. Meski malam itu Purnama malu-malu mengintip dari atas langit namun Sastra Bulan Purnama tetaplah memukau. Satu persatu rangkaian acara tersuguh dengan sederhana namun penuh makna. Tidak ada Panggung nan megah hanya bertempat di  pendopo rumah joglo yang penuh ukiran kayu atau dalam istilah jawa disebut Gebyog. Sebagian penikmat sastra memilih menyaksikan dengan berdiri, bergerombol disudut belakang sebab deretan kursi yang disediakan hampir terisi penuh. Tampak di sayap Kanan pendopo terdapat sajian Kuliner  yang terhidang dengan gaya angkringan khas Yogya. Ada juga nasi goreng dan Mie Godog (rebus) maupun goreng yang diberi label mie Jawa. Itulah sisi geliat ekonomi yang berkolaborasi di ruang sastra budaya. Tapi maaf, bagi yang ingin menikmati sajian ini pengunjung harus berbayar dengan sendirinya. Sementara tersedia hidangan tak berbayar berupa camilan tradisional berupa kacang rebus dan jajanan pasar. Disuguhkan pula minuman hangat berupa teh manis dan wedang secang, minuman tradisional berwarna merah yang hangat berkhasiat. Itulah sekelumit ruang sastra budaya di Tembi. Ada perimbangan nilai disana dimana antara yang berbayar dan yang tak berbayar beriringan bersama.
Satu persatu penikmat sastra puisi ini tampil dalam aneka rupa kreatifitasnya. Dipandu mbak Umi Kulsum selaku Pranata Acara lengkap dengan ciri khas sepatu Bootnya. Satu Persatu dari 6 Penyair perempuan ini pun mengaktualisasikan karyanya di pentas Sastra Bulan Purnama. Tak Pelak masing-masing penyair mendaulat yang hadir untuk membacakan Puisi karyanya. Bak Ketiban sampur, Saya dan Mas Ken Sahara Odza di daulat turut serta naik Pentas membacakan puisi. Dan saya pun membawakan puisi karya mbak Selsa yang bertajuk Merah Putih Negeriku. Ada Genre Puisi yang sesuai dalam puisi ini. Nafas Kebangsaan, Kritikan kepada pada pengemban kuasa yang angkara! Ah sedikit heroik penuh Kritik. HIngga tiba di penghujung acara, dengan diawali oleh dua seniornya yang terlebih dahulu membacakan karyanya, akhirnya suara merdu dari penyair yang juga seorang guru di bidang tata kecantikan ini melantunkan Puisi yang berjudul kerinduan: Untuk Borneo. Dengan diiringi petikan gitar puisi itu sarat penjiwaan tentang kondisi disaat kabut asap mencecap hampir seluruh Kalimantan oleh mbak Umi Azzurasantika pun menjadi pamungkas sajian puisi.
Momen kebersamaan pun berakhir sempurna melalui jabat erat dan tersampaikannya salam dari RTC kepada beliau, Pak Ons Untoro. Sedikit berbicang bahwa ternyata beliau mengikuti geliat sastra kata di RTC dan teramat mengapresiasi. Bahkan beliau berharap RTC dapat turut meramaikan Sastra Bulan Purnama di Tembi Rumah Budaya melalui tanya terucap, kurang lebihnya demikian :
"Kapan RTC bisa gabung?, biar nanti diagendakan waktunya"
Saya pun hanya bisa mewakili menjawab :
"saya sampaikan kepada kawan-kawan di RTC pak, semoga secepatnya bisa terjawab setelah dirembug terlebih dahulu"Â
Akhirnya Foto bersama dengan segenap keluarga besar Kompasianer yang hadir meramaikan, tampak mengapit pak Ons Untoro pun menjadi ritual wajib yang dilakukan. Terimakasih atas jabat hangat menerima hadir kami. Turut hadir malam itu Kompasianer Ngapak-ngapak dari Purwokerto yang pernah di Solo, mbak Umi Salamah. Ada pula Jejak mas Imam Muttaqien yang tak sempat bersua, pakdhe Bain yang ternyata merekam teriakan merdeka Dan tentunya Mr. Ang Tek Kun yang luar biasa dengan HL nya
Sampai bertemu kembali di ruang sastra Budaya...jangan terhenti langkah hanya dengan 6 penyair perempuan dalam wajah perempuan..teruslah bertambah dalam jumlah karya dan yang melahirkan karya
Bagi segenap tim sastra kata RTC salam dan missi sudah tersampaikan...tidak untuk dilewatkan bukan?
Ups sekedar informasi bagi segenap penikmat sastra budaya, Purnama mendatang tepatnya tanggal 26 Januari 2016 rutinitas Sastra Bulan Purnama akan menghadirkan perupa seni yang akan kembali berpuisi
( maaf belum hafal satu pesatu personil RTC, sehingga dalam menyebut nama hanya beberapa saja yang saya hafal)
Â
Sugeng Ndalu Yogya...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H