Halo, saya Tami. Salam Edukasi! Salam Bahagia!
Setelah artikel saya yang pertama tentang mengakomodasi keunikan siswa melalui pembelajaran berdiferensiasi, kali ini saya akan membahas tentang perjalanan pendidikan nasional. Pemahaman terkait perjalanan pendidikan nasional adalah salah satu kompetensi yang harus dimiliki bagi calon guru agar dapat memaknai profesinya sebagai guru dan pendidikan Indonesia.Â
Guru merupakan profesi yang terlibat secara langsung dalam mencerdaskan bangsa. Para guru berada pada baris terdepan untuk membentuk peradaban bangsa melalui pengajaran dan pendidikannya kepada siswa. Mengutip sedikit ungkapan dari Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara, "Pendidikan dan pendidik harus bebas dari segala ikatan, dengan suci hati mendekati sang anak, tidak untuk meminta hak". Maka dari itu, menjadi guru haruslah dari panggilan hati, bukan hanya sebagai opsi atau sekadar cara mendapatkan sesuap nasi. Calon guru perlu memaknai profesinya dengan utuh dan mendalam, salah satunya dengan memahami tentang perjalanan pendidikan nasional.
Mari kita samakan persepsi dahulu terkait apa itu pendidikan nasional. Pendidikan nasional menurut Ki Hadjar Dewantara adalah pendidikan yang berdasarkan garis-garis bangsanya (kultural nasional) dan ditujukan untuk keperluan perikehidupan, yang dapat mengangkat derajat negeri dan rakyatnya, sehingga bersamaan kedudukan dan pantas bekerjasama dengan lain-lain bangsa untuk kemuliaan segenap manusia di seluruh dunia. Pengertian tersebut dijelaskan oleh Ki Hadjar pada pidatonya saat penganugerahan Doktor Honoris Causa di Universitas Gajah Mada pada tahun 1956.
Pendidikan di tanah air sebenarnya sudah ada sejak zaman kolonial, namun aksesnya masih terbatas hanya bagi kaum bangsawan. Sejak 1816, sejumlah kecil kaum elit bumi putera diizinkan untuk bersekolah di sekolah-sekolah eropa. Pendirian sekolah-sekolah oleh pemerintah kolonial Belanda terus berlanjut, sekolah khusus guru diadakan pada tahun 1852, sedangkan sekolah khusus pangreh praja didirikan pada tahun 1866.Â
Departemen pendidikan pemerintah kolonial Belanda bahkan membuat kebijakan agar sekolah-sekolah tersebut tidak berkembang secara sporadis melainkan bersifat sentralik. Sayangnya, pendirian sekolah-sekolah tersebut hanya bertujuan sebatas untuk menunjang sistem tanam paksa dan mengkonsolidasi pemerintah kolonial di tanah Hindia Belanda, nama Indonesia sebelum merdeka (Fahrurozi, 2021).
Pada tahun 1901, Ratu Wilhemina membuat kebijakan tentang politik etis, yang salah satu isinya adalah memberikan akses pendidikan bagi rakyat pribumi. Seorang bangsawan, putri dari Bupati Jepara, Raden Ajeng Kartini, menyambut kebijakan tersebut dengan gembira karena ini merupakan kesempatan bagi kaum perempuan untuk dapat turut serta mengambil hak belajar dan mengakses pendidikan.Â
Sehingga pada tahun 1903, Kartini mendirikan sekolah pertama bagi para gadis di tanah air. Ia mendirikan sekolah tersebut di belakang beranda rumah Bupati Jepara. Pendidikan yang diajarkan di sekolah wanita, meliputi: cara membaca, menulis, menggambar, budi pekerti, dan kerajinan tangan. Kartini mengajar menggunakan bahasa Jawa untuk mendekatkan diri dengan siswanya.Â
Hal tersebut menjadi salah satu pembeda sekolah wanita dengan sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah Belanda. Sekolah Belanda menggunakan bahasa Belanda sebagi pengantar dalam proses pembelajaran (Tempo, 2013). Gagasan Kartini mendirikan sekolah wanita menjadi cikal bakal berdirinya sekolah wanita di Semarang pada tahun 1912.
Selain R.A Kartini gerakan pendidikan juga dilakukan oleh organisasi Boedi Oetomo yang didirikan empat tahun setelah Kartini meninggal dunia, yaitu pada tahun 1908. Organisasi Boedi Oetomo memiliki tujuan salah satunya adalah meratakan dan memajukan pendidikan nasional agar dapat diakses dengan mudah oleh rakyat pribumi dari segala golongan dengan cara mendirikan beberapa sekolah dan memberikan bantuan beasiswa.
Gerakan perjuangan dalam bidang pendidikan terus dilanjutkan oleh para pendahulu bangsa dengan cita-cita agar rakyat pribumi dapat mengakses pendidikan demi meraih kehidupan yang lebih baik, pada tahun 1922 berdirilah sekolah dengan nama Taman Siswa di Yogyakarta. Pendirinya adalah Ki Hadjar Dewantara, yang memiliki nama asli Raden Mas Soewardi Soerjaningrat.Â
Sistem pendidikan di taman siswa menggunakan dasar-dasar pemikiran Tagore, Montessori, dan Frobel yang dimodifikasi oleh Ki Hadjar agar sesuai dengan identitas diri bangsa Indonesia (Suastika, et. al., 2002). Sehingga terbentuklah semboyan "Ing ngarso sung tuladha, ing madyo mangun karsa, tut wuri handayani" (di depan memberi contoh, di tengah membangun semangat, di belakang membari dorongan) yang menjadi semboyan di Taman Siswa. Ssiswa di sekolah tersbut berasal dari semua kalangan pribumi, baik priyayi (bangsawan) maupun rakyat biasa.Â
Berbeda dengan pendidikan Barat, yang yang lebih mengutamakan pengajaran, Taman Siswa mendidik dengan cara membimbing dan mengarahkan dari belakang, sambil memberikan petunjuk-petunjuk yang sesuai dengan kemampuannya (kodrat alam dan kodrat zaman).Â
Menurut Ki Hadjar, pendidikan berarti daya upaya untuk memajukan perkembangan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intelek), dan jasmani anak-anak dengan maksud supaya kita dapat memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak selaras dengan alamnya dan masyarakatnya. Tujuan ini merupakan tujuan baru dari pendidikan bangsa saat itu, menggantikan tujuan pendidikan pemerintah Belanda yang hanya sebatas pemenuhan tenaga terdidik sebagi bentuk konsolidasi pemerintah Belanda.
Pada tahun 1939, Taman Siswa sempat ditutup akibat dari kebijakan pemerintah Belanda bahwa sekolah yang didirikan di luar kekuasaan Belanda merupakan bentuk perlawanan sehingga harus ditutup. Namun, Ki Hadjar mengajukan protes yang didukung oleh banyak pihak termasuk surat kabar, partai politik, dan organisasi muhammadiyah. Sehingga Taman Siswa dapat bertahan dan meneruskan proses pendidikan.
Setelah kemerdakaan, dasar-dasar pemikiran Ki Hadjar masih relevan dengan zaman sekarang sehingga dijadikan sebagai landasan pembentukan kurikulum terbaru yaitu kurikulum merdeka. Kurikulum ini mulai diberlakukan pada tahun 2022 oleh Menteri Pendidikan Indonesia, Nadim Makarim. Kurikulum merdeka mengadopsi pemikiran Ki Hadjar bahwa pendidikan harus berorientasi pada siswa dengan mempertimbangkan kodrat alam dan kodrat zaman agar siswa memiliki kesempurnaan budi pekerti yang dapat membawa siswa dalam kebijaksanaan. Serta landasan pemikiran tentang among dan pamong, bahwa guru memiliki peran untuk menuntun bakat, minat, serta kemampuan siswa agar menjadi manfaat bagi masyarakat.
Begitu panjang perjalanan pendidikan nasional melalui perjuangan para tokoh pendahulu bangsa. Dimulai sejak zaman kolonial, bahwa pendidikan hanya bertujuan untuk menunjang pengaruh pemerintah kolonial Belanda di negeri jajahan, serta terbatasnya akses pendidikan. Saat ini, pendidikan memiliki tujuan yang lebih luas dan mendalam terutama bagi kemajuan bangsa. Akses pendidikan pun jauh lebih merata dibandingkan dengan masa penjajahan. Kurikulum merdeka juga menunjang sistem pendidikan yang berorientasi pada siswa sehingga mereka dapat mengembangkan minat, bakat, dan kemampuannya dengan baik melalui pembelajaran berdiferensiasi, dan berorientasi pada siswa.
Rekan-rekan calon guru, banyak sekali pelajaran yang dapat kita ambil dari perjalanan pendidikan nasional. Semangat pantang menyerah dari para tokoh pendidikan serta semangat gotong royong demi mencapai tujuan bersama. Sudah selayaknya kita mencontoh pada pendiri bangsa dengan semangat yang sama, semangat pantang menyerah dan gotong royong. Perjalanan pendidikan nasional masih perlu kita lanjutkan. Meskipun peran kita tak sebesar Kartini, Boedi Oetomo, maupun Ki Hadjar, marilah bersama-sama mendidik generasi bangsa dengan kesungguhan hati dan perasaan bahagia.
Semoga artikel ini dapat menambah khasanah pengetahuan untuk kemudian diimplementasikan dalam kehidupan. Sampai jumpa di artikel saya selanjutnya (insyaaAllah).Â
Saya Tami. Salam Edukasi! Salam Bahagia!
Referensi:
Fachrurozi, M.H. 2021. POTRET INTELEGENSIA BUMIPUTRA PADA AWAL ABAD KEDUA PULUH. Jurnal Pendidikan dan Sejarah, Vol 17 (1).
Tempo. 2013. Gelap-Terang Hidup Kartini. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia bekerja sama dengan Majalah Tempo.
      Suastika, Made, Nym. Kutha Ratna, dan Ketut Ardhana. 2002. KI HADJAR DEWANTARA PELOPOR PENDIDIKAN NASIONAL. Cakrawala Pendidikan, Vol 21 (3).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H