Hari Gizi Nasional selalu diperingati setiap tanggal 25 Januari. Setiap tahun pula pemerintah, melalui Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes), memanfaatkan hari tersebut sebagai momentum untuk meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap berbagai persoalan gizi yang ada di tanah air. Bicara mengenai permasalahan gizi, bukan saja tentang seberapa besar asupan nutrisi yang harus dikonsumsi, namun juga tentang bagaimana perilaku seseorang saat mengkonsumsi makanan tersebut.
Berdasarkan data global, di tahun 2010 terdapat sekitar 40% orang di seluruh dunia yang memiliki perilaku makan emosional atau tanpa kesadaran, seperti makan terlalu cepat, makan sambil mengerjakan pekerjaan lain, dan tidak fokus pada makanan yang dikonsumsinya. Di tahun 2019 ditemukan data bahwa sekitar 30-40% populasi orang dewasa di negara-negara maju memiliki pola makan emosional. Penelitian menunjukkan bahwa perilaku ini memiliki dampak yang kurang baik terhadap kesehatan dan juga kualitas hidup seseorang.
Hal inilah yang kemudian mendasari Health Collaborative Center (HCC) untuk melakukan penelitian terkait perilaku mindful and emotional eating pada masyarakat Indonesia. Informasi lebih lengkap mengenai penelitian tersebut disampaikan oleh Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK, FRSPH di Beautika Restoran pada hari Rabu, 24 Januari 2024. Selaku Peneliti Utama, Dr. Ray menyebut dari penelitian ini ditemukan hasil bahwa tingkat perilaku mindful eating orang Indonesia masih rendah.
Perilaku Mindful dan Emotional Eating
Mindful eating atau perilaku makan yang baik dan penuh perhatian merupakan teknik yang dapat membantu seseorang dalam mengelola kebiasaan makannya dengan baik. Sedangkan emotional eating atau makan emosional adalah saat seseorang memanfaatkan makanan sebagai cara untuk mengatasi emosinya, dan bukan disebabkan oleh rasa lapar. Perilaku makan emosional ini dapat meningkatkan risiko stres dan mengganggu potensi asupan gizi seimbang, yang dapat mengakibatkan ketidakseimbangan serapan nutrisi oleh tubuh, hingga gangguan kesehatan mental.
"Perilaku mindful dan emotional eating ini banyak dipelajari di negara-negara maju, karena biaya perawatan kesehatannya yang tinggi, terutama untuk penyakit terkait obesitas karena gangguan perilaku makan. Orang dewasa yang sudah mengalami gangguan emotional eating, dan tidak makan secara mindful, cenderung akan mengalami stres. Bahkan produktivitasnya bisa menurun. Apalagi pada orang yang sudah menderita penyakit tertentu, lalu ditambah dengan gangguan perilaku makan, itu penyakitnya bisa menjadi lebih berat atau makin parah, periode sembuhnya tambah lama, sehingga biaya perawatannya menjadi lebih tinggi," jelas Dr. Ray.
Untuk menentukan tingkat dan prevalensi perilaku mindful dan emotional eating di Indonesia, HCC melakukan survei secara online, dengan menggunakan metode Random Sampling Rapid-Respond. Survei ini melibatkan 1158 responden yang tersebar di 20 provinsi, dengan usia di kisaran 20 -- 59 tahun, serta rentang pendidikan dan pekerjaan merata. Menurut Dr. Ray, hasil penelitian ini memiliki tingkat kepercayaan/ CI 95% dan margin of error 2.88%. Â
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 53% orang Indonesia sudah memiliki perilaku makan yang baik atau mindful eater, sedangkan 47% nya masih memiliki perilaku makan emosional. Dari prevalensi 47% tersebut, 49% nya merupakan orang dengan usia muda (<40 tahun), 57% orang yang sedang menjalankan diet, dan 51% berisiko mengalami stres tingkat sedang dengan risiko hingga 2 kali lipat. Penelitian ini menunjukkan bahwa 4 hingga 5 dari 10 orang Indonesia mengalami perilaku makan emosional.
Dr. Ray mengatakan bahwa orang dengan perilaku makan emosional sangat berisiko 2,5 kali lipat mengalami stres tingkat sedang hingga berat. Ia juga menganjurkan jika perilaku makan emosional seseorang sudah berada dalam kondisi yang parah, sebaiknya segera konsultasikan ke tenaga psikolog dan dokter ahli gizi medik, agar dapat dikoreksi perilaku dan status gizinya.
"Saat seseorang makan dengan kondisi emotional eating, maka yang dirangsang itu adalah saraf nafsu makan. Sehingga kepuasan makan orang yang emotional eater itu tidak akan berakhir, tidak pernah merasa kenyang. Hormon yang bekerja untuk menyerap nutrisi, seperti hormon pencernaan pun tidak akan bekerja. Jadi sebagus apapun makanan bernutrisi yang dimakan, tapi jika makannya dengan emosional eater, nutrisinya tidak akan terserap dengan baik. Yang ada lemak akan menumpuk, dan berisiko obesitas," ungkap Dr. Ray. Â Â Â