Mohon tunggu...
Tamam irawan
Tamam irawan Mohon Tunggu... Jurnalis - Teman Menulis

Memulai Perubahan Besar Dari Hal Yang Paling Sederhana

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Alat Pemutar Hati

21 Juli 2024   06:14 Diperbarui: 21 Juli 2024   06:19 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : Freepik.gratispik

Alat Pemutar Hati.

Aku terjungkal keras ke arah tembok, punggungku terasa panas tidak terperi. Air mataku sudah tidak tertahankan. Bukan karna aku cengeng, tapi hatiku sudah ingin meletus menahan amarah. Aku mencoba berdiri setelah duduk terhantuk tembok, belum sempat tegak kaki menopang, satu tendangan mentah tepat mengenai daguku. Sial! Bibirku tergigit!

Bersamaan dengan suara jatuhku yang kedua, terdengar suara tawa yang mengejek bersamaan. Mata mereka memandang aku begitu rendah, seolah-olah aku sudah melakukan tindak kriminal dan patut mereka hakimi.

Seorang anak laki-laki, ketua perkumpulan mereka, melangkah pelan menghampiri diriku, tiba-tiba suara tawa lenyap. Si Ketua menyodorkan tangan hendak membantuku. Aku sedikit ragu, apakah selama ini mereka cuman melucu?

Belum sempat aku hendak menolak, dia malah menamparku dengan keras. Suara tawa kembali memenuhi telinga. Si Ketua berkata: “Sombong sekali, dibantu berdiri tidak mau. ” Lalu mereka pergi begitu saja berlalu.

Hari sudah mulai gelap, aku berjalan cepat menuju parkiran. Aku akan terlambat! Aku akan dimarahi ayah!

Aku mengambil sepeda paling berdebu di parkiran. Aku mengayuhnya menggila menuju rumah. Ketika sampai di persimpangan, aku malah mengambil lajur lain, aku terlalu takut untuk pulang.

Angin malam menampar wajah kencang. Air mata sudah tidak kuat kutahan. Aku menangis kencang dalam diam.

Aku lelah, kuhentikan sepedaku di lapangan desa. Lapangan sudah gelap, ku banting tasku diatas rumput, beberapa barang keluar dari tas yang ternyata ikut sobek bersama anak-anak tadi.

Namun aku melihat, sebuah pemutar musik kecil juga terhempas keluar dari tas, itu bukan milikku? Aku raih dan coba kupasang kabel yang menghubungkan alat dengan telingaku. Musik pertama mulai kuputar.

Hangat…

Lagu ini benar-benar mempengaruhiku! Merasuk ke dalam hati, membuat wajah terasa panas. Bahkan mata terpejam dengan sendirinya, membiarkan lagu itu sepenuhnya menguasai tubuh ini.

Tidak dapat dicegah, mulutku seperti tertarik untuk tersenyum. Angin malam secara cepat menyentuh ujung telinga, aku merasa nyaman. Air mataku kembali keluar, kini aku menangis tanda senang.

3 menit, lagu itu habis. Alat pemutar musik itu hanya memiliki satu lagu, seakan-akan dia memang sengaja menyiapkannya untukku. Kini, aku sudah tidak takut tersakiti. Karna sekeras-kerasnya duri terselip di hati. Aku tahu, aku sudah ada tempat untuk kembali.

“Selesai!” kata ayah mengakhiri ceritanya.

“Bagaimana? Apa yang bisa kau ambil dari cerita ayah kali ini?”

Aku bergumam sejenak sambil memalingkan wajahku ke jendela kamar, bulan bersinar sangat terang malam ini. Sejenak keheningan mengambil alih pikiranku.

“Aku punya tempat kembali!” kataku tiba-tiba sambil menatap ayah.

Ayah masih menatapku tidak merespon, mungkin dia belum mendengarnya dengan baik.

Aku melanjutkan jawabanku, “Seberat apapun masalah, hadapilah! Tapi jika kau sudah putus asa, ingat! Bahwa pasti ada suatu tempat untuk kita kembali. Jadi, jangan takut untuk menghadapi masalahmu!”

Ayah masih menatapku, tatapannya melembut.

“Ya. Kamu memang anak ayah yang pintar, sekarang sudah waktunya tidur. Selamat tidur anakku!”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun