AIDS merupakan salah satu penyakit yang berpotensi tidak dapat diselesaikan akibat stigma dan diskriminasi masyarakat terhadap Orang Dengan HIV (ODHIV). Penilaian negatif dan perlakuan masyarakat, seperti menyalahkan, mengucilkan, dan bahkan menolak keberadaan ODHIV di lingkungan mereka, menjadi salah satu faktor yang menyebabkan penderita enggan untuk mengungkapkan, dan juga mengobati penyakitnya. Â Â
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes), estimasi ODHIV di Indonesia tahun 2023 berada di angka 515.455 orang, dengan 454.723 (88%) ODHIV yang hidup dan mengetahui statusnya, 209.288 (40%) ODHIV yang sedang dalam pengobatan ARV, serta 69.149 (33%) ODHIV yang dalam pengobatan ARV dengan hasil Viral Load (VL) tersupresi atau jumlah virus HIV dalam darahnya sangat rendah. Pemerintah terus berupaya untuk menekan angka kasus HIV, dengan melakukan berbagai tindakan pencegahan, penemuan kasus, penanganan kasus, hingga promosi kesehatan. Dengan berbagai upaya dan tantangan dalam mengatasi penyakit ini, pemerintah menargetkan AIDS dapat dituntaskan di tahun 2030 mendatang.
Untuk diketahui, HIV (Human Immunodefiency Virus) tidak dapat ditularkan melalui udara, air liur, keringat, air mata, gigitan nyamuk, maupun sentuhan fisik. Virus ini hanya berisiko tertular melalui hubungan seks berisiko dan penggunaan narkoba suntik. Sama dengan penyakit kronis lainnya, seperti diabetes dan hipertensi, penyakit HIV pun bisa dicegah dan diobati. Untuk mengendalikan penyakitnya, penderita AIDS harus mengonsumsi obat secara teratur setiap harinya. Jika hal ini dilakukan secara konsisten, maka ODHIV dapat menjalankan aktivitasnya sehari-hari, tetap produktif, dan memiliki kualitas hidup yang baik. Untuk itu dibutuhkan dukungan dari orang sekitar, terutama keluarga, agar ODHIV dapat terus semangat menjalankan pengobatan. Â Â
Bergerak Bersama Komunitas untuk Akhiri AIDS 2030
Komunitas ternyata memegang peranan yang cukup penting dan strategis dalam upaya penanggulangan HIV. Untuk itulah pada peringatan Hari AIDS Sedunia di Indonesia tahun ini mengusung tema "Bergerak Bersama Komunitas, Akhiri AIDS 2030". Tujuannya adalah untuk memberikan peran yang lebih banyak kepada komunitas untuk bertindak dan memimpin dalam mengaktifkan, serta mendukung masyarakat untuk mengeluarkan seluruh potensi guna mengakhiri AIDS.
Untuk menyampaikan informasi yang lebih mendalam mengenai pesan kunci peringatan Hari AIDS Sedunia Tahun 2023 tersebut, Yayasan Kemitraan Indonesia Sehat (YKIS) dengan dukungan AIDS Healthcare Foundation (AHF) menyelenggarakan Media Briefing pada hari Selasa, 5 Desember 2023 di Meradelima Resto, Jakarta. Hadir pada acara tersebut Dr. Ray Basrowi selaku Anggota Pengurus YKIS dan Ketua HCC; Retno Trisari SKM selaku Fungsional Epidemiolog Kesehatan Ahli Madya Kemenkes; Husein Habsyi, SKM, MHComm selaku Sekretaris YKIS; dr. Yugang Bao selaku Deputy AHF Asia Bureau Chief, dan Asep Eka Nur Hidayat, M. Kesos selaku Country Program Manager AHF Indonesia.
Dalam paparannya Retno menyampaikan bahwa Kemenkes menargetkan di tahun 2030 nanti jumlah infeksi HIV bisa kurang dari 5.000 kasus, atau setara dengan penurunan 90% dibandingkan tahun 2010. Kemenkes berkomitmen untuk melakukan eliminasi AIDS dengan target 95-95-95, yakni 95% ODHIV mengetahui statusnya, 95% ODHIV mendapatkan pengobatan ARV, dan 95% ODHIV yang sedang pengobatan ARV dengan virus tersupresi. Untuk mencapai Target Ending AIDS 2030 tersebut Kemenkes telah merancang beberapa strategi dan inovasi untuk percepatan pencapaian targetnya.
"Kami mengharapkan peran komunitas untuk mampu mendukung temuan kasus pada kelompok populasi kunci, sehingga semua bisa dites HIV dan bisa diketahui statusnya, serta bisa segera diobati," ujarnya.
Lebih lanjut Retno mengungkapkan bahwa selain masalah stigma dan diskriminasi masyarakat terhadap penderita AIDS, tantangan lain dalam penanggulangan HIV adalah karena belum semua fasilitas kesehatan yang memberikan tes HIV dapat memberikan pelayanan pengobatan HIV karena jarak pengobatan yang jauh. Selain itu, masih banyak ODHIV yang berhenti melanjutkan pengobatannya karena belum merasa sakit atau berpindah ke pengobatan herbal, serta masih banyak juga ODHIV yang sedang dalam pengobatan, namun belum mendapatkan akses untuk tes VL untuk mengukur keberhasilan pengobatan. Untuk diketahui, pengobatan Anti-Retroviral (ARV) untuk HIV/AIDS dapat diakses secara gratis di fasilitas kesehatan milik pemerintah.
Sebagai komunitas atau lembaga penggerak dalam mendorong upaya promotif dan preventif kesehatan masyarakat di Indonesia, Yayasan Kemitraan Indonesia Sehat (YKIS) turut mendukung upaya pemerintah dan juga global untuk akhiri AIDS 2030. Hal ini disampaikan Husein dalam paparannya saat sesi dialog dan diskusi bersama media. Menurutnya saat ini masih banyak informasi yang simpang siur mengenai HIV/ AIDS, yang malah memperburuk stigma dan diskriminasi terhadap penderitanya.
"Mengakhiri ketidaktahuan dan ketidakpahaman itu menjadi sesuatu yang sangat penting. Di sinilah peran CSO atau komunitas, yang bisa bergerak di depan dalam penanggulangan HIV/AIDS karena dianggap mampu dalam menjangkau populasi terdalam. Saya harap informasi yang benar mengenai HIV/AIDS ini bisa sampai pada masyarakat, sehingga masyarakat menjadi paham, kemudian mampu bertindak dengan benar, berperilaku hidup yang sehat sehingga terhindar dari HIV, serta memberi dukungan kepada ODHIV," ungkapnya.
Husein menjelaskan bahwa selain mendorong upaya promotif dan preventif kesehatan masyarakat, YKIS juga mengupayakan dukungan dana kepada organisasi kemasyarakatan yang aktif dalam kegiatan peningkatan derajat kesehatan masyarakat, menggalang sumber daya dan dana untuk kebutuhan upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat, mendukung pemberdayaan dan peningkatan kapasitas organisasi kemasyarakatan, mendukung kegiatan penelitian dan publikasi, serta melakukan upaya advokasi untuk mengatasi permasalahan kesehatan masyarakat Indonesia.
Sementara itu, Asep dari AIDS Healthcare Foundation (AHF) mengatakan bahwa sebagai lembaga internasional non-pemerintah yang bersifat non-sektarian, non-politik, dan nirlaba yang berpusat di Los Angeles, Amerika Serikat, AHF turut mendukung upaya pemerintah Indonesia dalam menanggulangi HIV/AIDS, sehingga target Ending AIDS 2030 dapat tercapai. Pada Juli 2016, AHF memulai kerjasamanya dengan Kemenkes dan Kemensos, dengan berbagai program kerja, dengan ruang lingkup berupa mitigasi dampak penanganan HIV melalui rehabilitasi sosial bagi ODHIV, dan peningkatan akses layanan kesehatan ODHIV.
"Kita juga berusaha memberikan edukasi kepada masyarakat, serta advokasi agar stigma dan diskriminasi terhadap ODHIV bisa dihilangkan. Selain itu kita juga melakukan edukasi secara offline dan online dengan melibatkan berbagai stakeholder dari kementerian sebagai narasumber, mendukung peningkatan kualitas layanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan, layanan deteksi dini HIV, dukungan rawat jalan dan terapi, serta psikososial bagi ODHIV. Seluruh kegiatan ini tidak dilakukan langsung oleh AHF, namun oleh para mitra kesehatan kami," ujarnya.
Dr. Ray sendiri menyampaikan jika orang dengan HIV konsisten minum obat ARV secara teratur, lalu hasil VL tersupresi, plus tidak adanya diskriminasi, maka kualitas hidup ODHIV akan menjadi lebih baik, dan mereka dapat menjalankan aktivitas sehari-hari seperti biasa. "Ada jargon U=U, dan ini sudah menjadi jargon global, bahwa HIV Undetectable = Untransmittable, yang artinya jika hasil VL atau virusnya sudah tak terdeteksi berarti tidak akan menularkan. Tetapi itu bukan berarti virusnya hilang, risikonya sangat rendah. Untuk itu langkah pencegahan tetap harus dilakukan, dan pengobatan harus jalan terus," pungkasnya. Â Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H