Mohon tunggu...
Tamam Malaka
Tamam Malaka Mohon Tunggu... social worker -

pejalan yang menyukai sunyi tetapi pun menyenangi keramaian alam pikir umat manusia

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Sensasi Digital, Cara Merekam Ingatan Perang 10 November

19 November 2014   10:27 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:26 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_376445" align="aligncenter" width="445" caption="Foto | Pribadi"][/caption]

Asap putih tebal berhamburan di Jl. Tugu Pahlawan, disertai rentetan suara tembakan dan dentuman bom yang menggelegar angkasa. Sosok-sosok berbaju doreng menenteng senjata tampak mengendap-endap. Di sekitarnya, tampak ribuan tangan terangkat. Memegang benda memantulkan gambar serupa.

Sedang di dekat mereka, tank-tank siap dengan moncong di udara. Di sudut selatan, muncul kumpulan orang berlari dengan bambu runcing dan senjata. Siap menghadang barisan berbaju doreng. Angkasa Kota Surabaya menggema seruan perang. Tak hanya kaum lelaki, tetapi terlihat juga barisan kaum perempuan yang juga ikut bersatu padu. “Kota ini akan kita bumi hanguskan, yang tak ikut berjuang segera tinggalkan kota!” kata salah seorang dari mereka dengan lantang.

Inilah selintas suasana perang 10 November 1945 yang dikemas kolosal secara apik oleh komunitas Teater Semesta, Minggu(9/11/2014). Sejumlah 1500 orang yang terdiri dari berbagai elemen terlibat dalam pentas perang yang menggelorakan semangat perlawanan pada 10 November 1945 itu.

Pentas ini dikoordinir seniman Surabaya, Taufik Monyong. Sedang sutradaranya adalah Maimura. Menurut Taufik, tujuan penyelenggaraan acara peringatan demi membangkitkan semangat nasionalisme warga Surabaya, “NKRI harga mati. Semangat ini harus selalu dikobarkan, kata Taufik. “Drama kolosal ini kita buat sedemikian rupa, agarpersis sebagaima aslinya saat para pejuang kita dulu berperang. Intinya, ini sebuah karya penghargaan untuk menghormati jasa-jasa pejuang. Agar masyarakat tahu betapa pedihnya perang itu,” imbuhnya.

Berbeda dari pementasan drama sebelumnya, untuk kali ini pentas khusus mengusung tema Laskar Putri. Ini merupakan sisi lain yang perlu diketahui masyarakat, bahwa peran kaum perempuan cukup kuat dan mengharukan dalam perang yang sangat menggentarkan bangsa-bangsa lain di dunia. Sebab, secara nalar, Indonesia kala itu hanyalah sebuah bangsa yang baru merdeka seumuran jagung, tetapi mampu memberikan perlawanan cukup mematikan.

Padahal, secara peralatan perang hanya bermodal ala kadarnya. Maka, bangsa mana yang tidak ngeri. Bagi saya pribadi, fenomena perang 10 November 1945, setidaknya menjelaskan misteri kejayaan fase Kerajaan Nusantara masa lalu. Bahwa sejatinya kita adalah bangsa yang lebih mengutamakan perdamaian dan kemanusiaan, dan mengedepankan diplomasi ketimbang perang. Namun bila perang tak bisa dielakkan lagi, maka tak ada lagi jalan mundur selain berjuang mempertahankan tanah tumpah darah. Ya bagi saya ini menjelaskan fenomena perang dahsyat lainnya di zaman dahulu, perang akbar yang digelorakan Pangeran Diponegoro.

Digitalisasi Spirit Pahlawan

Ada yang berbeda dari pementasan drama kolosal perang 10 November tahun ini. di sela-sela puluhan ribu pengunjung yang menonton aksi, terdapat ribuan tangan yang terangkat ke udara, sembari menyodongkan benda yang memantulkan gambar pentas perang. Ya benda tersebut adalah kamera dan video digital. Meski saling berdesak-desakan, para penonton tetap khidmat menonton sembari merekam semua drama yang dipentaskan.

Mungkin inilah perbedaan cara memaknai spirit kepahlawan di era reformasi dengan era-era sebelumnya. Kemudahan memiliki teknologi. Masyarakat semakin mudah membeli benda—benda yang sebelumnya hanya dimiliki oleh kalangan tertentu. Hal ini merupakan fenomena baru yang unik di kalangan masyarakat, di mana teknologi juga bermanfaat merebut kembali kesadaran berbangsa dan bernegara yang semakin memudar di kalangan generasi muda.

Nita (20) mengatakan, ia sengaja merekam suasana perang dalam pentas drama kolosal, karena selama ini belum pernah menyaksikan secara langsung di depan mata peristiwa perang di zaman kemerdekaan. “Ini luar biasa bagi saya. Beda rasanya ketimbang menonton di televisi. Hati saya bergetar dan merasa bangga. Rasa-rasanya, rugi jika tak saya rekam momen yang hanya setahun sekali. Nanti mau saya share ke jejaring sosial. Penasaran tanggapan teman-teman,” katanya beralasan.

Tak jauh berbeda dengan Nita, Dewi (35) malah membawa anaknya yang masih berusia 5 tahun. Ia rela berdesak-desakan agar bisa menonton dari jarak paling dekat. Sama dengan Nita, meski repot dengan anaknya, ia masih sempat merekam pentas perang dengan kamera canggih di tangannya.

“Keren mas pentasnya. Kayak perang beneran. Lha ini juga ada kaum perempuannya,”cetusnya. Bagi Dewi, ini bukan kali pertama menonton, tetapi sudah ketiga kalinya. Hanya saja, kali ini ia membawa serta anak lelakinya. “Ya mumpung ada pentasnya, biar anak saya juga ikut merasakan getar semangat perang para pejuang kita dulu. Sekalian juga saya rekam. Nanti kan bisa saya tonton lagi di rumah,” ujar Dewi.

Nita dan Dewi adalah dua orang di antara ribuan orang yang memiliki spirit yang sama. Mencoba melakukan proses digitalisasi spirit yang tak lagi semata bersandar pada dokumentasi spirit kekuatan ingatan, tetapi juga mendokumentasikannya melalui spirit kecanggihan teknologi.

[caption id="attachment_376446" align="aligncenter" width="445" caption="FOTO |Pribadi"]

1416342421385035881
1416342421385035881
[/caption]

Tentu saja, dokumentasi digital menjelaskan masih tersimpannya kekuatan bawah sadar masyarakat Kota Surabaya tentang kecintaan terhadap nasionalisme, patriotisme dan pengorbanan para pahlawannya yang memperjuangkan dan mempertahakan bukan hanya dengan tumpahnya darah, tetapi juga pengorbanan nyawa. Melestarikan spirit kebangsaan para leluhur, bahwa lebih baik mati ketimbang hidup tetapi di bawah penindasan. Merdeka!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun