Mohon tunggu...
Tamita Wibisono
Tamita Wibisono Mohon Tunggu... Freelancer - Creativepreuner

Penulis Kumpulan Cerita Separuh Purnama, Creativepreuner, Tim Humas dan Kemitraan Cendekiawan Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Dibalik Kolaborasi Kopdar RTC dan Konek, Ternyata Tidak Semua Nyaman Berpuisi

16 November 2015   23:28 Diperbarui: 16 November 2015   23:45 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="dok. taken from mas Nuz pic"][/caption]Akhir pekan yang penuh kejutan. Setelah mengalami sedikit syndrom eksplorasi pesona budaya Bali yang berakibat makin bertambahnya jalinan keakraban dari beberapa kompasianer, saya pun meniatkan diri kembali ke sebuah rutinitas komunitas. Adalah konek yang selama ini acapkali membuat saya memiliki trayek antar kota dalam propinsi. Melaju dari Madiun ke Ibukota Jawa Timur, Surabaya.

Mungkin saya bukanlah yang terdaftar dalam agenda Kopdar kolaboratif antara RTC dan Konek. Konfirmasi kehadiran saya berikan beberapa jam sebelum agenda dimulai. Bahkan saya cenderung terlambat sampai di Lokasi kegiatan yang bertempat di RM Saung Intan Jl. Letjend Suprapto Waru atau yang dulunya di kenal dengan kawasan Jl Tropodo.

Ada nuansa lain dalam agenda pertemuan kali ini. Sebutlah kolaborasi. Dua perwakilan komunitas bertemu konon untuk menjawab sebuah tantangan yang diberikan oleh tuan rumah dalam hal ini RTC. Namanya juga Rumpies the Club. Tantangan yang diberikanpun tidak jauh-jauh dari seputar fiksi-puisi

Kali ini para Konekers yang hadir diminta membuat puisi kemudian dibacakan di hadapan yang hadir. Sontak semua bersiap. Dengan balutan busana bernuasa Putih -Biru (jeans) sebagai dress code, satu persatu yang hadir membawakan puisi dengan gaya bak penyair. Bahkan Kali ini hadir tamu yang sengaja di undang untuk meramaikan moment baca Puisi. Sebutlah mbak Denting. Nama yang cukup indah dan sarat makna. Performa dalam membacakan puisi bertajuk "Gila" itu sungguh luar biasa. Baliau mungkin seorang seniman atau aktifits budaya lokal. 

Sore itu di sebuah sudut Saung Intan menjadi saksi, aksi para kompasianer membacakan puisi. Lama tak berpuisi. Saya pun membacakan puisi yang menjadi tanda awal yang aktif di Kompasiana. Saya termasuk orang yang kurang lihai menulis puisi. Puisi yang saya tulis jauh dari nuansa romantis melankolis. Puisi bertajuk seputar alam, kondisi daerah dan masyarakatnya serta puisi-puisi pesan sosial sesekali saya tulis. Tapi sepertinya saya lebih nyaman menulis jabaran kata menjadi sebuah paragraf panjang. sebutlah cermin, cerpen atau prosa bebas yang memuat unsur penjabaran kata hingga susunan kalimat panjang lebar.

Sebuah Puisi beraliran realis yang saya tulis awal tahun dan saya posting di Kompasiana pada 3 April 2015 pada pukul 22.47.50 berjudul "Bumi Laka-laka, Jepangnya Indonesia pun" saya bacakan dengan biasa-biasa saja. Bagi yang mau mengintip deretan kata demi katanya silahkan tautannya saya sertakan juga disini, atau klik judul diatas.

Ada yang menarik dalam suasana membaca puisi yang bergiliran. Ini bukanlah sebuah kontes atau lomba. Namun bisa dikatakan sedikit uji nyali. Tidak semua orang dapat beraktualisasi diri, mengekspresikan diri apalagi diminta baca puisi. Meski sudah dipancing dengan pecutan reward bahwa bagi yang sudah membacakan puisi boleh menikmati aneka sajian makanan yang sudah terhidang, namun tetap saja kebiasaan saling dorong orang lain tetap berlaku. Ada yang sigap maju, namun ada pula yang malu-malu

Dan tidak ada manusia yang sempurna. Talenta tiap diri itu berbeda-beda. Siapa yang menyangka dibalik figur yang saya kagumi, baginya membaca puisi bukanlah passion yang dimilikinya. Dalam bahasa gaulnya  " bukan gue banget" kira-kira itu ujar lirih yang terucap. Pancingan demi pancingan dikeluarkan memotivasi sosok luar biasa untuk memberanikan diri berpuisi. Beliaupun ijin karena ada urusan sehingga meninggalkan panggung tempat berpuisi sebelum perhelatan selesai

Tapi itulah kolaborasi. Tidak ada paksaan, terlebih ancaman. Semua berhak untuk berada dalam zona nyaman.  Dan sore itu menjadi sebuah momen kebersamaan. Apapun Passion yang dimiliki bukan untuk dilucuti begitu saja. Biarkan masing-masing tumbuh dalam perbedaan karakter, bakat dan talenta hingga jalan pemikiran bahkan kebiasaan sekalipun.

Saya pribadi tetap menghormati, meski berharap setelah ini beliau berkenan menempa diri untuk memasuki ruang atau dimensi sisi kehidupan yang lain, meski hanya berupa "berpuisi". hmmm sepertinya ini menjadi bagian terkecil dalam proses psikologi?ehehhehe

Sore berganti malam. USai sudah pentas puisi yang penuh kesederhanaan. Malam mengantarkan masing-masing dari kami untuk bergagas pulang. Kejutan baru pun tiba. live music di RM saung intan dibuka dengan iringan musik tanpa penyanyi. Ahahhaha tercipta ruang baru usai berpuisi lanjut menyanyi. Dan lagi tidak semua berkenan untuk menyanyi. 

Lagi-lagi semua kembali pada bakat dan talenta yang dimiliki

malam itu sekitar 5 lagu bergantian mengalun di Saung intan. Suara kompasianer tak ubahnya penyanyi professional yang layak masuk dapur rekaman (eheheh). Kesempurnaan menyanyi pun tercipta dengan dinyanyikannya lagu lawas, apalagi kalau bukan "Kemesraan".

[caption caption="dok.pri"]

[/caption]

"Kemesraan ini jangan lah cepat berlalu.."

"kemesraan ini ingin ku kenang selalu"

Begitu penggalan lagu yang dibawakan dalam kolaborasi Konek dan RTC

 

salam paseduluran yaaa..pisss

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun