OJK, Bagaimana Nasibmu di Bangsa Ini?
Belakangan ini, isu ekonomi yang mendapat sorotan masyarakat dari berbagai kalangan adalah mengenai keberadaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga independen yang menggantikan tugas, fungsi, dan wewenang Kementerian Keuangan melalui Lembaga Pengawas Pasar Modal serta Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) mulai 31 Desember 2012 dan juga mengenai tanggung jawab OJK yang semakin besar karena terhitung sejak 1 Januari 2014, OJK menjalankan fungsi pengawasan perbankan yang selama ini dijalankan oleh Bank Indonesia (BI) selaku Bank Sentral. Hal tersebut sesuai dengan amanat undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 mengenai Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga independen yang mengawasi perbankan, pasar modal, reksa dana, perusahaan pembiayaan, dana pensiun dan asuransi. Terbentuknya OJK adalah untuk mengatasi ancaman krisis keuangan, meningkatkan efisiensi di sektor perbankan dan lembaga keuangan lainnya serta melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.
Ketidakmumpunian Bank Indonesia dan Bapepam-LK dalam pengawasan sektor jasa keuangan terlihat dari banyaknya masalah keuangan yang terjadi di Indonesia yang berdampak sistemik dan bahkan merugikan negara dan masyarakat luas, seperti kasus Bank Century yang merugikan negara sebesar Rp 7,44 Triliun, kasus Malinda Dee/City Bank Rp 131 Miliar, Bank Mega sebesar Rp 111 miliar, Kasus tower BJB sebesar 540 Miliar, kasus PT Antaboga Sekuritas, kasus PT Askrindo dan tentunya masih banyak kasus lain yang belum terungkap. Hal ini menggambarkan betapa jelebau/lemahnya “kekuatan (yang seharusnya) besar” yang dimiliki kedua lembaga tersebut dalam menjalankan fungsi pengawasan dalam sektor keuangan. Inilah masa penentuan tajam atau tumpulkah taring OJK dalam menjalankan tugas, fungsi dan wewenangnya sebagai lembaga independen. Berharap, taring OJK harus amat tajam melihat banyaknya sindikat dan mafia-mafia dalam dunia perbankan dan pasar modal lainnya yang sudah terungkap bahkan yang masih belum terungkap dan kebobrokan kondisi perpolitikan di Indonesia serta fungsi “independensi” yang belum berjalan secara konsisten.
OJK Lahir Penuh Kontroversi
OJK dibentuk adalah dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di sektor jasa keuangan dapat terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel. Kedua, mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil. Ketiga, mampu melindungi masyarakat dan konsumen. OJK bukan hanya menyandang independen, namun wewenangnya juga berbeda dengan lembaga sebelumnya yaitu Bank Indonesia yang selama ini tidak memiliki kewenangan dalam penyidikan perbankan tetapi OJK memilikinya. Selain itu OJK juga berwenang memungut fee dari lembaga keuangan yang diawasinya dan fee tersebut digunakan sebagai biaya operasional daripada OJK. Terbentuknya OJK ini mengundang banyak pro dan kontra. Baru-baru ini beberapa aktivis yang tergabung dalam Tim Pembela Kedaulatan Ekonomi Bangsa mendaftarkan pengujian UU Nomor 21 Tahun 2011 ke Mahkamah Konstitusi yaitu mengenai fungsi pengawasan dan pengaturan perbankan sebenarnya merupakan tugas Bank Indonesia karena telah dilindungi oleh pasal 23D UUD 1945. Sehingga Bank Indonesialah satu-satunya lembaga yang mempunyai landasan kuat secara konstitusi untuk menjalankan fungsi pengawasan perbankan. Namun, dengan dibentuknya OJK menyebabkan tumpang tindihnya wewenang fungsi pengawasan perbankan itu sendiri. Walaupun dalam UU No.21 Tahun 2011 telah dimaktubkan bahwa fungsi pengawasan perbankan adalah fungsi independensi OJK tetapi sampai sejauh ini ternyata Bank Indonesia masih bisa melakukan pengawasan langsung ke perbankan. Sehingga pada realisasinya otoritas independensi dalam pengawasan perbankan belum sepenuhnya berada di tangan OJK. Kok bisa gitu? Jawabannya adalah karena OJK sampai saat ini masih berada pada masa transisi. Bahkan Orang-orang yang terdapat dalam OJK adalah sebagian besar berasal dari pegawai Bank Indonesia. Kalau begitu kenapa bukan Bank Indonesia saja yang memperlengkapi sistem kerja mereka serta meningkatkan kualitas SDM nya? Kalau toh mereka juga yang bekerja di OJK? Seharusnya OJK itu sudah berdaulat penuh mulai dari kekuatan hukumnya sampai kedaulatan independensi sebagai lembaga yang melakukan fungsi pengawasan perbankan agar kata “independensi” itu tidak bermakna bias.
Terkait masalah pembentukan komisioner OJK juga mengundang perdebatan. Pengamat Ekonomi, Faisal Basri, yang dimuat dalam kompas.com edisi 2 Maret 2014 mengatakan bahwa tidak semua komisioner OJK memiliki kemampuan di semua bidang jasa keuangan. Oleh sebab itu, beliau menilai bahwa rapat komisioner/rapat pleno yang dilakukan OJK akan sia-sia karena komisioner yang tidak memiliki kapasitas di bidang asuransi hanya akan menurut saja kepada komisioner yang memiliki kemampuan di bidang asuransi, begitu jugalah dengan bidang lainnya. Beliau juga mengatakan terkait kemungkinan kembali bergabungnya bank sentral dan pengawas di Bank Indonesia. Namun disisi lain beliau menyayangkan dana yang sudah dikeluarkan pemerintah untuk membentuk OJK sangat besar.
Sebenarnya sebelum terbentuknya OJK ini di Indonesia, sudah banyak lembaga sejenis ini yang dijalankan di berbagai negara yang tidak dapat mengatasi masalah sektor jasa keuangan bahkan melemahkan ekonomi negara. Bahkan ada negara yang membentuk lembaga seperti itu namun membubarkannya karena tidak dapat mengatasi krisis ekonomi yang dihadapi. Negara-negara Ekonomi maju dan Pemerintahannya bagus tetap saja gagal mengatasi masalah perekonomian negara mereka melalui lembaga sejenis OJK atau FSA (Financial Supervisory Agency) seperti:
a.Inggris
Lembaga di sejenis OJK di Inggris dinamai FSA (Financial Supervisory Agency), yang dibentuk tahun 1998. Terbentuknya lembaga ini dilatarbelakangi tutupnya 12 bank di Inggris. Sehingga fungsi pengawasan perbankan Inggris yang sebelumnya oleh Bank Sentral (Bank of England), diambil alih oleh FSA. Tapi apa yang terjadi? Pada tahun 2008 menjadi bukti kegagalan FSA setelah kejatuhan Northern Rock Bank, Bradford Bingley dan Royal Bank. Sekarang FSA dibubarkan dan fungsi pengawasan perbankan diserahkan kepada Bank Sentral.
b.Jepang
Pada tahun 1998, pengalihan fungsi wewenang pengawasan perbankan dari Bank Sentral Jepang (BoJ) diserahkan kepada lembaga sejenis OJK yaitu FSA. Sehingga BoJ hanya melaksanakan kebijakan dan perumusan sistem moneter. Hingga saat ini, kinerja FSA di Jepang belum berdampak signifikan dalam perekonomian, dibuktikan karena hingga saat ini masih dihantui resiko sistemik yang tinggi, dan penerapan prinsip prudensial yang belum maksimal.
c.Korea Selatan
Di Korea selatan pada tahun 1999, Financial Supervisory Service (FSS) dipimpin oleh seorang Gubernur, yang juga merangkap Gubernur jasa keuangan bertanggungjawab pada pemerintah. Tatanan seperti ini ternyata banyak menimbulkan banyak persoalan independensi dan kerancuan koordinasi dengan otoritas moneter.
Hasil survei IMF antara bulan Februari dan April 2007 terhadap 103 negara di dunia yang mewakili sekitar 91 persen total PDB dunia, menunjukkan mayoritas negara responden memberikan kewenangan melaksanakan fungsi pengawasan perbankan kepada bank sentralnya. Melihat nasib FSA/OJK negara-negara maju tersebut bahwa pembentukan lembaga independen dalam fungsi pengawasan sektor perbankan seperti OJK, tidak membawa kondisi ekonomi negara menjadi lebih baik. Malahan bisa berpotensi membuat perekonomian menjadi amburadul atau bahkan mengalami krisis akibat ketidakfokusan, tidak transparansi kinerja dan kelembagaannya dan tidak adanya integrasi antara bank sentral dengan lembaga sejenis OJK dalam menjalankan fungsinya. Hal yang paling ditakuti OJK hanya akan menjadi lahan basah para oknum yang tidak berintegritas apalagi OJK memiliki kewenangan untuk memungut fee untuk sektor keuangan yang diawasinya akan berpotensi untuk korupsi. Alangkah lebih baiknya saat sebelum terlalu jauh melangkah, pemerintah melakukan peninjauan ulang terhadap keberadaan OJK mulai dari kekuatan hukum dan aspek-aspek lain mengenai tugas, fungsi dan wewenang OJK sebagai lembaga independen. Dalam hal ini benar-benar melakukan persiapan yang matang ketika membentuk lembaga besar seperti OJK ini. Dengan membentuk suatu lembaga baru belum tentu bisa mengatasi permasalahan ekonomi secara maksimal jika orang-orang yang bermain di dalam nya itu-itu saja. Tulisan ini hanya memberikan gambaran keberadaan OJK sebagai lembaga independen dan juga perbandingan lembaga sejenis OJK yang gagal di negara maju. Bagaimanakah nasib OJK di Indonesia? Apakah OJK mengalami nasib yang sama seperti lembaga-lembaga/FSA yang mengalami kegagalan di negara maju dengan sistem politik yang lebih bagus? Kita liat saja pergerakannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H