Kebijakan Bank Indonesia menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (7DRRR) pada tanggal 29 Juni 2018 sebesar 50 basis poin (bps) sesuai dengan hasil keputusan Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia merupakan pilihan yang tepat untuk meredakan suhu di pasar keuangan domestik saat ini.Â
Bahkan bulan sebelumnya Bank Indonesia tercatat dua kali menaikkan suku bunga yakni tanggal 17 dan 30 Mei 2018 masing-masing sebesar 25 bps sehingga total kenaikan suku bunga dari bulan Mei-Juni 2018 sebesar 100 bps dari 4,25 persen menjadi 5,25 persen.Â
Menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate bertujuan untuk menjaga kestabilan perekonomian Indonesia ditengah ketidakpastian pasar keuangan global dengan menahan laju dana asing agar tidak keluar secara besar-besaran dari pasar domestik (capital outflow) untuk memperkuat posisi kurs rupiah (IDR).
Sampai saat ini pergerakan kurs rupiah terhadap dolar AS masih sangat fluktuatif. Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR), posisi rupiah menguat per tanggal 09 dan 10 Juli 2018 masing-masing Rp 14.332/USD dan Rp 14.326/USD jika dibandingkan posisi 06 Juli 2018 yang berada pada level Rp 14.409/USD.Â
Penguatan ini menunjukkan adanya pengaruh positif menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate yang membuat pasar keuangan Indonesia lebih kompetitif untuk mendorong masuknya arus modal asing ke pasar domestik (capital inflow). Kebijakan strategis Bank Indonesia bersama pemerintah harus dilakukan secara tepat dan akurat dengan memperhatikan kondisi ketidakpastian pasar keuangan global dan senantiasa menjaga kestabilan pasar domestik.
Ketidakpastian Global
Pengaruh ekonomi Amerika Serikat (AS) berdampak signifikan terhadap perekonomian global, apalagi ditengah gencarnya pemulihan ekonomi di era kepemimpinan Presiden Donald Trump, salah satunya dengan menaikkan suku bunga The Fed.Â
Sebagaimana diketahui, berdasarkan hasil rapat The Fed (FOMC) pada tanggal 12-13 Juni 2018 lalu, bunga acuan disepakati naik 25 bps dan membawa suku bunga The Fed menjadi 1,75 persen hingga 2,0 Persen.Â
Bahkan diperkirakan akan terjadi kenaikan hingga 3-4 kali pada tahun 2018 yang mengakibatkan dolar AS semakin menguat dan paradigma pelaku pasar keuangan global terhadap dolar AS semakin meningkat.
Hasil riset Lembaga pemeringkat Moody menyampaikan bahwa dampak penguatan mata uang dolar AS sejak pertengahan April 2018 terhadap depresiasi mata uang yang cukup tajam di negara-negara berkembang (emerging market), termasuk Indonesia.Â
Apabila terjadi kenaikan yang cepat dan penguatan kurs dolar AS, dampaknya pada Indonesia sebagai capital importing country yaitu akan mempengaruhi hutang luar negeri yang nilainya semakin besar dan biaya impor barang dan jasa yang semakin mahal.