Mohon tunggu...
Dewi Sulistiawaty
Dewi Sulistiawaty Mohon Tunggu... Freelancer - Content Creator

Make it simple!

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

34% Pelajar SMA di Jakarta Berisiko Mengalami Gangguan Mental Emosional

18 Desember 2024   01:16 Diperbarui: 18 Desember 2024   01:26 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Remaja rentan mengalami gangguan kesehatan mental (kanchanachitkhamma)

Lebih lanjut Dr. Ray menjelaskan bahwa penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesiapan remaja SMA sebagai generasi muda untuk Indonesia Emas 2045. Untuk itu perlu dilakukan identifikasi kondisi serta deteksi dini kesehatan jiwa pada remaja, yakni pelajar SMA. Penelitian tersebut melibatkan 741 pelajar SMA dan 97 guru SMA dari sekolah negeri dan swasta, dengan menggunakan tools Instrumen Skrining Keswa. Sedangkan desain penelitian yang digunakan adalah studi potong lintang, dengan menggunakan metode campuran, kuantitatif dan kualitatif.

"Hasil dari studi ini menunjukkan bahwa 34% pelajar SMA atau remaja pelajar di Jakarta terindikasi mengalami masalah kesehatan jiwa. Artinya ada risiko gangguan emosional," papar Dr. Ray.

34% pelajar yang terindikasi mengalami risiko masalah kesehatan jiwa tersebut, terbagi ke dalam 4 komponen subskala, yaitu 26% pelajar yang cenderung menyendiri, tidak memiliki satu teman baik, dan sering diganggu oleh anak lain; 23% pelajar yang cenderung mudah takut, khawatir, tidak percaya diri, dan ada keluhan sakit pada badan yang sebenarnya tidak sakit (psikosomatis); 29% pelajar yang terindikasi mengalami gangguan hiperaktivitas selama di sekolah; serta 18% pelajar menunjukkan perilaku agresivitas, seperti sering marah, berkelahi, berbohong, dan bersifat curang.

Temuan lain dari penelitian tersebut juga menunjukkan 8 dari 10 atau 86% pelajar SMA di Jakarta memiliki kemampuan berinteraksi positif dengan orang lain/ prososial yang baik. Ini artinya, terdapat pelajar SMA yang bisa dilibatkan sebagai penggerak dan menjadi modal yang potensial dalam meningkatkan kesehatan jiwa pelajar di sekolah. Mereka diharapkan dapat menjadi konselor sebaya bagi teman-teman di sekolahnya.

Mengapa diperlukan konselor sebaya? Berdasarkan hasil studi Zona Mendengar Jiwa yang dilakukan HCC dan FKI bersama dengan Yayasan BUMN, hanya 56% pelajar SMA yang mau menceritakan permasalahannya dengan orang lain. Dari 56% tersebut, sebanyak 55,5% nya mengaku memilih bercerita (curhat) dengan teman sebaya, dan 54,3% nya dengan orang tua atau anggota keluarga, sedangkan 8,8% sisanya curhat kepada gurunya. Angka ini menunjukkan betapa pentingnya peran teman konseling sebaya bagi para remaja.   

"SMA di Jakarta punya ruang Bimbingan dan Konseling (BK). Dari studi, 7 dari 10 atau 67% pelajar SMA menyatakan belum pernah mengunjungi ruang BK, apalagi untuk konseling. Dari 67% tersebut, 35% nya beralasan ruang BK itu hanya untuk siswa yang bermasalah, sedangkan 37% nya mengaku memang tidak perlu ruang BK untuk konseling. Curhat bisa dilakukan dengan teman sebaya. Dan menurut mereka, ada 3 tempat nyaman yang biasanya dijadikan tempat curhat, yaitu ruangan kelas, kantin, dan kamar mandi," ungkap Bunga.

Dari temuan tersebut bisa disimpulkan bahwa pelajar SMA membutuhkan ruang privasi agar mereka bisa curhat dengan nyaman. Itu artinya menurut para pelajar SMA di Jakarta, ruangan BK berpotensi belum menjadi tempat privasi yang nyaman untuk mereka bercerita.  

Rekomendasi Berdasarkan Hasil Penelitian

  • Diperlukan upaya intervensi dan promosi kesehatan jiwa di tingkat sekolah secara terstruktur.
  • Mendorong upaya deteksi dini masalah kesehatan jiwa remaja dengan skrining rutin, berkala, dan terstruktur.
  • Menguatkan dan memperluas harmonisasi jaringan sekolah dan fasilitas kesehatan tingkat pertama.
  • Meningkatkan kesadaran, pengetahuan, dan lingkungan yang mendukung kesehatan jiwa di sekolah.
  • Desakralisasi ruang BK mendesak dilakukan, dengan membuat ruang konseling yang lebih nyaman dan ramah bagi siswa untuk menghilangkan stigma.
  • Mengarusutamakan digitalisasi konseling, promosi, dan edukasi kesehatan jiwa menyasar siswa dan guru.
  • Diperlukan upaya peningkatan kapasitas dan keterampilan guru serta teman sebaya sebagai konselor di sekolah.
  • Mendorong adanya upaya konseling sesuai dengan pendekatan terkini dan berorientasi curhat sesuai karakterisitik generasi kini.
  • Melibatkan peran orang tua dalam meningkatkan kesehatan jiwa pelajar.
  • Optimalisasi program "Zona Mendengar Jiwa" diharapkan dapat membantu siswa dan guru dalam mengatasi masalah kesehatan mental dengan lebih baik.

Sebagai Program Manager Health and Wellbeing Yayasan BUMN, Heru Komarudin berharap 10 rekomendasi berdasarkan hasil penelitian ini dapat diterapkan oleh pihak sekolah, terutama pelaksanaan skrining kesehatan mental, identifikasi masalah dan konseling berbasis sekolah, konseling sebaya, serta integrasi layanan kesehatan dengan sekolah. Hal ini sejalan dengan upaya negara dalam membentuk generasi muda yang sehat fisik dan mental dalam menyambut Indonesia Emas 2045.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun