Pernah kah kamu merasakan terkena imbas negatif dari sesuatu yang tidak pernah kamu lakukan?
Bayangkan dirimu sebagai masyarakat Bhutan: suatu negara kecil yang diapit oleh China dan India. Â Luas negaranya hanya 47.000 Km persegi, kira-kira setara dengan luas Provinsi Jawa Timur.Â
Namun, tidak seperti Jawa Timur yang dihuni oleh 40 juta lebih manusia, jumlah populasi manusia di Bhutan hanya sekitar 800.000 jiwa.
Raja Bhutan bersumpah bahwa 60% wilayah negaranya akan selamanya dijaga sebagai hutan. Bahkan, untuk merayakan kelahiran putra mahkotanya, raja Bhutan mengajak masyarakat untuk menanam 108.000 pohon demi membangun "Taman Kebahagiaan".
Perekonomian Bhutan sangat kecil dari segi finansial. Bahkan mungkin kekayaan seluruh negaranya jika digabungkan, tetap tidak akan melampaui kekayaan Jeff Bezos atau Jack Ma. Namun, meski hanya berupa negara kecil, kontribusi Bhutan terhadap lingkungan sangat luar biasa, melampaui kontribusi lingkungan yang diberikan oleh negara-negara besar.
Hutan Bhutan mampu menyerap 9 juta ton emisi karbon setiap tahunnya. Bahkan emisi karbon yang dikeluarkan masyarakatnya per tahun hanya 2 juta ton. Sehingga, pada dasarnya, negara Bhutan adalah negara yang negatif emisi karbon. Menjadi negara yang carbon-neutral alias nol emisi karbon saja sangat sulit, bayangkan menjadi negara yang negatif emisi karbon. Luar biasa, bukan?
Namun, meskipun sudah optimal dalam menjaga alam, Bhutan tetap merasakan konsekuensi dari pemanasan global. Bahkan, sepertinya dampak yang mereka rasakan lebih letal.
Bayangkan saja, Bhutan tidak punya wilayah perairan (landlocked) dan dikelilingi oleh pegunungan es Himalaya yang semakin mencair seiring waktu akibat pemanasan global. Dengan demikian, banjir bandang yang merusak adalah suatu keniscayaan.
Terbukti pada 20 Juli 2023, saat temperatur bumi sedang tinggi-tingginya, terjadi banjir bandang di wilayah Bhutan yang mengakibatkan 7 orang meninggal dunia. Banjir bandang ini terjadi akibat lelehan gletser di puncak pegunungan Himalaya yang lajunya tak dapat mereka antisipasi meski sudah lama terprediksi.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Jujur, kabar bencana alam di Bhutan menyentil nurani saya, membuat saya merasa bersalah, dan tidak berdaya. Saya hanyalah satu orang biasa. Apa yang bisa saya lakukan supaya tidak ada lagi nyawa-nyawa tak bersalah yang melayang akibat pemanasan global? Bagaimana saya bisa menekan pemanasan global agar tidak semakin progresif?
Mahatma Ghandi pernah berkata: "Kehebatan terbesar kita sebagai umat manusia bukanlah saat kita bisa mengubah dunia, tetapi saat kita bisa mengubah diri kita sendiri".
Sejak saat itu, saya bertekad untuk melakukan alterasi terhadap hal-hal kecil dalam rutinitas saya. Membuat perubahan dari hal-hal sekecil mungkin, tetapi dilakukan dengan tepat dan konsisten.Â
Nah, tulisan ini saya buat untuk menjabarkan 7 perubahan rutinitas yang saya lakukan demi memupuk harapan menuju masa depan berkelanjutan (sustainable future).
1. Substitusi Tisu Sekali Pakai dengan Tisu Ramah Lingkungan (Reusable/ Dapat Digunakan Berulang Kali)
Mungkin kamu berpikir "cuma ganti tisu doang berharap bisa kasih dampak?". Jangan salah, World Wide Fund for Nature menemukan fakta bahwa 10% dari 270.000 pohon yang ditebang setiap tahunnya di seluruh dunia, berakhir di tempat sampah karena dijadikan tisu sekali pakai.
Selain itu, karena tisu sangat murah dan mudah didapatkan, orang-orang cenderung menghambur-hamburkan penggunaan tisu. Terbukti dari penelitian WWF yang menemukan bahwa satu orang di kota besar menggunakan tiga helai tisu hanya untuk satu kali mengeringkan tangan meskipun sudah difasilitasi hand dryer.
Mulailah konsisten untuk berhenti menggunakan tisu sekali pakai. Kemudian, pengaruhi orang-orang sekitarmu untuk melakukan hal yang sama.Â
Sedangkan di pasar, tanpa adanya permintaan, tidak akan ada penawaran, bukan? Maka dari itu, yuk kurangi permintaan terhadap tisu sekali pakai, dan tingkatkan permintaan terhadap tisu ramah lingkungan (reusable/ dapat digunakan berkali-kali).
Kita sebagai konsumen, punya kuasa besar terhadap pasar. So, gunakan kuasa itu untuk menciptakan sustainable living yang bermuara pada sustainable future. Ciptakan pasar yang  mendukung perkembangan produk ramah lingkungan!
2. Substitusi Pembalut Sekali Pakai dengan Pembalut Ramah Lingkungan (Reusable/ Dapat Digunakan Berulang Kali)
Mengutip dari Penelitian Setyaningtias, 2018, sampah pembalut di Indonesia mencapai 26 ton per hari. Pembalut terbuat dari kapas, plastik, hidrogel, serta bahan-bahan kimia lainnya yang sangat sulit terurai dalam tanah, sehingga menyebabkan pencemaran lingkungan.
Agar kita bisa selangkah lebih dekat menuju masa depan lingkungan yang sustainable, kita juga harus bisa mengganti produk pembalut yang sustainable, dong?
Saya sudah lama konsisten menggunakan pembalut reusable, yaitu pembalut yang dapat dicuci setelah dipakai dan dapat digunakan kembali. Pembalut reusable ini terbuat dari kain yang mudah menyerap cairan dan mudah dibersihkan. Produk ini tidak sulit ditemukan, dapat banyak ditemukan di toko online.
3. Menerapkan Konsep "Capsule Wardrobe"
Capsule Wardrobe adalah konsep koleksi pakaian yang terdiri dari beberapa item yang dapat dengan mudah dikombinasikan untuk menciptakan berbagai gaya pakaian.Â
Tujuan utama capsule wardrobe adalah agar seseorang memiliki jumlah pakaian yang lebih sedikit, tetapi dapat menghasilkan berbagai kombinasi pakaian yang berbeda-beda. Konsep ini dapat mengurangi limbah tekstil dari produksi pakaian.
Contohnya, saya hanya akan membeli jaket berwarna netral, agar lebih mudah dikombinasikan dengan pakaian lain seperti dress, kaus, celana jeans, dan lain-lain. Selain itu, agar semakin sustainable, saya hanya membeli pakaian berkualitas tinggi, agar lebih awet dan tidak cepat berakhir sebagai limbah tekstil.
Kalau ditelisik lebih lanjut, selain dapat mengurangi limbah tekstil, konsep ini juga membuat kita lebih hemat. Karena, pengeluaran untuk membeli pakaian atau item fashion menjadi lebih sedikit.
4. Rutin Membawa Tumblr, Snack Box, Kotak Bekal Makanan, dan Takeaway Box sebagai Wadah Makanan dan Minuman Saat Beraktivitas di Luar Rumah
Tahukah kamu kalau populasi usia produktif di Indonesia mencapai 190 juta jiwa? BPS memperkirakan bahwa bonus demografi Indonesia akan mencapai puncaknya pada tahun 2030 mendatang.
Masyarakat usia produktif menghabiskan banyak waktu beraktivitas di luar rumah, baik untuk bersekolah, kuliah, bekerja, berdagang, dan aktivitas produktif lainnya. Oleh karena itu, bisa dipastikan bahwa limbah dari aktivitas luar rumah mereka akan sangat banyak, bukan?
Nah, saya sebagai warga dalam rentang usia produktif berusaha meminimalisir limbah dengan rutin membawa 4 item ini:
*) Tumblr: untuk wadah air minum demi menghindari pembelian air minum kemasan
*) Kotak bekal makanan: untuk makan siang di kantor agar tidak selalu membeli makanan dari luar
*)Â Takeaway box: wadah makanan untuk membawa makanan yang saya beli dari restoran (takeaway)
*)Â Snack box: wadah penyimpanan snack atau makanan ringan yang saya beli, agar tidak perlu menggunakan kertas dan/atau plastik pembungkus lagi
5. Substitusi Masker Sekali Pakai dengan Masker Kain Reusable
Tahu gak jenis sampah apa yang paling banyak mencemari lautan sejak tahun 2020? Yup, sampah masker! Fakta ini tidak terlalu mengejutkan sebetulnya, mengingat penggunaan masker meningkat pesat sejak Pandemi Covid-19 pada 2020 silam.Â
Pada tahun 2020, lebih dari 1,6 milyar helai sampah masker berakhir di lautan, jumlah ini setara dengan 5,5 milyar sampah plastik.
Dengan demikian, saya berusaha konsisten menghindari penggunaan masker sekali pakai dengan beralih menggunakan masker kain. Banyak orang yang ragu menggunakan masker kain karena masker kain tidak memiliki filter penyaring virus (PM 2.5).Â
Namun, saya mengakalinya dengan cara membeli masker kain yang memiliki lapisan tambahan untuk disisipi filter PM 2.5 seperti gambar di atas.
Memang sih, di Indonesia sudah ada institusi yang turut berupaya mengurangi sampah laut, misalnya seperti PT Elnusa Petrofin yang meluncurkan program Armada Transportasi Sampah Desa Sapa Raya (ASIAP).Â
Namun, program semacam itu tidak akan optimal hasilnya jika tidak dibarengi dengan kesadaran kolektif dari individu yang masih menggunakan produk yang berkontribusi terhadap pencemaran laut.
6. Menggunakan Bioplastik (Plastik yang Terbuat dari Cassava) sebagai Alternatif Plastik Konvensional
Penggunaan plastik untuk kebutuhan sehari-hari memang sulit untuk dihindari 100%. Memang sih, untuk kebutuhan berbelanja, sekarang sudah ada shopping bag yang reusable.Â
Namun, untuk keperluan lain seperti membuang sampah, belanja produk basah, dan untuk mengemas barang dan dokumen, biasanya kita masih menggunakan kemasan plastik dan kertas.
Tidak seperti plastik konvensional yang membutuhkan waktu ratusan tahun untuk terurai dalam tanah, bioplastik yang terbuat dari cassava (singkong) dapat terurai hanya dalam waktu 180 hari saja. Selain itu, sampah bioplastik dapat digunakan kembali sebagai pupuk kompos, sehingga sifatnya sangat sustainable.
Saya menggunakan bioplastik untuk 3 penggunaan rutin, yaitu:
- Sebagai plastik pembuangan sampah rumah tangga
- Untuk belanja buah dan sayuran basah
- Untuk kemasan pengiriman barang
7. Beralih Menggunakan Transportasi Umum untuk Mobilitas Harian
Pada bulan Desember 2023 lalu, saya berhasil meraih juara 1 dari kompetisi menulis yang diselenggarakan oleh KBR (Kantor Berita Radio). Tema kompetisi tersebut adalah: Sinergitas Sektor Transportasi dan Energi.
Dari penelitian yang saya lakukan, masih banyak masyarakat yang menggunakan kendaraan pribadi karena fleksibilitas, privasi, gengsi, status sosial, door to door, dan lain-lain.Â
Padahal, di Jakarta, sistem transportasi umum sudah cukup terintegrasi. Lain halnya dengan di kota lain yang transportasi umumnya masih belum terintegrasi.
Sektor penyumbang polusi udara terbesar di Indonesia adalah sektor transportasi (44%), disusul oleh industri manufaktur (31%), kemudian sektor perumahan dan komersial (15%).Â
Oleh karena itu, saya berusaha konsisten menggunakan moda transportasi umum demi mengurai kemacetan di Ibu Kota. Tidak lupa konsistensi ini dibarengi dengan kegiatan persuasi, yaitu mengajak orang-orang sekitar saya untuk turut menggunakan moda transportasi umum.
Sebenarnya masih bayak perubahan kecil yang dapat kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, berinternet secara bijak menggunakan search engine yang lebih ramah lingkungan, dan lain-lain. Itu lah 7 perubahan kecil sebagai aksiku menentukan masa depan lingkungan sustainable, bagaimana dengan kalian?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H