Alunan gendhing talu terdengar merdu dari sebuah gedung di Jl. Pangurakan, Kota Yogyakarta. Disusul dengan suara pasinden, yang turut menjadikan suasana layaknya jaman dahulu. Sekelompok penari wanita masuk, mengenakan kostum dan riasan lengkap. Menari elok dengan selendang yang melekat dipinggang.Â
Sesaat setelah tarian usai, sekelompok pemain Wayang Wong (orang), dengan riasan khas tokoh pewayangan menjadi identitas yang mencirikan masing-masing karakternya. Dengan menggunakan dialog-dialog berbahasa Jawa halus, para pemain tampil memukau yang disambut dengan apresiasi penonton.
Situasi ini, adalah gambaran dari apa yang terjadi didalam gedung Museum Sonobudoyo. Museum yang berdiri pada tahun 1919 ini dulunya adalah sebuah yayasan dalam bidang kebudayaan Jawa, Madura, Bali, dan Lombok. Setiap Rabu dan Kamis malam, gedung tersebut menampilkan pertunjukan Wayang Wong episode Mahabarata dengan beberapa lakon. Kebanyakan penonton adalah kaum sepuh yang tumbuh besar bersama dengan cerita pewayangan.
Ditengah derasnya arus budaya modern, Wayang Wong (orang) pernah menjadi salah satu jenis budaya yang populer dan diminati banyak orang. Wayang Wong merupakan kebudayaan yang mulanya hanya dipentaskan di lingkungan keraton.Â
Namun kini, Wayang Wong sudah berkembang dan bisa dinikmati oleh masyarakat luas. Wayang Wong memang kalah jauh dari kesenian lain, menyebabkan kebudayaan berharga satu ini mengalami mati suri. Apalagi anak muda negeri yang semakin jauh dengan warisan budaya dari leluhur ini.
Keadaan ini juga sempat diungkapkan oleh salah satu pemain gamelan, Waris, yang mengatakan bahwa kebanyakan anak muda yang melestarikan budaya Wayang Wong lebih banyak karena turun temurun.
"Anak muda yang nonton saja jarang, apalagi yang ikut main. Bagi mereka membosankan dan jadul mungkin," kata Waris.
Meski begitu, perjuangan para seniman dalam melestarikan kesenian Wayang Wong ini terus dilakukan. Beruntungnya, ditengah kesulitan pelestarian Wayang Wong ini Pemerintah Daerah Yogyakarta memberikan Museum Sonobudoyo sebagai wadah.Â
"Bersyukurnya ada museum ini. Jadi setidaknya kami bisa terus melestarikan kesenian dari sepuh. Secara tidak langsung juga, kami terus mengajak anak muda untuk ikut melestarikan. Toh, saya dan teman-teman sudah tua, harus ada penerusnya," kata Waris sembari tertawa.
Sementara itu, Danela, salah satu mahasiswi yang menjadi pengunjung Museum Sonobudoyo mengatakan sangat tertarik dengan pertunjukan Wayang Wong. Pertunjukan wayang itu mematahkan ekspetasi Danela soal budaya wayang yang dinilai membosankan.
"Awalnya iseng nonton wayang. Kirain bakal bosan bosan dan ngantuk. Setelah nonton, langsung wah diluar ekspetasi saya," jelas Danela dengan semangat.
"Keren sih, bener-bener dikemas secara menarik," lanjut Danela.
Berjuang melawan mati suri, Museum Sonobudoyo ini telah membuat wayang orang berhasil bertahan meskipun mengalami pasang surut peminat. Mengingat Wayang Wong merupakan budaya luhur Jawa yang pantas untuk diselamatkan. Selain itu, Wayang Wong juga dapat dijadikan sebagai media pembelajaran seperti nilai etika yang tersirat dalam setiap pertunjukan Wayang Wong.
"Kalau tidak ada yang mewadahi, mungkin Wayang Wong benar-benar mati dari lama," kata Waris.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H