Mohon tunggu...
Tamam Malaka
Tamam Malaka Mohon Tunggu... social worker -

pejalan yang menyukai sunyi tetapi pun menyenangi keramaian alam pikir umat manusia

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Gus Dur dalam Pembacaan Saya Malam Ini

30 Desember 2014   10:32 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:11 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mendekati hari wafatnya Gus Dur, saya banyak termenung dan baca-baca ulang buku dan pemikirannya. Betapa beliau sungguh-sungguh tokoh luar biasa. Tiba-tiba di dalam sunyi dan diam, di kepala muncul desingan kata-kata, “Inilah yang sesungguh-sungguhnya syirik yang sejati,”. Saya terpana. Dan bahagia. Lalu teringatlah Kompasiana yang lama tak saya sambangi. Inilah isinya ...

[caption id="attachment_387081" align="aligncenter" width="350" caption="harianterbit.com"][/caption]

Kehidupan dibagi dalam empat tahapan, yaitu mereka, kemudian muncullah aku, kamu, dia dan kembali lagi pada prinsip pertama, yaitu mereka. Puncaknya adalah tahapan, kita semua.

Ketika manusia lahir, ia tak menyadari posisi dirinya. Yang ia sadari bahwa ada kumpulan orang-orang di sekitarnya. Karenanya, ia hanya melirik, menangis atau tertawa.

Setelah mengenali adanya diri yang disebut mereka, kemudian ia merasakan aspek dirinya di tengah orang-orang banyak. Saat itulah, ia berkata inilah `aku`. Apa saja yang berada di sekitarnya, maka ia sebut `aku`. "Ini aku, ini ayah dan ibuku, dan benda ini adalah milikku".

Setelah itu, muncullah kesadaran bahwa selain aku, ternyata ada juga pihak lain, yaitu `kamu`. Ternyata juga tak semua hal adalah miliknya, tetapi beberapa hal adalah milikmu. "Itu juga ayah dan ibumu. Benda ini bukan punyaku, tetapi punyamu,". Maka, belajar memetakan bagian kepemilikan. Mana milikku. Mana milikmu.

Selanjutnya, ia lagi-lagi menyadari. Masih ada pihak lain, yaitu si dia. Ternyata selain ada benda milikku, dan milikmu, juga ada benda-benda yang bukan milikku dan milikmu, tetapi milik dia. Karenanya, ia kembali memilah dan memilih barang-barang kepemilikan.

Ternyata itu semua masih belum selesai. Selain ada milikku, milikmu, juga milik dia, ada juga yang bukan, yaitu beberapa bagian ada juga yang milik mereka. Dari sini, ia makin menyadari tak setiap benda milik orang-orang terdekatnya, tetapi ada juga miliki orang-orang yang mungkin jauh posisi darinya.

Ketika ia menganggap setiap benda masing-masing punya pemiliknya tersendiri, lagi-lagi ia masih keliru. Ternyata ada juga benda yang bukan milikku, milikmu, miliknya dan milik mereka. Tetapi adalah miliki semuanya. Di sini ia mulai mengenal adanya kebersamaan, yaitu kita semua.

Meskipun begitu, hal itu masih saja keliru. Sebab semua hal di kehidupan ini, masih bisa hilang meski jelas-jelas itu milikku, milikmu, miliknya, milik mereka dan milik kita semua.

Barulah ia menyadari bahwa semua kepemilikan itu hanya pinjaman. Hanya titipan dari zat yang menyela dalam pikirannya dan kadang berbisik dalam hatinya dan berkata, "Ini semua kepunyaan-Ku!".

Maka, kata `Aku` adalah milik zat (Tuhan) itu. Zat yang Maha dari segala yang Maha.


Pembanding Kualitas Diri

[caption id="attachment_387080" align="aligncenter" width="558" caption="foto: deviantart.com"]

1419884875441710843
1419884875441710843
[/caption]

Kata-kata `Aku`, juga bisa menjadi pembanding kualitas diri. Kualitas terendah adalah diri yang terus meng-aku-aku segala sesuatu sebagai miliknya. Orang itu adalah punyaku, barang itu adalah milikku, dan bentuk (format pengungkapan) aku-aku yang lainnya.

Maka, sebagaimana layaknya zat itu (Tuhan), ia merasa berhak atas segala hal. Berhak untuk menguasai, memerintah, menggunakan dan atau memanfaatkan segala demi kepentingan dirinya sendiri.

Tetapi tak sebagaimana zat itu (Tuhan), meski berhak atas segala-galanya, Dia tetaplah berlaku adil dan memberikan hidayah dan rahmat. Namun hamba yang lebih dominan kepemilikan `aku`-nya, ia meniadakan adanya kamu, dia, mereka dan kita semua. Ia mengambil semua hak dan mendistrubisikan segala sesuatu demi dirinya sendiri.

Maka, sejatinya inilah syirik yang sejati.

Terima kasih Gus. Meski ini hanya renungan, tetapi bagiku berasa inspiring. Salam hangat Gus. Damai dan berkah untukmu. Untuk kita semua ...

[caption id="attachment_387082" align="aligncenter" width="296" caption="www.tempo.co"]

1419885105378507671
1419885105378507671
[/caption]

Baca-baca Soal Gus Dur Lainnya:

Tentang  Ramalan Presiden di Haul Gus Dur

Agama Keenam dalam Pemikiran Gus Dur

Eh, Ternyata masih Ada Agama Ketujuh Kata Gus Dur

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun