Sosok Ambar Sridanarti dan Kontribusinya di Fastabiqul Khairat
“Ibumu! Ibumu! Ibumu! Kemudian ayahmu!” – Rasulullah Muhammad Salallahu wa’Alaihi wa
Sosok Kartini di Fastabiqul Khairat Samarinda, Ambar Sridanarti, S.Si jilbab orange
SAMARINDA, KOMPASIANA.COM,-Kutipan hadist di atas merupakan pembuktian bahwa perempuan begitu berharga di mata Islam. Bahkan perempuan memiliki kedudukan yang istimewa dan tentunya andil yang besar dalam membangun peradaban dunia. Pun perkembangan zaman dari masa ke masa memiliki peranan dalam membentuk opini dan perspektif masyarakat dalam menilai keberadaan seorang perempuan. Maka dari itu, setiap inci kehidupan kita tidak bisa lepas dari sosok lembut, hangat, dan memiliki keteguhan hati serta ketegaran jiwa yang ada kalanya dapat membuat laki-laki berdecak kagum.
Tulisan ini tidak akan membahas tentang bagaimana kedudukan perempuan dan laki-laki dibersandingkan lalu dibanding-bandingkan. Karena pada dasarnya perempuan dan laki-laki tidak akan bisa dibandingkan satu sama lain. Not apple to apple.Masing-masing memiliki hak dan kewajibannya masing-masing dan sama-sama penting. Jadi kedudukan perempuan dan laki-laki adalah sebuah hubungan komplementer yaitu saling melengkapi bukan secara subtitusi saling menggantikan apalagi tumpang tindih.
Mari kita lihat dari kacamata budaya dari setiap negara yang menilai peranan perempuannya dalam tatanan kehidupannya. Korea Selatan misalnya, di Pulau Jeju, para ibu menjadi penopang ekonomi keluarga yaitu dengan membantu suaminya untuk mencari nafkah dengan menyelam ke laut dalam untuk mencari kerang yang disebut dengan abaloni. Kegigihan perempuan Jeju ini sudah tersohor ke seluruh dunia karena dapat menyelam tanpa alat bantu selam apapun.
Lain lagi dengan budaya perempuan di Jepang. Walaupun rata-rata mereka adalah para wanita karir ketika sebelum menikah, tetapi ketika memiliki anak mereka akan berhenti bekerja dan menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya. Karena suami-suami mereka sangat sibuk bekerja, maka yang berperan penuh di rumah adalah perempuan-perempuan mandiri ini. Semua tugas rumah dikerjakan sendiri karena tarif asisten rumah tangga di Jepang sangatlah mahal. Sehingga hal inilah yang membuat karakter para ibu di Jepang menjadi pribadi yang tangguh dan gigih dalam menjalani perannya sebagai ibu rumah tangga.
Berpindah ke Timur Tengah, perempuan di daerah ini bisa dikatakan sangat isitimewa. Karena rata-rata kebijakan pemerintahannya melarang untuk perempuan menyetir kendaraan sendiri untuk keluar rumah. Sehingga untuk bepergian keluar harus ditemani oleh keluarga atau suaminya. Sehingga segala urusan yang lumrah perempuan lakukan di luar rumah seperti belanja ke pasar, justru biasanya dilakukan oleh para lelaki. Maka dari itu pepatah Arab memuliakan peran sang perempuan menikah bukan dengan sebutan ibu rumah tangga melainkan ‘rabbaitul bait’yaitu yang berartikan ‘sang ratunya sebuah rumah’.
Berbeda lagi dengan perempuan-perempuan yang berada di dataran Eropa. Sebagian besar perempuan-perempuan mudanya memilih untuk berkarir di perkantoran sebagai aktualisasi diri dan lambang kesuksesan mereka pada karir yang mereka geluti. Era globalisasilah yang menjadi landasannya. Perempuan harus maju dan berhasil dalam berkarir di luar rumah. Namun, tidak sedikit pula yang tetap berhasil menjalankan perannya sebagai ibu rumah tangganya masing-masing. Kedisiplinan waktu dan kegigihan inilah yang menjadi kunci utama keseimbangan antara pekerjaan dan keluarga.
Pada akhirnya, peranan perempuan di seluruh penjuru negeri sebagai pendukung dan kemajuan peradaban haruslah mendapatkan perhatian khusus dan apresiasi yang terus-menerus. Sehingga akan terciptalah keseimbangan hubungan yang harmonis antara peranan perempuan dan laki-laki yang saling melengkapi satu sama lain. Tidak saling salip-menyalip apalagi saling adu kegagahan karir masing-masing. Perempuan tetaplah seorang perempuan, begitpun dengan laki-laki. Masing-masing memiliki peran yang saling menopang dan dapat menciptakan kemajuan bagi kehidupan bermasyarakat.
Istilah emansipasi memang kini sering menjadi jargon untuk meng-‘halal’-kan apapun yang dilakukan perempuan walaupun melampaui batas-batas norma. Namun, perlu diingat sekali lagi bahwa emansipasi merupakan hak istimewa bagi perempuan yaitu kebebasan yang diberikan untuk memajukan dirinya dan generasi penerusnya sesuai dengan hak dan kewajibannya. Sehingga dengan kebebasan yang bertanggung jawab itulah perempuan dapat menjadi sosok yang dapat menjalankan perannya sebagai pembentuk peradaban dunia dan tentunya tetap dengan peranan para laki-laki sebagai pendampingnya. Berjalan beriringan untuk kemajuan bersama.
Sebagai lembaga pendidikan yang sangat berpegangteguh pada komitmen ikut mencerdaskan kehidupan bangsa, lembaga pendidikan yang berlokasi di Jalan AW Syahrani Samarinda itu ternyata memiliki sosok Kartini yang kontribusi serta dedikasinya untuk membangun peradaban di muka bumi patut diperhitungkan. Beliau adalah Ambar Sridanarti.
Perempuan berdarah betawi itu menjadi salah satu guru di Fastabiqul Khairat sejak awal berdirinya sekolah. Jika dihitung hingga saat ini, telah 10 tahun dirinya mengabdikan diri untuk mendidik dan ikut serta membangun peradaban di masa mendatang.
Karir mendidiknya di lembaga yang berjargon berlomba-lomba dalam kebaikan itu bisa dikata tidaklah mudah. Panas terik matahari, dinginnya hujan lengkap dengan banjirnya tidak menyurutkan nyalinya untuk tetap mendidik anak Fastkhair.
Hingga akhirnya pada tahun 2012 lalu dirinya dipercaya untuk memimpin lembaga pendidikan dengan peserta didik dan tenaga pendidik yang cukup signifikan banyaknya.
Sebagai pemimpin yang diamanahi untuk memimpin lembaga pendidikan ternama di Samarinda, bunda yang akrab disapa Ambar pasti telah mencicipi pahit serta manisnya menjadi pucuk pimpinan di lembaga yang dipimpinnya SD Fastabiqul Khairat.
Banyak kebijakannya yang mendapat apresiasi pro maupun kontra, baik yang muncul dari kalangan pendidik sendiri maupun dari luar. Begitulah seperti ibarat yang mengatakan, semakin tinggi pohon tumbuh berkembang semakin kencang angin meniupnya.
Tapi sosok Ambar ternyata bukanlah pohon biasa. Bukan pohon yang mudah diombang-ambing apalagi ditumbangkan. Beliau tetap kokoh berdiri dengan prinsip pendidikan yang telah teruji dan diakui.
Inilah yang membuat penulis ingin menyebut beliau sebagai sosok Kartini di Fastabiqul Khairat dengan berbagai kontribusinya yang patut diapresiasi oleh kita semua. Ingatlah, tidak ada manusia yang sempurna. Semuanya memiliki KELEBIHAN dan kekurangannya masing-masing. bukan saja beliau, kamu, saya ataupun kita. Mari saling menghargai, saling menghormati dan saling menguatkan. Untuk dunia pendidikan yang lebih baik.#TAMAM,foto dokumentasi pribadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H