Mohon tunggu...
tambara boyak
tambara boyak Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis Lepas

Belum lulus dalam ujian hidup

Selanjutnya

Tutup

Politik

Saya Berencana untuk Tidak Memilih Lagi

8 Februari 2024   20:45 Diperbarui: 8 Februari 2024   20:45 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.dw.com/id/mari-melihat-dampak-golput-dalam-kemunduran-peradaban/a-45844597

Tahun 2019 ada sekitar 190an juta terdaftar pemilih yang berhak untuk memilih, dan hanya 110an juta saja yang menggunakan hak pilih mereka atau sekitar 80an juta orang tidak atau berhalangan untuk memilih. Presentase yang sangat tinggi dan bila dikalkulasi ada 42% terdaftar pemilih lebih memilih untuk tidak memilih, melebihi partai pemenang dan hampir menyamai suara presiden terpilih yang mendapatkan sekitar 85an juta suara. 

Fenomena Golput terjadi pada setiap gejolak pemilu, kadang naik turun, kadang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor yang menyebabkan pemilih tidak memberikan haknya hak pilih adalah faktor politik, ideologi, dan identitas. Tapi golput juga bisa terjadi dipengaruhi oleh sistem pemilu yang tidak terorganisir dengan baik. Seseorang berperilaku golput dari segi teknis karena teknis pemilih kendala. Hal ini menghalangi mereka untuk menggunakan hak pilihnya, misalnya memiliki melakukan kegiatan lain pada waktu yang bersamaan pada hari pemungutan suara sehingga tidak dapat datang ke tempat pemungutan suara tempat. 

Golput merupakan keterikatan seseorang untuk memilih dalam proses pemilihan umum yang berbasis pada faktor psikologis, faktor sosiologis, dan faktor rasional pemilih. Pada Aspek politik, golput memiliki alasan seperti ketidakpercayaan terhadap partai, dan kandidat jangan percaya pada kesempatan yang lebih baik. Sedangkan jika dilihat dari satu aspek, identitas bisa lihat berdasarkan agama, tingkat pendidikan, umur, jenis kelamin, dll. Dari segi keimanan seseorang memutuskan golput karena partai diperkirakan tidak akan terpilih sebagai calon. Untuk  Misalnya, umat Kristiani cenderung tidak memilih partai yang mengusung Islam, seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan lain-lain. Di dalam Sebaliknya, sebagian besar kandidat atau partai politik yang nasionalis dianggap kurang perwakilan untuk menampung aspirasinya. Maka golput akan menjadi yang terakhir pilihan yang diambil.

Apa itu Golput?

Golput sering disebut penyimpangan perilaku negara demokratis. Dikatakan penyimpangan karena dalam demokrasi suatu negara, pendapat atau suara rakyat sangat penting dalam menentukan terpilih atau tidaknya seorang pemimpin bukan. Ada pula yang berpendapat golput adalah hal yang bodoh karena telah menyia-yiakannya kesempatan yang diberikan kepada mereka. Penurunan golput berarti politik rakyat partisipasi dalam pemilu meningkat, dan terpilihnya anggota legislatif dan presiden legitimasi politik kandidat menjadi lebih kuat. 

Anehnya, ketika pemilu dan kontroversi partai kini telah mengarah pada bentuk yang lebih demokratis, golput masih menjadi pilihan yang menarik bagi sebagian orang. Hal ini terlihat dari rendahnya jumlah pemilih pemilih pada pemilu legislatif di masa reformasi saat ini. Golput adalah mereka yang tidak menggunakan hak pilihnya. Ada empat jenis golput, yaitu pertama, teknis abstensi. Karena alasan teknis, tipe ini mencakup orang-orang yang tidak dapat pergi ke tempat tersebut tempat pemungutan suara (TPS) dan memilih, namun suaranya tidak sah. Kedua, teknis-politik golput, tidak mendaftar sebagai pemilih karena dirinya sendiri atau pihak lain. Pihak lain seperti penyelenggara pemilu atau badan statistik terkait. Ketiga, golput politik. Orang-orang dalam kategori ini merasa tidak punya pilihan di antara kandidat yang tersedia atau tidak percaya bahwa pemilu akan berubah. Keempat, adanya golput ideologis, golput karena tidak percaya demokrasi, baik untuk fundamentalisme agama atau ideologi lainnya. 

Banyak faktor yang menyebabkan tingginya golput pada pemilu di Indonesia. Diantaranya adalah (1) calon pemilih merasa tidak ada peserta pemilih yang mengakomodasi kepentingan mereka, (2) kurangnya informasi tentang pemilu, (3) memang demikian sulitnya mengurus surat pindah TPS, (4) pemilih belum memiliki e-KTP (e-KTP), (5) pesimistis terhadap hasil pemilu.

Namun secara pribadi, kenapa pada tahun ini saya memilih untuk tidak memilih lagi?

Tidak memilih juga termasuk pilihan dan pilihan tersebut merupakan urusan pribadi masing-masing dalam menghadapi setiap gelaran pemilu. Fenomena yang terjadi dan juga dapat disaksikan dengan jelas bahwa siapapun yang akan menang maka sistem yang telah dibuat akan tetap berjalan dengan semestinya, sambil pelan-pelan akan diubah juga pada akhirnya sama sang penguasa juga. Tidak ada alasan yang kuat untuk memilih, program dan visi misi yang kurang menggigit ditawarkan para calon. Politik saling caci maki, saling menghina dan yang paling penting adalah proses yang dicederai oleh lembaga penegak konstitusi jelang pendaftaran kemarin semakin memantapkan diri untuk tidak memilih saja. 

Disklaimer bahwa ini bukan ajakan tapi sebuah opini berdasarkan jurnal tentang fenomena golput di berbagai negara. Secara hati nurani sebetulnya memang kita mengidamkan sosok pemimpin ideal dengan ide idenya yang murni menjadi pemimpin di negeri ini Saya secara pribadi tidak menginginkan peristiwa yang terjadi di Filipina terulang di Indonesia dimana sang pemenang justru terjadi pecah kongsi atau banyak contoh sang pemenang pemilu akan melakukan tindakan nirmoral seperti korupsi dan nepotisme dengan menggunakan kuasa yang ia miliki. 

Saya benar-benar kesulitan dalam memilih pada tahun ini, kontestasi politik yang sangat membosankan tanpa ada artian yang berarti. Tidak ada alasan yang kuat untuk memilih pasangan manapun, calon manapun maupun partai manapun. Dan seperti kata bung rin, mari rapatkan barisan untuk menghadapi kekacauan pada tahun-tahun selanjutnya.

Berpendapat boleh kan ya? 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun