Mohon tunggu...
Tamalia Wahyu Utami
Tamalia Wahyu Utami Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa PPG Prajabatan 2023

Calon guru profesional

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menilik Perjalanan Pendidikan Nasional

30 September 2023   01:03 Diperbarui: 30 September 2023   01:10 1294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gerakan perjuangan dalam bidang pendidikan terus dilanjutkan oleh para pendahulu bangsa dengan cita-cita agar rakyat pribumi dapat mengakses pendidikan demi meraih kehidupan yang lebih baik, pada tahun 1922 berdirilah sekolah dengan nama Taman Siswa di Yogyakarta. Pendirinya adalah Ki Hadjar Dewantara, yang memiliki nama asli Raden Mas Soewardi Soerjaningrat. 

Sistem pendidikan di taman siswa menggunakan dasar-dasar pemikiran Tagore, Montessori, dan Frobel yang dimodifikasi oleh Ki Hadjar agar sesuai dengan identitas diri bangsa Indonesia (Suastika, et. al., 2002). Sehingga terbentuklah semboyan "Ing ngarso sung tuladha, ing madyo mangun karsa, tut wuri handayani" (di depan memberi contoh, di tengah membangun semangat, di belakang membari dorongan) yang menjadi semboyan di Taman Siswa. Ssiswa di sekolah tersbut berasal dari semua kalangan pribumi, baik priyayi (bangsawan) maupun rakyat biasa. 

Berbeda dengan pendidikan Barat, yang yang lebih mengutamakan pengajaran, Taman Siswa mendidik dengan cara membimbing dan mengarahkan dari belakang, sambil memberikan petunjuk-petunjuk yang sesuai dengan kemampuannya (kodrat alam dan kodrat zaman). 

Menurut Ki Hadjar, pendidikan berarti daya upaya untuk memajukan perkembangan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intelek), dan jasmani anak-anak dengan maksud supaya kita dapat memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak selaras dengan alamnya dan masyarakatnya. Tujuan ini merupakan tujuan baru dari pendidikan bangsa saat itu, menggantikan tujuan pendidikan pemerintah Belanda yang hanya sebatas pemenuhan tenaga terdidik sebagi bentuk konsolidasi pemerintah Belanda.

Pada tahun 1939, Taman Siswa sempat ditutup akibat dari kebijakan pemerintah Belanda bahwa sekolah yang didirikan di luar kekuasaan Belanda merupakan bentuk perlawanan sehingga harus ditutup. Namun, Ki Hadjar mengajukan protes yang didukung oleh banyak pihak termasuk surat kabar, partai politik, dan organisasi muhammadiyah. Sehingga Taman Siswa dapat bertahan dan meneruskan proses pendidikan.

Setelah kemerdakaan, dasar-dasar pemikiran Ki Hadjar masih relevan dengan zaman sekarang sehingga dijadikan sebagai landasan pembentukan kurikulum terbaru yaitu kurikulum merdeka. Kurikulum ini mulai diberlakukan pada tahun 2022 oleh Menteri Pendidikan Indonesia, Nadim Makarim. Kurikulum merdeka mengadopsi pemikiran Ki Hadjar bahwa pendidikan harus berorientasi pada siswa dengan mempertimbangkan kodrat alam dan kodrat zaman agar siswa memiliki kesempurnaan budi pekerti yang dapat membawa siswa dalam kebijaksanaan. Serta landasan pemikiran tentang among dan pamong, bahwa guru memiliki peran untuk menuntun bakat, minat, serta kemampuan siswa agar menjadi manfaat bagi masyarakat.

Begitu panjang perjalanan pendidikan nasional melalui perjuangan para tokoh pendahulu bangsa. Dimulai sejak zaman kolonial, bahwa pendidikan hanya bertujuan untuk menunjang pengaruh pemerintah kolonial Belanda di negeri jajahan, serta terbatasnya akses pendidikan. Saat ini, pendidikan memiliki tujuan yang lebih luas dan mendalam terutama bagi kemajuan bangsa. Akses pendidikan pun jauh lebih merata dibandingkan dengan masa penjajahan. Kurikulum merdeka juga menunjang sistem pendidikan yang berorientasi pada siswa sehingga mereka dapat mengembangkan minat, bakat, dan kemampuannya dengan baik melalui pembelajaran berdiferensiasi, dan berorientasi pada siswa.

Rekan-rekan calon guru, banyak sekali pelajaran yang dapat kita ambil dari perjalanan pendidikan nasional. Semangat pantang menyerah dari para tokoh pendidikan serta semangat gotong royong demi mencapai tujuan bersama. Sudah selayaknya kita mencontoh pada pendiri bangsa dengan semangat yang sama, semangat pantang menyerah dan gotong royong. Perjalanan pendidikan nasional masih perlu kita lanjutkan. Meskipun peran kita tak sebesar Kartini, Boedi Oetomo, maupun Ki Hadjar, marilah bersama-sama mendidik generasi bangsa dengan kesungguhan hati dan perasaan bahagia.

Semoga artikel ini dapat menambah khasanah pengetahuan untuk kemudian diimplementasikan dalam kehidupan. Sampai jumpa di artikel saya selanjutnya (insyaaAllah). 

Saya Tami. Salam Edukasi! Salam Bahagia!

Referensi:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun