Mohon tunggu...
Hutami Pudya
Hutami Pudya Mohon Tunggu... karyawan swasta -

"Semoga bermanfaat" ^_^

Selanjutnya

Tutup

Politik

Label “Internasional” Sekolah

23 Mei 2012   08:13 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:56 421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

SMAN 1 Tambun Selatan Bekasi dilaporkan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) karena kasus dugaan korupsi terkait penyelewengan dana Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri.

Koordinator Divisi Monitoring Pelayanan Publik ICW Febri Hendri menjelaskan sekolah memungut sejumlah dana kepada orang tua murid untuk memenuhi permintaan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bekasi yang juga salah satu anggota komite sekolah itu.

Pihak sekolah lalu memberikan sejumlah uang sebagai pelicin agar DPRD mengucurkan anggaran daerah untuk pembangunan gedung perpustakaan dan laboratorium sekolah. Namun, pihak sekolah membebankannya pada orang tua murid.

"Kami melaporkan dugaan penyelewengan dana RSBI di SMAN 1 Tambun Selatan, Bekasi," ujar Febri, di Mabes Polri, Senin (14/5).

Dia menjelaskan pihak sekolah telah mentransfer uang Rp215 juta secara bertahap kepada anggota DPRD tersebut untuk mendapatkan dana Rp3 miliar. Untuk pemenuhan dana Rp215 juta itu, pihak sekolah menarik uang dari orang tua murid.

Berita yang dikutip dari Teraspolitik.com adalah salah satu contoh masalah yang dihadapi sekolah RSBI. Sekolah RSBI diizinkan untuk memungut dana dari orang tua siswa, yang terkadang jumlahnya tidak sedikit. Hal ini tentu membebani orang tua dari golongan kurang mampu.

Hingga kini, RSBI selalu “heboh” diperbincangkan. Ada yang setuju dengan adanya RSBI karena tujuannya baik, yakni meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia. Diharapkan dengan adanya RSBI, generasi bangsa Indonesia mampu bersaing di ajang internasional.

Ada yang setuju, ada pula yang tidak setuju. Alasannya karena sekolah RSBI hanya untuk siswa kaya saja. Saya sempat bersekolah di sekolah RSBI. Sekolah tersebut memang memiliki fasilitas yang memadai. Tiap upacara bendera Senin pagi, pembina upaca senantiasa membangga-banggakan sekolah kami yang RSBI itu. Wajar, “internasional”, siapa yang tak bangga.

Seingat saya, waktu “bergeloranya” RSBI di sekolah saya, para guru begitu bersemangat untuk menyampaikan materi dengan dua bahasa, Indonesia dan Inggris. Kata salah satu guru saya, sudah berlabel internasional, malu kalau tidak memakai Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar kedua.

Pembagian kelas juga berlaku di sekolah saya. Pembagian kelas berdasarkan kecerdasan. Siswa yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata, akan dikelompokkan ke dalam satu kelas, yakni kelas unggulan atau kelas internasional. Siswa yang memiliki kecerdasan rata-rata, berada di kelas reguler.

Kecerdasan siswa unggulan atau internasional berbeda dengan kelas reguler, tentu saja fasilitas kelas dan pengajar pun berbeda. Intinya, kelas unggulan lebih unggul. Unggul kelasnya, unggul pula SPPnya. Bisa tiga kali lipat bedanya.

Intensitas siswa kelas unggulan menggunakan Bahasa Inggris lebih sering ketimbang siswa reguler. Tak jarang guru berkebangsaan asing pun didatangkan agar kemampuan mereka dalam berbahasa Inggris lebih bagus.

Entah sedang beruntung atau saya memang tergolong siswa yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata, saya terpilih menjadi salah satu calon siswa unggulan. Mengapa saya sebut calon, karena setelah saya tahu saya layak masuk kelas unggulan, saya diwajibkan membayar uang SPP tiga kali lipat dari SPP reguler. Untuk membayar uang SPP reguler saya, kedua orang tua saya sudah ngos-ngosan, apalagi harus membayar tiga kali lipatnya.

Sejak itulah saya merasa ada yang aneh dengan sistem RSBI. Saya merasa kelas unggulan atau internasional itu adalah kelas untuk anak-anak yang memiliki kecerdasan tinggidan berduit. “Orang miskin” seperti saya tak layak masuk ke kelas tersebut.

Saya juga agak bingung dengan pelabelan “internasional” . Apakah untuk menunjukkan “internasional” hanya sebatas menggunakan dua bahasa, Inggris dan Indonesia? Menurut saya label “internasional” seperti merek dagang sekolah. Kalau sekolah sudah punya label “inetnasional” pasti jadi sekolah favorit dan bergengsi.

Saya ragu sistem RSBI benar-benar efektif meningkat mutu pendidikan Indonesia. Semoga keraguan saya salah. Semoga RSBI bukan sekedar label “internasional” untuk menarik konsumen (calon siswa baru). Tapi benar-benar mampu mencetak generasi bangsa yang bisa bersaing di dunia internasional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun