Mohon tunggu...
Talita Nabilah Chesta
Talita Nabilah Chesta Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

The universe speaks to those who listen ✨️

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jejak Tanpa Sorak

12 November 2024   08:13 Diperbarui: 12 November 2024   08:33 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kamu masih mau bahas itu, Len?" Ayah menatapnya, sorot matanya mengisyaratkan kekecewaan.

Lena menatap Ayahnya dengan pandangan penuh harap, mencoba mencari pengertian di sana. "Ayah, impian yang aku inginkan itu nyata, Lena pasti bisa menggapainya. Namun, Lena harus mulai dari nol. Setiap lomba yang Lena ikuti, itu adalah proses. Meski belum menang, aku..."

"Proses?." Ayah memotongnya. "Sudah berapa kali kamu bilang itu? Berapa lomba yang sudah kamu coba, Len? Short film, fotografi, naskah, cerpen... hasilnya?"

Lena menunduk, perasaan kecewa mulai menggerogoti hatinya. "Ayah, aku tahu ini semua terlihat kecil di mata ayah, tapi itu memang langkah awalku. Setiap jejak yang tertinggal, akan meninggalkan seribu pembelajaran. Aku tak bisa langsung sukses. Aku juga harus belajar dari kegagalan."

Ayah menggeleng, tampak tak terpengaruh oleh kata-katanya. "Coba bayangkan kalau kamu jadi perawat. Pasti sudah jelas masa depanmu. Kamu bisa bekerja di rumah sakit, punya karier yang stabil. Apa itu tidak cukup buatmu?"

Lena menggigit bibirnya, menahan diri agar air matanya tak jatuh. "Yah, aku tahu itu jalan yang Ayah inginkan untukku. Tapi... kalau aku tak bahagia, apa gunanya semua itu?"

Namun, Ayah tak mengubah pandangannya. "Bahagia atau tidak, kamu tetap butuh pegangan yang jelas, Lena. Dunia tak akan selalu menunggu mimpi-mimpi kita."

Lena terdiam, merasa seolah berada di antara dua pilihan yang sama beratnya. Hatinya menjerit, tapi mulutnya tetap bungkam, tenggelam dalam ketidakpastian yang semakin menyesakkan.

Lena bangkit dari kursi, perlahan menggesernya ke belakang. "Aku sudah kenyang, terima kasih masakannya bunda." Pamit Lena, bergegas kembali ke kamarnya.

Pintunya ia tutup dengan rapat, tubuhnya yang berusaha tetap kokoh kini merosot cepat, menyentuh dinginnya lantai. 

Air mata menggenang seperti danau di matanya, akhirnya meluap, meluncur jatuh tak tertahan, membasahi pipi. Ia terduduk, kakinya terlipat, tangan gemetar bertumpu di atas lutut. Kepalanya tertunduk dalam, berat oleh beban yang tak kasat mata. Bahunya berguncang pelan. Suara yang mendominasi ruangan itu terdengar pilu dan menyakitkan bagi siapapun yang mendengarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun