Karya : Zahirah Zahra
Kekata apa lagi yang harus kutulis untuk menafsirkan setiap gurat makna yang tersirat di hamparan kalimat jiwa. Tinta asa itu telah mengering sebelum aksara menjejak rasa, tersisa hanya ketimpangan bahasa pada ruang tempat menitipkan sepenggal imaji yang hampir purna di ujung penantian laju purnama.
Sekalipun rahsa begitu kuat mengerahkan kuasanya, memaksa jemari menggerakan pena, tetap saja keraguan memenjara hati. Mangkir, sesaat manyingkir dari segala cibir. Seperti halnya yang terjadi biarlah terjadi, tak perlu bersusah payah memoles rupa juga memelas pinta pada keangkuhan wajah diri. Biarkan bibir ini tetap kelu seribu bahasa, tentang ingin yang tak perlu gencar sesumbar. Â
Halaman teduh yang pernah dirimbuni hijaunya diksi, mulai rapuh berjatuhan di tanah gersang kebencian. Di manakah aksara bersembunyi? Perangkai mimpi telah menyepi di antara gumpalan ampas kopi yang basi, aroma menghambar sebab tak ada lagi jejak warna yang tergambar pada secangkir imajinasi bisu.Â
Gemintang hadir hanya sepintas pancaran silau, perlahan redup dihalau mendung yang merias galau. Malam berganti siang, berharap musim merubah deret angka pada hitungan kalender hari agar diri tak jemu dijejali detik-detik yang masih sama. Adakah semesta membawa warta, membabat habis resah yang bertakta.Â
Mungkin jiwa telah lelah, memilih kalah menyelinap dalam senyap. Â Enggan singgah memberi kabar, pun menyapa dengan lembut perasaan yang masih setia memeluk sabar. Haruskah rasa semakin dalam terkubur masa. Bayang kelukaan yang membekas, menari di atas remuk kerinduan. Sayapku melemah tak mampu lagi mengibas harap ketika asma kian lesap dibungkam serapah, sajakku pun telah patah.Â
 Â
Bekasi, 18 Mei 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H