Mohon tunggu...
Talita Wijaya
Talita Wijaya Mohon Tunggu... -

Lihatlah kekuatan perempuan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Urgensi Pemilih Pemula Dalam Pemilu 2014

24 Maret 2014   21:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:32 769
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_300350" align="alignnone" width="663" caption="Sumber ilustrasi Gambar : ridwansyahyusufachmad.com"][/caption]

Ditengah hiruk pikuk kampanye dan pengumuman sejumlah calon presiden dalam rangkaian pemilu 2014 ini ternyata masih menyisakan kegundahan politik. Hal tersebut dikarenakan hajat politik lima tahunan ini seakan hanya menjadi pesta dari partai politik dan simpatisannya tanpa menyasar para pemilih yang baru akan memilih pada pemilu tahun 2014 ini. Ada 53 juta pemilih pemula di Indonesia yang terancam tidak memilih karena berbagai sebab di pemilu 2014. Salah satunya adalah karena penyelenggara pemilu dan partai politik tidak secara sungguh-sungguh menjadikan pemilih pemula sebagai sasaran pendidikan politik dan mendulang suara dari para pemilih dengan rentang usia 17 tahun hingga 22 tahun ini. Tentu saja hal tersebut berlawanan dengan komitmen dari penyelenggara pemilu untuk meminimalisir jumlah golongan putih (golput) pada pemilu 2014 tersebut.

Ada empat keenggananpenyelenggara pemilu dan partai politik untuk menggarap pemilih pemula tersebut yaitu,

Pertama pemilih pemula akan cenderung dinamis dalam berpikir dan bertindak. Kedinamisan tersebut berujung pada kesulitan penyelenggara pemilu dan partai politik untuk menentukan tren yang sedang berkembang di komunitas pemilih pemula. Sehingga tidak heran partai politik yang dapat membaca dan menggarap pemilih pemula secara efektif akan mendulang dukungan pada sejumlah penyelenggaraan pemilu baik level nasional maupun lokal.

Kedua, pendekatan kampanye secara konvensional dan terpola secara terus menerus menyebabkan penyelenggara pemilu dan partai politik memiliki keengganan untuk menyesuaikan dengan karakter pemilih pemula yang khas dan cenderung keluar dari pola yang ada selama ini, sehingga upaya untuk dapat mendulang suara dari pemilih pemula tersebut dilakukan dengan pendekatan pada orang terdekat dari para pemilih pemula tersebut seperti orang tua, pacar dan atau agen dari komunitas pemilih pemula tersebut.

Ketiga, pemilih pemula cenderung ingin tau lebih banyak namun apolitis, sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama dan metode yang berbeda dibandingkan dengan penganggaran pemilih biasa. Dengan sendirinya anggaran yang dibutuhkan pun menjadi lebih besar. sejauh ini pendekatan yang dilakukan oleh KPU maupun partai politik dan calon legislatif berkutat pada pendekatan konvensional dengan sokongan anggaran yang terbatas.

Keempat, Pemilih pemula juga merupakan pemilih yang ekslusif yang sulit terjangkau oleh program dan pendekatan dari penyelenggara pemilu maupun partai politik. Halini tercermin dari beragamnya komunitas dan kelompok yang di bentuk oleh pemilih pemula, sehingga KPU dan partai politik merasa bahwa anggaran yang dikeluarkan tidak sebanding dengan respon positif yang di dapat dari pemilih pemula.

Urgensi Pemilih Pemula

Jumlah pemilih pemula yang signifikan tersebut mengindikasikan bahwa pelaksanaan pemilu 2014 tidak boleh mengabaikan keberadaannya. Selama ini sosialisasi dan bentuk ajakan bersifat partisipatif telah dilakukan. Namun agaknya hal tersebut tidak terkelola dengan baik dan cenderung sekedar ada program terkait dengan hal tersebut. Karenanya menegaskan bahwa pentingnya pemilih pemula harus secara eksplisit dimunculkan agar penyelenggara pemilu dan partai politik juga meresponnya secara sungguh-sungguh. Ada lima hal terkait pentingnya pemilih pemula dalam pelaksanaan pemilu 2014 yakni :

Pertama, salah satu indikator dari suksesnya penyelenggaraan pemilu adalah meningkatnya partisipasi pemilih pemula. Selama tiga kali pelaksanaan pemilu pasca Orde Baru, kantung golput banyak berasal dari pemilih pemula yang enggan menyalurkan aspirasinya pada pelaksanaan pemilu, karenannya memaksimalkan partisipasi di pemilih pemula harus menjadi agenda serius penyelenggara pemilu maupun partai politik.

Kedua, gradasi pemahaman antara pemilih pemula dengan pemilih yang berpengalaman secara umum tidak terlalu beda. Hal yang membedakan justru ada pada kontinyuitas keikutsertaan dalam hajatan politik sebagai pemilih. Pemilih pemula mempunyai ikatan yang luar biasa erat yang mampu menstimulasi pemilih lain untuk dapat berpartisipasi dalam setiap hajat politik sebagai warga negara yang baik.

Ketiga, peningkatan kualitas pemilu, memaksimalkan partisipasi politik pemilih pemula berarti juga mendorong upaya peningkatan kualitas pemilu. Ada isiom yang berkembang di masyarakat bahwa partisipasi politik pemilih pemula akan meningkatkan kreativitas politik yang lebih baik. Hal ini tercermin dari sejauh mana partai politik dan penyelenggara pemilu merespon dengan baik.

Keempat, pendidikan politik yang efektif dan efisien. Pelibatan pemilih pemula secara efektif akan memperkuat dan mempermudah partai politik dan penyelenggara pemilu pada langkah tindak selanjutnya. Selama ini pendekatan pendidikapolitik terpatas pada stimulasi-stimulasi yang bersifat konvensional dan terbatas pada ruang-ruang kelas dan perkuliahan. Pada konteks ini, pemilih pemula dihadapkan pad hal yang praktis yang dapat mengintegrasikan pemahaman politik yang sederhana dengan praktik politik yang pada derajat tertentu dapat mengintegrasikan secara efektif pendidikan politik tersebut.

Dan terakhir adalah tanggung jawab atas hitam dan putihnya nasib bangsa ini ada di pundak pemilih pemula. Memahami bahwa pemilu adalah sarana memperbaharui kontrak politik antara elit dengan publik harus dijadikan pertimbangan serius bagi pemilih pemula untuk secara aktif menyalurkan hak politiknya. Sebab tanpa perna serta yang efektif tersebut, nasib bangsa dipertaruhkan.

Berkaca ada lima hal tersebut diatas, maka penyelenggara pemilu dan partai politik seharusnya tidak lagi melihat pemilih pemula hanya sebagai pelengkap kesuksesan hajat politik lima tahunan, melainkan menegaskan bahwa partisipasi politik pemilih pemula adalah skema pertaruhan politik bangsa ini, apakah menjadi bangsa yang beradab secara politik atau sekedar menyelenggarakan pemilu tahunan tanpa paham esensi dari proses pentingnya pelibatan pemilih pemula tersebut.

Sumber: Muradi

Penulis: Muradi

(Penulis adalah staff pengajar ilmu pemerintahan, FISIP UNPAD, Bandung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun