Menurut FAO, lahan adalah bagian dari bentang alam (landscape) yang mencakup pengertian lingkungan fisik termasuk iklim, topografi/relief, tanah, hidrologi, dan bahkan keadaan vegetasi alami (natural vegetation) yang semuanya secara potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan. Lahan merupakan salah satu faktor penting dalam pembangunan suatu daerah. Namun, saat ini banyak terjadi alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian. Menurut (Setiawan, 2016) alih fungsi lahan atau konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang menjadi dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Hal ini terjadi karena kebutuhan akan tempat tinggal ataupun pembangunan akan kebutuhan manusia meningkat.
Alih fungsi lahan yang umum terjadi adalah perubahan dari lahan pertanian menjadi pusat perbelanjaan, perumahan, atau bangunan industri lainnya. Banyak faktor yang dapat memengaruhi alih fungsi lahan. Menurut Lestari (2009) faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan adalah faktor eksternal, faktor Internal, dan Faktor Kebijakan. Faktor eksternal merupakan faktor yang disebabkan oleh adanya dinamika pertumbuhan kota, demografi maupun ekonomi seperti pertumbuhan ekonomi, jumlah penduduk, dan sarana prasarana. Faktor internal dilihat dari sisi yang disebabkan oleh kondisi sosial-ekonomi rumah tangga pertanian penggunaan lahan, yaitu nilai tukar petani atau kesejahteraan petani, industri. Sedangkan faktor kebijakan yaitu aspek regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah yang berkaitan dengan perubahan fungsi lahan pertanian.
Alih fungsi lahan memberikan dampak positif maupun negatif bagi daerah sekitar. Salah satu dampak positifnya adalah adanya lowongan kerja baru. Namun, disamping itu  dampak negatif yang timbul tidak dapat dihiraukan, seperti lahan pertanian menjadi berkurang sehingga sektor pertanian menjadi berkurang, pemukiman menjadi lebih padat, para petani banyak yang kehilangan pekerjaan, dan daerah resapan air menjadi berkurang. Dilansir dari Kompas.com, dengan hilangnya mata pencaharian sebagai petani maka pendapatan dapat menurun dan daya beli serta berdampak pada menurunnya aksesibilitas ekonomi rumah tangga tani terhadap pangan.
Dilansir dari situs Pemerintah Kabupaten Jember, wilayah Kabupaten Jember mencakup area seluas 3.293,34 Km2, dengan karakter topografi dataran ngarai yang subur pada bagian tengah dan selatan dan dikelilingi pegunungan yang memanjang batas barat dan timur. Dengan luas daratan menurut Diskominfo Kabupaten Jember mencapai 2.431 Km2. Hal ini menjadikan Kabupaten Jember berpotensi ekspor dalam bidang pertanian. Hingga saat ini, fokus perekonomian masih kepada sektor pertanian. Bisa dikatakan juga perekonomian Kabupaten Jember saat ini sangat mengandalkan sektor agribisnis. Dimana tidak lain pasti berkaitan dengan pertanian dan penggunaan lahan.
Tercatat dalam BPS (Badan Pusat Statistik) Jember, pada tahun 2022 luas panen padi mencapai sekitar 118,49 ribu hektar dengan produksi sebesar 607,37 ribu ton GKG (Gabah Kering Giling). Jika dikonversikan menjadi beras, maka produksi beras pada 2022 mencapai 350,71 ribu ton. Selain padi, yang juga termasuk produktivitas  tinggi dalam pertanian adalah tembakau. Dikutip dari radarjember.id, lahan pertanian tembakau yang ada di Jember seluas kurang lebih 25 ribu hektare. Kabupaten Jember terkenal dengan kualitas hasil tembakau yang sangat baik.  Penjualannya tidak hanya dalam lingkup Indonesia, tetapi juga di luar Indonesia. Maka dari itu, lahan sangatlah penting dalam sektor pertanian Kabupaten Jember. Namun, menurut data BPS luas panen padi Kabupaten Jember pada 2022 mencapai sekitar 118,49 hektar, mengalami penurunan sebanyak 5,54 ribu hektar atau 4,47 persen dibandingkan 2021 yang sebesar 124,03 ribu hektar.
Dikutip dari apahabar.com, penurunan panen tahun 2022 disebutkan disebabkan oleh faktor cuaca dan berkurangnya lahan pertanian. Banyak lahan pertanian yang sudah beralih fungsi menjadi pemukiman dan pusat perbelanjaan atau lainnya. Hal ini tidak terlepas dari faktor eksternal alih fungsi lahan, yaitu jumlah penduduk. Semakin lama, semakin meningkat jumlah penduduk, dan makin banyak pula kebutuhan akan pemukiman atau tempat tinggal. Keterbatasan lahan menjadi salah satu penyebab mengapa pembangunan perumahan dilakukan di lahan pertanian. Apalagi, masyarakat sekarang berpikir bahwa menjadi petani adalah pekerjaan yang berpenghasilan kecil. Tanggapan lain adalah karena besarnya risiko yang ditanggung, seperti gagal panen, banyaknya hama, serta penjualan dengan harga yang tidak stabil. Belum lagi ketersediaan pupuk bersubsidi yang terbatas.
Banyak petani Jember yang protes terkait ketersediaan pupuk bersubsidi. Mereka mengklaim bahwa pupuk non subsidi sangatlah mahal. Dilansir dari FaktualNews.co seorang petani melakukan demo tunggal sebagai bentuk ketidaksetujuan bahwa dari 70 komoditi (pupuk subsidi) hanya sembilan yang disubsidi. Ditambah, saat ini para petani masih sangat bergantung pada pupuk anorganik (pupuk kimia). Saat ini, pemerintah berusaha untuk mengajak para petani agar beralih ke pupuk organik. Sosialisasi telah dilakukan oleh berbagai pihak, dari dinas pertanian maupun pihak lainnya.
Lahan pertanian yang kini kian menyempit akan memengaruhi tingkat produktivitas hasil pertanian Jember. Ada beberapa daerah yang awalnya masih persawahan berubah menjadi perumahan. Salah satu contohnya yaitu di daerah Desa Jubung sudah terjadi alih fungsi lahan yang sebelumnya persawahan menjadi perumahan. Contoh lainnya adalah rencana pembangunan hotel bintang 4 di daerah Kaliwates yang akhirnya dihentikan karena proses perizinan belum lengkap. Menurut apahabar.com, lahan yang digunakan dinilai merupakan kawasan pertanian yang dilindungi. Apalagi, Kabupaten Jember belum memiliki Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Dilansir dari beritajatim.com, penyusunan RTRW Kabupaten Jember mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang dan Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 11 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penyusunan, Peninjauan Kembali, Revisi, dan Penerbitan Persetujuan Substansi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, Kabupaten, Kota, dan Rencana Detail Tata Ruang. RTRW sangat penting dalam mengatur penataan ruang. Bupati Jember, Hendy Siswanto dalam wawancaranya bersama beritajatim menyatakan bahwa saat ini, Raperda RTRW masuk dalam tahap upaya mencapai kesepakatan substansi oleh DPRD. Setelah proses RTRW selesai, maka dilakukan bupati adalah menerbitkan peraturan mengenai Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kabupaten Jember, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 dan Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 11 Tahun 2021.
Hasil panen tentu tidak lepas dari peran petani dalam mengolah lahan pertanian. Agar hasil pertanian dapat dipertahankan, dilakukan pengendalian alih fungsi lahan, seperti memberikan bentuan berupa pupuk subsidi atau hal lain yang bisa meningkatkan hasil panen. Dapat juga melakukan sosialisasi kepada para petani tentang strategi pemanfaatan lahan pertanian. Selain itu, peran pemerintah kabupaten sangat diperlukan seperti membuat kebijakan yang menguatkan sektor pertanian. Beberapa kebijakan yang dilakukan antaranya adalah melakukan antisipasi lahan dengan mengunci lahan pertanian dan melakukan revisi Perda RTRW supaya kesejahteraan masyarakat dapat meningkat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H