Gangguan mental emosional merupakan kondisi kesehatan mental yang menyebabkan perubahan emosi, yang dapat memengaruhi perasaan, suasana hati, pikiran, dan juga perilaku seseorang. Disadari atau tidak, anak di usia remaja termasuk ke dalam kelompok yang sangat rentan mengalami gangguan mental emosional. Kondisi ini terjadi tak hanya disebabkan oleh perubahan hormon dan perkembangan fisik yang meningkat di usia tersebut, namun juga karena dipengaruhi oleh beberapa faktor lainnya.
Mudah marah dengan kondisi emosi yang tidak stabil, bisa saja disebabkan oleh berbagai tekanan yang mereka alami, seperti masalah akademis di sekolah, pergaulan dengan teman sebaya, hingga penggunaan media sosial yang berlebihan. Namun kebanyakan gangguan emosional yang terjadi pada para remaja ini jarang terdeteksi, karena gejalanya yang tidak terlihat seperti halnya penyakit fisik, serta jarangnya remaja yang berkeinginan untuk menceritakan masalah yang mereka alami kepada orang tua, keluarga, atau orang lain. Â Â Â
Akibat tidak lepasnya beban atau masalah yang ada di pikirannya tersebut menyebabkan para remaja melampiaskannya dalam bentuk amarah, emosi yang tiba-tiba meledak, murung, sedih, serta perilaku berisiko tinggi, seperti berkelahi, bolos, mengonsumsi minuman beralkohol, hingga mencuri dan melakukan tindakan kriminal lainnya. Jika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, remaja tersebut akan berisiko mengalami depresi, berperilaku antisosial, hingga keinginan untuk bunuh diri.
Sayangnya, berdasarkan penelitian terungkap sebuah fakta yang memprihatinkan mengenai kesehatan mental remaja di Jakarta. Dari hasil studi tersebut diketahui bahwa 3 dari 10 pelajar sering berperilaku marah dan cenderung berkelahi akibat gangguan mental emosional.
Hasil Studi: 34% Pelajar SMA di Jakarta Berpotensi Alami Gangguan Mental Emosional
Penelitian terbaru mengenai kesehatan mental emosional remaja di Jakarta tersebut dilakukan oleh Health Collaborative Center (HCC) dan Fokus Kesehatan Indonesia (FKI) bersama dengan Yayasan BUMN melalui inisiatif Mendengar Jiwa Institute, dengan tim peneliti Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK, FRSPH sebagai Peneliti Utama HCC, Bunga Pelangi SKM, MKM sebagai Direktur Program HCC, serta Prof. Dr. dr. Nila F. Moeloek Sp.M(K) sebagai Direktur Eksekutif FKI, dengan melibatkan para pelajar SMA di Jakarta.
Menuju Indonesia Emas 2045, di 100 tahun usia kemerdekaan Indonesia, tentunya diharapkan bangsa ini sudah berada dalam kondisi yang sangat baik. Dengan bonus demografi, generasi muda yang ada saat ini nantinya akan menjadi generasi emas di tahun 2045, yang akan menentukan kemajuan Indonesia di masa depan. Untuk mewujudkan hal tersebut, bangsa ini harus mempersiapkan sumber daya manusia, yakni generasi muda yang berkualitas, kompeten, berdaya saing, dan produktif.
Namun bagaimana jika ada remaja yang mengalami gangguan mental? Tentunya bangsa ini tidak akan mampu memaksimalkan bonus demografi dan mewujudkan Indonesia Emas 2045. Untuk itulah, FKI dan HCC, bersama dengan Yayasan BUMN melakukan penelitian kesehatan mental pada remaja, terutama remaja di usia SMA. Mengapa remaja di sekolah? Karena sekolah sebagai lembaga pendidikan menjadi lokus mayor sumber gangguan kesehatan mental pada remaja. Namun di sisi lain, sekolah juga dapat menjadi lokus potensial untuk promosi serta preventif kesehatan jiwa bagi para remaja.
Menurut Prof. Nila, hubungan yang positif dengan guru dan teman sekolah, berpotensi menurunkan tingkat kecemasan dan depresi pada remaja sekitar 15%. Sementara itu, peer-discussion (curhat) dengan teman sebaya atau teman sekelas, 50% lebih efektif dalam menekan risiko depresi remaja serta tindakan perundungan di sekolah. Dengan begitu, sekolah akan menjadi zona yang nyaman untuk kesehatan jiwa jika anak sekolah terampil peer-discussion, serta guru mahir 'konseling dan skrining'.
"Pelajar usia remaja merupakan individu yang masih perlu bimbingan. Untuk itu, konsultasi dengan teman sebaya (peer-discussion) tetap harus disiasati sebagai saluran bercerita saja. Jadi bukan untuk dilakukan sebagai upaya mitigasi konseling. Karena nantinya ada kemungkinan potensi saran yang tidak akurat, sebab mereka sendiri juga perlu dibimbing. Ini juga merupakan tugas orang tua, keluarga, serta guru di sekolah," ujar Prof. Nila.