Mohon tunggu...
Tamita Wibisono
Tamita Wibisono Mohon Tunggu... Freelancer - Creativepreuner

Penulis Kumpulan Cerita Separuh Purnama, Creativepreuner, Tim Humas dan Kemitraan Cendekiawan Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Ubud: Kuatnya Magnet Budaya di Bumi Sang Maestro

8 November 2015   00:33 Diperbarui: 24 Juni 2022   02:43 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Tercengang!!! hanya itu gambaran ekspresi wajah yang ada saat berkesempatan menapakkan kaki di Ubud. Menempuh jalan desa yang bisa dikatakan sempit, shuttle bus berwarna ungu itu mengantarkan rombongan peserta eksplorasi pesona budaya ke sebuah lokasi yang eksentrik. Tulisan bertajuk Antonio Blanco yang berwarna emas menghias di atas gerbang yang tampak tua. Batuan yang menopang lengkung diatasnya tampak kusam dan berlumut. Terkesan teduh. Diantara tulisan Antonio dan Blanco terdapat simbol yang konon merupakan penggabungan  dua sisi tandatangan pemilik nama yang jika disatukan membentuk sisi simetris. Entah apa makna simbol tersebut, namun keberadaannya kemudian menjadi pernik yang mewujud di hampir setiap hasil karya yang ada. 

Tempat itu berada di lokasi yang cukup tinggi. Hal itu terbukti ketika melihat sekeliling, terlihat beberapa bangunan rendah ada ketika memandang ke bawah. Jujur saja, ada suasana yang misterius meski baru memasuki pelataran parkirnya. Akses masuk pertama menuju ke museum yang konon berisi karya lukisan yang dihasilkan dari goresan tangannya. Siapakah dia? saya sendiri tidak pernah secara khusus mengenal bahkan memujanya. Namun ketika menyebut atau membaca nama Antonio Blanco, entah kenapa seolah tidak asing bahkan menarik perasaan terdalam yang seakan-akan tokoh itu melekat dan terasa begitu dekat.

[caption caption="dok.pri lukisan wajah Ni Ronji , istri Sang Maestro"][/caption]

Dialah sang Maestro. Wisatawan mancanegara yang datang ke Bali di tahun 1952. Konon ia jatuh hati dengan Bali hingga akhirnya menikahi perempuan Bali yang berprofesi sebagai penari bernama Ni Ronji. Tanpa Ni Ronji, mungkin rekam jejaknya tidak akan menjadi saksi sejarah lahirnya karya-karya fenomenal yang bernilai seni tinggi. Sulit saya bayangkan situasi Bali di tahun 50'an itu bagaimana kondisinya. Terlebih Ubud yang merupakan wilayah yang bisa dikatakan tertutup, sepi dan sangat sunyi.

Ni Ronji oh Ni Ronji, perempuan Bali yang memikat hati laki-laki kelahiran Philipina ini menjadi sosok inspiratif dibalik lahirnya karya-karya Sang Maestro. Unik, Eksentrik bahkan cenderung Erotik. Itulah kesan yang akan muncul ketika melihat lukisan dan karya seni yang menghiasi dinding bangunan yang diberi nama The Blanco Reneissance Museum. Areal museum ini berada di daerah Campuan-Ubud. Kompleks Bangunan tempat menyimpan karya-karya Antonio Blanco ini ditata sedemikian rapi dan asri.

[caption caption="dok.pri pintu berbentuk lingkaran akses masuk menuju kawasan museum"]

[/caption]

Pintu masuk menuju museum berupa lingkaran yang dihiasi pahatan batu bermotif Barong tepat diatas lingkarannya. Sebelum memasuki bangunan utama, pengunjung mendapatkan jamuan minuman penyambutan di Restaurant Ronji yang menjadi serambi museum. Saya sempat berbincang dengan salah satu personal restauran yang memberikan penjelasan hingga mengantarkan kami jalan menuju Museum. Darinya pula saya mendapat penjelasan bahwa Ubud berasal dari kata Ubad yang berarti Obat. Itulah kenapa Ubud menjadi daerah yang sedemikian dijaga dan tumbuh menjadi salah satu kawasan budaya. Banyak orang yang datang ke Ubud untuk mendapatkan energi positif yang berasal dari alam dan tatanan masyarakatnya. Ada sudut yang menarik perhatian saya di serambi restaurant. Saya melihat kolam kecil yang aliran airnya mengalir jernih. Ada pancuran buatan yang menghias diatasnya. Saya melihat dengan jelas di dasar kolam terdapat banyak uang logam. Dengan penuh rasa penasaran saya pun kembali menanyakan pada sosok lelaki Bali yang terkesan sangat melayani. Inikah salah satu bentuk kebudayaan atau sebatas mitos keyakinan?. 

[caption caption="dok.pri"]
[/caption]

Keterangan yang saya dapatkan menjabarkan bahwa kompleks museum  dibangun di tanah yang memiliki posisi yang baik untuk terkabulnya sebuah doa dan harapan. Hal itu disebabkan, ada garis lurus yang mengarah pada Pura Suci yang memang tampak diseberang mata.  Pura itu bernama Pura Gunung lebah. Dan yang istimewa dari pura tersebut adalah dibuka hanya 2 x dalam 1 bulan yakni bertepatan dengan bulan purnama dan pada saat bulan gelap. Di Pura itulah digelar uparaca  mesucian yang bertujuan untuk tetap menjaga energi positif dengan menjauhkan unsur-unsur ketidakbaikan. Saya menjunjung tinggi kepercayaan yang menyatu dalam kebudayaan tanpa mengurangi keyakinan sendiri. Untuk itulah setelah mendapat arahan tentang tradisi melempar koin untuk terkabulnya doa dan harapan, saya pun seolah mengamini tradisi ini sebagai sebuah produk budaya turunan dengan ikut serta melempar koin keberuntungan kedalam kolam.

[caption caption="dok.pri melempar koin keberuntungan di serambi Ni ronji Resto"]

Selepas melempar koin keberuntungan, saya pun menyusul rombongan memasuki halaman bangunan museum yang kokoh berdiri. Gerbang berbentuk tanda tangan yang terbuat dari batu yang menjulang tinggi. Sebelum menikmati karya lukis yang disimpan dalam bangunan utama, pengunjung diminta untuk tidak mengambil foto karya sang maestro. Hal itu dimaksudkan agar menghindari terjadinya plagiat dari karya yang ada. 

Mata siapa yang tidak terbelalak melihat lukisan yang dipajang di dinding museum Antonio Blanco?. Sapuan yang memadukan gerak kuas diatas kanvas itu menggambarkan detail lekuk tubuh perempuan secara vulgar namun tertutup dengan selubung nilai seni. Ya, Sang Maestro menjadikan perempuan Bali sebagai inspirasi lukisan dan karya lain yang dihasilkan. Sebagai Perempuan, saya melihat, sosok Antonio Blanco sedemikian terobsesi menjadikan lekuk tubuh perempuan Bali menjadi objek seninya. Tidak dapat di vonis dalam kategori pelecehan tentunya. Mengingat ini adalah ruang seni yang memberi kebebasan berekspresi. Apalagi jika kita menyadari, apa yang digambarkan Sang Maestro dalam karyanya itu memang sempat menjadi bagian budaya perempuan Bali.

Pada masa itu, era tahun 50'an perempuan Bali dengan budaya yang melekat memperlihatkan tradisi (maaf) bertelanjang dada. Dan dalam lingkup masyarakat berkebudayaan tentunya hal itu sah-sah saja bahkan menjadi sebuah sejarah budaya perempuan yang melengkapi peradaban budaya masyarakat bali. Mungkin, Bagi Antonio Blanco itulah salah satu hal yang justru membawa inspirasi besar hingga kemudian terlahir karya seni fenomenal. Itulah gambaran betapa luar biasanya pesona indonesia .

Tak hanya lukisannya saja yang mampu membawa imajinasi seni bernilai tinggi. Tiap karya seni yang menempel di dinding menjadi semakin sempurna nilainya dengan aneka desain pigura atau bingkai yang terbuat dari kayu. Pigura-pigura itu juga memunculkan kesan yang eksentrik dengan beberapa tambahan bahan brupa botol bekas disudut pigura. Bahkan salah satu pigura yang digunakan sengaja dibuat dari kayu yang memang sudah dimakan rayap. Antonio Blanco ternyata bukanlah pelukis murni. Diantara deretan lukisan sensualnya itu terselip beberapa kolase dan Puisi. Apa itu Kolase? Berdasarkan penelusuran  di wikipedia, kolase merupakan perpaduan seni rupa yang menggabungkan beberapa bahan antara lain kertas, kain, kaca , logam ataupun tulisan hingga menjadi satu kesatuan yang memiliki nilai keindahan. Salah satu kolase Sang maestro itu diberi judul Kingkong. Sungguh menarik menyelami naluri seni dan pesan budaya yang tersembunyi melalui hasil karya yang dapat dinikmati saat ini. Beberapa kolase lain, Sang Maestro acapkali menggunakan media bahan berupa aneka bentuk dan merk sabun yang beredar di jaman itu.

Museum tempat memamerkan karya-karya seni Antonio Blanco ini merupakan bangunan yangterdiri dari dua lantai. Di lantai 1 nyaris tidak ada sekat ruangan. Pengunjung hanya perlu berkeliling untuk bisa melihat lebih dekat lukisan bertajuk detail tubuh perempuan itu satu demi satu. Sedikit berbeda dengan penataan ruangan di lantai 2 yang memiliki beberapa sekat ruangan, dimana tiap ruangan menyimpan kejutan tersendiri. Jangan kaget jika nanti akan dipandu menuju ruangan erotis. Ruangan ini sama sekali bukanlah ruang yang sarat dengan pornography, sebab sekali lagi seni dan budaya merupakan ranah bebas berekspresi. Meski tidak semua orang memiliki sense of art yang memiliki toleransi tinggi terhadap "kenylenehan" karya seni itu sendiri.

[caption caption="dok.pri tulisan tangan Antonio Blanco pada secarik kertas yang ditempel di pintu masuk ruang kerjanya"]

 

[caption caption="dok.pri mengabadikan ruang kerja Sang maestro dengan pose bersama"]

[/caption][/caption]

Antonio Blanco meninggalkan jejak sejarah budaya di Indonesia. Pada Pintu masuk ruang kerjanya dia menempel tulisan tangan diatas sebuah kertas yang di tempel di pintu kayu yangtampak lapuk ukiranya. Bahkan ruang tempat dia melukis masih tertata sedemikian rupa. Meski kini dia telah kembali ke nirwana. Dia meninggal sebagai WNI pemeluk Hindu. Jasadnya menjadi abu karena proses kremasi. Namun magnet budaya di bumi Sang Maestro masih begitu kuat terasa. Bahkan keberadaanya mampu menyedot pengunjung dari berbagai belahan dunia untuk takjud pada Ubud. Beruntung, pengunjung diperbolehkan mengambil gambar petilasan tempat lahirnya karya yang hampir semuanya bertema sensualitas perempuan.

Sebelum meninggalkan ruang penuh karya Sang Maestro, saya memberanikan diri untuk menyalin sepenggal puisi berbahasa Inggris Karya Antonio Blanco. Ada kedalaman makna kehidupan yang sedemikian mengalir, menyatu dengan alam. Membentuk keseimbangan hingga menyatu dalam kuasa Tuhan melalui jiwa kemanusiaan. Ijikan saya untuk menulisnya kembali dalam petikan berikut ini :

The Dust of the dead Kings is Blown into the street

and the dust of the street blown to the river

And the middy river Tumbled into the Sea

and the sea remaunded into all the veins and the channel of the earth

to rich fullfillment in a glorius ressuction

(taken from the Antonio Blanco Poetry)

[caption caption="dok.pri Foto wajah Sang Maestro [/caption]"]

[/caption]

Dalam tiap karya seni yang dihasilkan baik itu lukisan, kolase maupun puisi, Antonio Blanco tidak pernah mencantumkan tahun pembuatan. Menurut keterangan dari pihak pengelola museum, Sang Maestro pernah berujar bahwa karya seni budaya itu tidak berawal dan tidak akan berakhir, sehingga tidak perlu ada tanggal dan tahun pembuatan. Kenangan mendalam saya rasakan begitu kaki melangkah meninggalkan kompleks museum. Karya budaya sungguh terasa kekal adanya.

Tak terasa rembang petang telah datang menghampiri. Agenda eksplorasi budaya selanjutnya telah menanti. Menyimak tari kecak di Batu Bulan- Ubud yang akan memperlihatkan sisi lain pesona Indonesia yang kaya akan ragam budaya. Dan benar saja pertunjukan tari disanggar Sahadewa membuat  saya terkesima. 

[caption caption="dok.pri "]

 

[caption caption="dok.pri Tari Kecak epos Ramayana"]

[/caption][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun