Mohon tunggu...
Tamam Malaka
Tamam Malaka Mohon Tunggu... social worker -

pejalan yang menyukai sunyi tetapi pun menyenangi keramaian alam pikir umat manusia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pikiran-pikiran Memabukkan

9 Juli 2012   00:53 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:10 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Umumnya orang mengatakan bahwa tiap orang punya potensi sukses. Tetapi saya sebaliknya, bahwa setiap orang sebenarnya punya peluang untuk gagal total. Tak peduli ia jenius, berprestasi, kaya raya, penuh tekad dan punya watak kerja keras. Bahkan tak terkecuali meski ia tergolong orang miskin, para pemalas, tak punya niat dan tak punya tekad kerja keras sekalipun!



Beberapa waktu lalu, saya ketemu kawan yang sukses dengan bisnis konter hp-nya. Saya cukup salut, ia tak punya modal karena orang tuanya hanyalah kuli bangunan. Tetapi bisa membiayai kuliahnya sendiri. Untunglah dia punya hobi otak-atik elektronik. Mungkin karena bakat alami, ia tak perlu lama menguasai sistem perangkat di dalamnya.

Mulanya ia sekedar menjadi penjaga konter seorang temannya. Beberapa bulan kemudian, ia berhasil menguasai seluk-beluk bisnis konter. Modal tabungan yang ia simpan sedikit demi sedikit selamadua tahun pun dipecah, dan jadilah ia membangun bisnis konter sendiri.

Naluri bisnisnya memang sangar. Ia sudah berani coba-coba bangun cabang kecil-kecilan. Lama-lama, ia punya staff.Bahkan, mulai berani untuk masuk kuliah. Menurutnya, gimana-gimana ijazah tetap perlu. Tentu, ia sudah tak butuh bantuan orang tua lagi biayai kuliah.

Nah, sayangnya, pertemuan kami kali ini serasa aneh. Senyumnya seperti pudar dan kelam. Langkahnya yang mula santai dan tegap, berganti gontai nan lesu. Bajunya lusuh seperti sudah sebulan tak tersentuh mesin cuci. Badannya tampak lebih kurus dari biasanya. Apa mungkin sekarang ia rajin berpuasa?

Karena kesibukan masing-masing, bikin kami sulit bertemu. Makanya, perubahan ini terlalu drastis bagi saya. Ada apa sebenarnya?

“Bisakah luangkan waktu untukku?” katanya memelas. Situasi ini bikin suasana hati saya serasa murka. Entahlah, bukankah harusnya saya ini empati padanya? Tetapi hati ini malahserasa membludak. Pengen sekali membentaknya. Untungnya, saya betah untuk tetap diam. Sepertinya saya kurang suka melihatnya bersikap lemah seperti itu. Kami pernah sama-sama bertaut janji bahwa kami harus garang atas apapun dalam realita hidup ini.

“Tentu saja. Tetapi pake motormu saja ya ke sana?” sahut saya. Soalnya, mesin motor saya sedang ngadat. Hari kemaren datang hujan lebat, dan jalan-jalan di kota ini terendam beberapa inchi. Sebenarnya, saya sudah hapal betul dengan maksud pertanyaannya itu. Pastilah ngajak ngopi. Dulu, kami biasa menghabiskan waktu sama-sama di sebuah warung kopi kesukaan kami. Lokasinya berada di pinggir sawah di pinggiran kota. Meski terletak jauh dari keramaian, lumayan pengunjungnya. Mungkin karena suasananya yang senyap.

“Maaf, aku jalan kaki ke sini.. “ katanya lirih. Saya memandangnya kaget.

“Hei, jangan bercanda! Masak jarak 10 km kau jalan kaki???”

“Apa kamu lihat aku bawa motor??”

“Gila kamu. Apa maksudnya semua ini, he??!!!”

Dia tak menjawab. Saya paham. Dia pasti sedang banyak masalah.Segera saja saya membawanya ke warkop yang biasa kami singgahi dulu.

**

Saya sudah menunggunya bicara. Dua jam sudah berlalu, tapi dia belum juga bicara apa-apa. Hanya tumpukanpuntung rokok di asbak yang menjelaskan bahwa dia sebenarnya hanya ingin ditemani. Tidak lebih.

“Apa kau tak bosan berdiam diri begitu?? Apa kau tak mau menjelaskan apapun di balik semua alasanmu jadi seperti ini??” tanya saya mulai tak sabar. Ia hanya menghela napas.

“Entahlah, apa yang harus kukatakan...” katanya sambil lalu menyepulkan asap rokok ke udara. Asapnya memutih dan hilang ditelan malam.“Aku hanya merasa, tak setiap masalah harus kita bicarakan. Terkadang,kita sudah merasa cukup dengan kehadiran seseorang di sebelah kita...”

Bukan main. Saya benar-benar terhanyut. Belum pernah dia berkata sedemikian rupa filosofis dan se-dalem itu. Entah apa yang sedang asyik merasuki pikirannya, barangkali saja dia lagi kerasukan roh Aristoteles. Yaa siapa tahu?

“Apa kau pernah meneguk sebotol bir?”

“Hei, hei...apa kau sadar dengan apa yang tanyakan itu heh??!”

Saya mulai membentak. Situasi ini sudah keterlaluan saya rasa. Barusan saja ia bijak berkata, bisa-bisanya seperdetik kemudian berubah? Saya bangun, dan berdiri tepat di hadapannya. Saya guncang-guncang bahunya.

“Apa kau sedang tertidur hah..??? Bangunlah kau!! ” kata saya lagi dengan nada lebih keras dan kencang. Geram juga saya lama-lama. Dia tak bergeming. Sejenak kemudian, dia mengangkat kepalanya. Lalu kembali ia menundukkan kepala dengan jengah. Saya kaget betul, matanya telah sembab, dan krah bajunya basah oleh air mata? Sejak kapan ia menangis??

“Hiks, aku ini...” katanya dengan muka tetap menunduk. Saya melepaskan pegangan tangan. Ia melonggarkan bahunya. Saya pikir, saya harus membebaskannya bicara. Agar ia mau berkesah sesuka hati.

Bersambung....

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun