Mohon tunggu...
tama chan
tama chan Mohon Tunggu... -

Lorem Ipsum Dolor

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sam & Martha

6 Juni 2010   04:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:43 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Sam Di bawah matahari yang hangat, Si kecil Sam mengayuh dengan kuat. Sepedanya melaju hebat, Bagai orang nekat. Topi pet dipakai terbalik, Sambil sekali terkikik, Tak peduli walau rantai berbunyi Ngik-ngik. Perasaan Sam sedang baik. Di lampu merah, dia berhenti. Melirik jam tangan, ternyata masih pagi. Tapi dia harus hati-hati, Karena bisa terlambat nanti. Hijau menyala, Sam langsung ngebut. Meninggalkan bising kota yang ribut. Menuju pedesaan yang lembut, Melewati kakek penggembala yang manggut-manggut. Di kejauhan, suara mesin kereta api yang baru datang memekakkan telinga. Artinya, sebentar lagi, dia sampai di stasiun tua. Sebuah tempat dimana orang itu menunggunya, Martha. Martha Perempuan kecil ini heran, Ia terus dilihati oleh orang lalu-lalang yang tidak menyenangkan. Dan duduk sendiri itu menyebabkan bosan. Kesimpulannya, menunggu bukanlah suatu pekerjaan. Karena suntuk, Ia lalu melangkah Memandangi langit biru yang indah, Di bawah arsitektur bangunan yang tak begitu megah. Tersenyum, menunggu pangeran cilik nan gagah. Tiba-tiba, ayahnya memanggil Lamunannya tersentil. Ayahnya memanggil lagi, “Ayo pulang, anak kecil” Kereta api itu datang tepat waktu. Suaranya yang keras menggembirakan para penunggu. Martha tidak berharap seperti itu. Ia ingin terus menunggu. Tapi apa daya, Pak petugas sudah mengangkat tanda. Jadi, tak ada pilihan lain buat Martha, Selain memandang keluar jendela, berharap ia ada. Sam & Martha Teng-Tong-Teng-Tong-Teng-Tong.... Sam berlari, masuk ke dalam stasiun Kereta api jurusan Kota Baru akan segera berangkat.... Tangan Sam menyeruak kerumunan. Para pengantar dimohon segera keluar dari kereta.... Paket yang ia bawa terus ia dekap. Ia tak ingin ada kerusakan sekecil apapun. Sekali lagi, bagi pengantar mohon segera keluar.... “MARTHA!” Sam berteriak,memanggil seorang gadis didalam kereta. “Sam!?” Balas permpuan itu. Wajahnya senang sekaligus kaget. “Ini album fotonya, maaf baru jadi” Kata Sam seraya menyerahkan sebuah album lewat jendela. “Oh, bagus sekali!” Martha terpana, menggoreskan jemarinya pada sampul album itu, dimana tulisan warna emas tercetak diatasnya: Adi & Martha’s Wedding, “Ya ampun, kenapa harus repot-repot? Kan bisa di paketin.....” Belum selesai Martha menyelesaikan kalimatnya, kereta mulai berjalan pelan.... “Eh, Sam, uangnya aku transfer ke rekeningmu ya!” “Siap!” Sam mengacungkan jempolnya. Martha Ketika kereta berjalan lebih kencang, Martha membuka jendela lebih luas. Kepalanya tersembul dari situ. Ada banyak kata yang ingin ia ucapkan, jutaan mungkin. Tentangnya, Tentang laki-laki itu, Juga tentang impian mereka. Tapi jarak yang semakin jauh membuat lidahnya tidak bisa mengabulkan inginnya. Sam semakin kecil, semakin jauh dan semakin blur. Namun bagi Martha, Sam tetaplah seperti dulu. Muda, enerjik, dan menempati satu ruangan hatinya. “Fotografer yang baik” Suaminya, Adi, yang duduk disamping mengomentari. “Iya, bagus kan?” Martha memamerkan sampul album itu. “Kok cuma sampulnya doang sih? Dibuka dong....” Sam Di Stasiun, Sam terus memandangi kereta itu sampai kecil. “Wah, jarang-jarang kamu perhatian ama klien sampai segitunya” Ana, tunangan Sam memanggilnya dari belakang. Sam mulai menyulut rokok, “Kami pernah berjanji dulu ketemuan disini kira-kira 14 tahun yang lalu, sebelum ia diajak ayahnya pindah ke luar negeri” Ia menghembuskan satu nafas penuh asap, “Tapi sayangnya aku terlambat. Dia tidak pernah terlihat lagi sampai kita dapet job foto dokumentasi pernikahannya” “C L B K nih?” “Bukan. Aku cuman nggak mau terlambat lagi kayak dulu. Siapa tahu aku nggak akan ketemu dia lagi.” “Nah, itu buktinya!” Ana mulai ngambek. “Hahaha, sudahlah, nggak usah cemburu. Toh dia sudah bersuami kan?” Ia mematikan rokoknya, lalu merangkul Ana, berjalan keluar, “Bagaimana dengan semangkuk mie ayam? Di sekitar sini ada warung mi ayam enak lho” 21 Januari 2010 1:52 PM Di bawah mendung tipis Di kamar kos yang damai :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun