Oleh : Tamara Fitri Cahyani (Mahasiswi Pendidikan Sosiologi, FIS, UNJ)
Pada awal bulan Maret 2020 seluruh dunia termasuk Indonesia telah digemparkan oleh virus yang membahayakan bagi semua orang yaitu virus covid 19. Semakin hari, maraknya korban yg bertambah. Walaupun himbauan dan kebijakan dari pemerintah sudah diterapkan, tetapi pasien positif semakin berjatuhan dan banyak setiap hari. Keadaan di luar kendali manusia ini cukup memberi perubahan besar di berbagai bidang, salah satunya yaitu pendidikan. Pendidikan mendapat dampak yg besar akibat pandemi covid ini.
Karena perubahan dan perbaruan kebijakan yang dibuat, peserta didik tidak dapat lagi belajar di sekolah, akan tetapi hanya belajar di rumah dengan menggunakan sistem pembelajaran daring jarak jauh. Hal ini seperti keputusan yang diedarkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia terkait Surat Edaran Nomor 04 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran Corona Virus Disease (Covid-19).
Sistem pembelajaran yang di laksanakan melalui teknologi atau laptop yang terhubung dengan koneksi jaringan internet. Siswa dapat melakukan pembelajaran di waktu yang sama menggunakan grup di media sosial seperti WhatsApp, telegram, instagram, aplikasi zoom ataupun media lainnya. Guru atau dosen bukan satu-satunya pengajar yang menjadi tonggak penentu. Ini merupaka tantangan berat bagi semua pendidik yaitu guru, dosen, maupun orangtua sekalipun. Ada banyak orangtua mengeluhkan media pembelajaran jarak jauh secara daring (internet) ini.
Terlebih bagi orangtua yang work from home atau harus bekerja di rumah, dan harus tetap mendampingi anak-anaknya, apalagi jika sang anak masih berada di usia dini. Mengingat belum meratanya orang yg bisa teknologi dalam pemanfaataan media belajar, seperti laptop, gadget, dan lainnya
Walau begitu, sistem pembelajaran terpaksa tidak lagi melalui tatap muka. Namun, hal tersebut tidak searah dengan gaya pembelajaran dalam pendidikan kritis yang harus menekankan untuk melakukan jalinan interaksi dan komunikasi dua arah secara langsung.
Hal ini disebabkan dalam pendidikan kritis hubungan pendidik atau guru dan peserta didik atau murid terjadi secara dialogis. Pendidik dapat memberi masukan dan arahan yang baik dalam menyikapi persoalan segala sesuatu. Oleh karena itu, pendidikan kritis difokuskan untuk mampu membangun daya pola pikir kritis, sehingga dapat menghadapi tantangan-tantangan hidup masa datang yang akan dihadapi termasuk covid 19 saat ini.
Pendidikan kritis merupakan perspektif berpikir yang bertujuan untuk membangun kesadaran publik dalam ruang pendidikan dengan melakukan perlawanan atas kekuatan ekonomi, politik, relasi sosial yang timpang. Pendidikan kritis dikhususkan untuk memihak kepada kelompok yang termarjinalkan. Secara lebih spesifik, pendidikan kritis dapat dijadikan sebagai dasar dalam berpikir dan bertindak para peserta didik dalam melihat dunia berdasarkan kesadaran kritisnya sendiri. Menurut Freire pendidikan kritis memberikan kontribusi lebih khusus dalam praktik pendidikan, yaitu membangun relasi dialogis.
Hubungan pendidik dan peserta didik harus terbangun langsung secara dialogis. Dialog yang terbangun ini kemudian bertujuan dengan mempraktikkan pendidikan 'ko-eksistensi', yaitu pendidik dan peserta didik sama-sama bertindak terhadap kenyataan. Pendidik menjadi fasilitator untuk menghubungkan aktifitas kesehariannya dan pengalaman hidupnya dengan literatur kritis yang dipelajari di kelas.
Membentuk pengalaman sehari hari dapat memupuk dan menciptakan kesadaran kritis sesuai dengan pengetahuan yang dibangun di ruang kelas. Dengan berdialog antara pengetahuan dengan realitas, maka dapat tercipta pengetahuan baru yang merefleksikan kembali cita-cita revolusioner. Pendidikan kritis dapat diartikan sebuah proses dialektis dan mendukung proses dialog yang saling mempengaruhi antara pendidik dan peserta didik.
Proses pembelajaran dalam membentuk peserta didik berpikir, akan lebih diarahkan kepada terciptanya dialog, pemecahan masalah, pemerdekaan, desosialisasi dan kesadaran kritis. Strategi pembelajaran dilakukan oleh seorang pendidik sebagai bentuk penyiasatan terhadap situasidan kondisi lingkungan pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan. Sebagaimana tujuan pendidikan kritis bahwa peserta didik diharapkan mampu menjadi pemikir kritis, inspirator, pekerja terampil dan warga negara yang aktif, maka strategi pembelajaran kritis dirancang dan diarahkan dalam hal ini dapat menjadikan peserta didik mampu merefleksikan pengalaman dan masalah mereka sendiri.
Pendidikan kritis ini merupakan pendidikan yang mampu menciptakan ruang untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas dan kritis dalam rangka transformasi sosial. Dengan kata lain, tugas yang utama dalam pendidikan untuk pendidikan kritis ini adalah "memanusiakan" kembali manusia yang mengalami dehumanisasi karena sistem dan struktur yang tidak adil dan merata.
Freire lebih menekankan pendidikan kritis dengan konsep dialog, tindakan (praxis), penyadaran dan pendidikan berbasiskan pengalaman hidup. Pendidikan kritis yang dikembangkan oleh Freire dalam berbagai karyanya merupakan suatu konsep umum mengenai critical practice di dalam dan sekitar pendidikan. Namun, konsep ini dipandang memiliki kajian yang lebih luas, mengenai struktur dan juga relasi pendidikan melebihi studi kritis tentang teks, yang menjadi dasar dalam pembentukan masyarakat secara lebih luas. Dalam perkembangannya pendidikan kritis, baik dalam pandangannya atau paham lain, selalu dikaitkan antara teori dan praktik.
Intinya, pendidikan kritis mempunyai upaya dalam member kesempatan dan kebebasan bagi para individu untuk menentukan masa depannya sendiri. Inilah yang sejalan dengan pemikiran Freire bahwa pendidikan adalah praktik pembebasan (education as the practice of freedom).
Di dalam konteks ini, pedogogi kritis dimaknai Freire sebagai "suatu bentuk pedagogi yang harus diolah bersama, bukan untuk, the oppressed (sebagai individu maupun anggota masyarakat secara keseluruhan) dalam perjuangan tanpa henti untuk merebut kembali kemanusiaan. Pedagogi ini menjadikan penindasan dan sebab-sebabnya sebagai bahan refleksi bagi the oppressed, dan dari refleksi ini akan lahir perlunya terlibat dalam perjuangan bagi kebebasannya. Dalam perjuangan ini pedagogis akan dibuat dan diperbaiki.
Referensi:
Atsani, Zaiuddin. 2020. Transformasi Media Pembelajaran Pada Masa Pandemi Covid-19. Jurnal Studi Islam Vol 1 (1)
Ichsan, AS. 2020. Pandemi Covid-19 dalam Telaah Kritis Sosiologi Pendidikan. Vol 7(2)
Rakhmat Hidayat. Pedagogi Kritis Sejarah, Perkembangan dan Pemikiran. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013)
Samsudin, Umar. 2020. Pendidikan Kritisdi Era Pandemi Covid 19 Dan media Sosial. Tarbawi, Vol. 3:2
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI