Mohon tunggu...
Tamam Malaka
Tamam Malaka Mohon Tunggu... social worker -

pejalan yang menyukai sunyi tetapi pun menyenangi keramaian alam pikir umat manusia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Saya Kehilangan Engkau, Bung Rhoma!

2 Januari 2014   11:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:14 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun 2013 dipenuhi suara-suara bising yang bikin isi kepala selalu berisik. Dunia politik yang penuh muslihat dan kembung oleh selubung, dunia ekonomi yang seakan mati suri. Nilai rupiah melorot. Kasus-kasus kenakalan remaja, belum bicara soal keamanan. Semuanya bikin tak lelap berharap soal masa depan yang cemerlang.

[caption id="attachment_313072" align="aligncenter" width="405" caption="doc | hedisasrawan.blogspot.com"][/caption]

Tahun 2013 seperti penuh, sesak, napas sukar bergerak di rongga-rongga tenggerokan. Orang-orang gelisah. Karut-marut di dalam pikiran. Di sepanjang jalan, mata juga dipaksa membaca slogan-slogan yang ngebom pikiran di pinggir-pinggir jalan. Tentang polah orang-orang yang suka main umbar janji.

Berupaya menyenyakkan pikiran dengan menonton televisi, juga sama menyesakkan napas. Konten-konten tanyangannya tak ada yang menghibur. Kontennya semua pura-pura. Pura-pura bahagia, pura-pura lucu, pura-pura berhadiah, pura-pura berkualitas. Sesekali memang nongol tayangan lelucon segar. Membaca koran pun demikian. Berita-berita makin memanjakan pikiran-pikiran galau gulana. Seakan tak ada tempat untuk sedikit saja senang, gembira, lepas dan merdeka.

Aku rindu. Kadang aku rindu Zainuddin MZ. Melenakan pikiran dengan ceramah-ceramah segarnya dalam pikiran. Kadang aku rindu, rindu lelucon aneh dari si Guru Bangsa, Gus Dur. Kadang juga aku amat merindukan, memabukkan pikiran dengan lagu-lagi dangdut. Kuputarlah lagu-lagu dangdut. Tapi apa? Bukannya pikiran ini longgar, bukannya pendengaran ini menjadi tentram, yang tampak adalah mataku yang jadi liar nan jalang. Sial, makin karut saja.

Kepala ini bising. Betapa berisiknya. Bising oleh kalimat-kalimat bersayap yang berjanji di televisi, di koran-koran, di spanduk-spanduk yang menikam pepohonan. Berisik, ya berisik. Berisik memikirkan akan arah masa depan. Berisik makin berisik. Dan Tahun 2014 adalah puncak kebisingan dan keberisikan. Pamungkas dari putaran kaset rusak.

Tidak. Oh tidak. Kepala ini menjadi bising dan berisik, bukan sebab karut-marut negeri. Bukankah suasana macam ini sebenarnya bukan suasana yang baru? Ya sejak zaman heroik Pak Karno. Ya sejak zaman sunyi pak Harto. Ya hingga zaman era reformasi sekarang ini, yang namanya kepala bising dan berisik adalah suasana yang biasa terjadi.

Lalu apa kira-kira yang menjadi unsur pembedanya?

Tidakkah Kau Rasakan Mereka-Mereka Ini Menentramkan Isi Kepala?

Ya boleh saja zaman Bung Karno suasana berisik dan bising. Tapi kau tentu amat setuju, bila telingamu, matamu, dan rongga-rongga rasamu, bisa tetap amat lelap. Lelap oleh pidato-pidato si Bung. Lelap oleh para pemimpin yang masih menjagamu dari euforia. Juga masih menyalanya geliat seni dan budaya.

[caption id="attachment_313073" align="aligncenter" width="484" caption="doc | www.nag.co.za "]

1388638514460576791
1388638514460576791
[/caption]

Dan betapapun zaman Suharto kau anggap represif dan membelenggu, tapi kau tentu amat setuju, bila telingamu, matamu, dan rongga-rongga rasamu, bisa tetap amat lelap. Amat lelap oleh suara-suara kelakar Gus Dur, suara emas Zainuddin MZ, suara-suara intrik emas Rendra, suara-suara lantang nyanyian Iwan Fals, juga putaran nikmat lagu-lagu dangdut bung Rhoma Irama. Apa kau juga merasa tentram dengan putara lagu-lagu Bimbo? Koes Plus? Atau siapa lagi? Ebiet G ade?

Bisakah kau beritahu padaku, di era reformasi ini, dengan cara apa kau melelapkan diri dari kebisingan dan keberisikan alam pikirmu? Alam hidupmu?

Jujur aku katakan, di saat-saat begini aku rindu lagu-lagu dangdut terbaru. Aku ingin joged dan bergoyang yang kocak, mantab nan filosofis. Bung Rhoma, apa engkau tidak lagi bersedia bikin lagu-lagu dangdut terbaru buatku? Aduh, aku juga rindu film-film barumu.

Satu-satunya pelabuhan terakhir kutoleh, Bang Iwan; please Bang. Kumohon untuk tetaplah mengiringi irama napas kami yang kembang-kempis dengan lagu-lagumu itu. Please, segeralah luncurkan lagu-lagu mutakhir buat pengobat pikiran kami ini. Please, jangan biarkan kami kehilangan obat pengantar lelap. Betapa kami makin kehilangan orang-orang yang menentramkan hati. Meneduhkan pikiran...

Bung Rhoma lekaslah. Lekaslah sambut irama napas ini. Kami mengangenimu...

[caption id="attachment_313071" align="aligncenter" width="337" caption="doc | kakeanekakehan.blogspot.com "]

13886382341086318273
13886382341086318273
[/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun