Naskah drama ‘Sidang Susila’ adalah naskah drama pertama bergenre komedi yang berhasil saya tuntaskan meski dengan kebingungan dan penuh tanda tanya.
Sesaat setelah menuntaskan pembacaan naskah drama "Sidang Susila", saya lantas mencari tahu hal-hal yang melatarbelakangi penulisan karya tersebut dengan harapan segera mendapat pencerahan.
Setelah beberapa saat berselancar di laman pencarian, akhirnya saya mengetahui bahwa naskah ini ditulis oleh Ayu Utami yang terkenal karena karya-karyanya berbau agama dan seks, serta Agus Noor yang merupakan sesama penulis berpengaruh di dunia kesusastraan.
Naskah yang digarap pada tahun 2008 ini merupakan reaksi Ayu Utami dan Agus Noor sebagai sastrawan terhadap pembuatan RUU Pornografi di Indonesia sekitar tahun 2007 hingga 2008.
Naskah drama "Sidang Susila" menceritakan persidangan seorang laki-laki bernama Susila yang dianggap aparat setempat telah melanggar norma-norma kesusilaan.
Pada mulanya, saya cukup kebingungan ketika membaca naskah ini, karena saya tidak merasa ada masalah yang perlu segera diselesaikan. Alur berjalan dengan baik; mulanya muncul Polisi Moral, lalu setelah melintas, segerombolan orang yang tadinya sembunyi bergegas muncul kembali dan menggelar tayuban.
Setelah asyik menari, tiba-tiba seorang penjual mainan yang sedang kegerahan membuka bajunya. Ia laki-laki dan bertubuh gempal. Sebetulnya tidak ada yang salah dengan apa yang dilakukannya, tetapi sekelompok Polisi Moral kembali muncul dan mereka segera mengamankan Susila.
Sepanjang penceritaan saya tidak menemukan keanehan, hingga saya mengetahui bahwasanya Susila yang tidak melakukan kesalahan apa-apa, dijebloskan ke penjara, dan mendapatkan perlakuan yang tidak mengenakkan dari aparat.
Lalu kembali mengulik latar belakang penulisan naskah ini, akhirnya saya memahami alasan di balik penulisan cerita yang tidak masuk akal.
Naskah drama ‘Sidang Susila’ merupakan kritik atas ketidakjelasan Rancangan Undang-Undang Pornografi dalam hal pembatasan dan pengaplikasiannya sehingga dianggap akan banyak kesalahan dalam penegakan hukum pornografi tersebut.
Sebagaimana peran sastra dalam setiap sendi kehidupan manusia, ‘Sidang Susila’ lagi-lagi sebagai salah satu sarana untuk mengkritik politisasi moral dan jajaran pemerintah beserta kebijakannya yang dirasa konyol.
Setelah saya baca berulang kali, akhirnya saya memahami bahwa barang dagangan yang dijual Susila, yaitu balon, turut menjadi hal yang dipermasalahkan oleh polisi moral.
Polisi moral menganggap bahwa balon itu meyerupai bentuk payudara wanita, padahal bagi anak-anak yang merupakan target pembeli dagangan Susila, balon hanyalah salah satu jenis mainan. Oleh karena tuntutan tersebut, Susila harus mendekam di penjara.
Percakapan antara Jaksa dan Susila yang terdapat dalam halaman 25, sebagai berikut:
JAKSA: Sodara Pesakitan, benarkah barang-barang ini milik saudara?!
SUSILA: Dalem, Bu Jaksa… Iya… Itu dagangan saya…
JAKSA: Jadi jelas, Pesakitan ini telah mengakui berdagang barang-barang porno ini!
SUSILA: Lho, itu mainan kok, Bu Jaksa… Mainan anak-anak…
JAKSA: Mainan anak-anak hanyalah kamuflase untuk menutupi unsur-unsur pornografi dalam barang-barang ini.
SUSILA: Apanya yang porno? Masak mainan gitu dibilang porno…. (Berdiri dan mendekati dagangannya) Coba, mana yang porno? Mana? Apa mata Bu Jaksa picek, gini dibilang porno? (Mengambil dua balon) Apa yang kayak ini porno, Bu Jaksa?
JAKSA: Itu barang cabul, Sodara Pesakitan! Coba Sodara taruh di dada Saudara… (Dengan bingung dan tak ngerti, Susila menempelkan dua balon itu ke dadanya – hingga mirip payudara)
Di atas adalah kutipan percakapan antara Susila dengan para pemangku hukum. Pada intinya, Susila merasa enggan mengakui kesalahan yang dituduhkan kepadanya karena ia merasa ia tak melakukan kesalahan.
Namun, hakim, polisi, jaksa, dan para intelijen tidak kehabisan akal. Mereka membujuk Susila terus-menerus agar pedagang itu mau mengikuti alur cerita yang mereka buat demi menguntungkan pihaknya sendiri.
Dalam kekalutan itu, masih ada seorang berbaik hati bernama Petugas 1 yang berniat membebaskan Susila karena pedagang itu pernah berjasa bagi hidupnya. Namun nahas, petugas 1 tersebut ketahuan membantu Susila dan mengkhianati atasannya sehingga ia dibunuh.
Cerita berlanjut. Usut punya usut, ternyata sang intelijen yang kemudian mencintai Susila berbalik arah. Kini ia malah ingin melepaskan Susila dari tekanan para polisi moral yang berniat mengeksekusi Susila keesokan harinya.
“Dia tidak bersalah, konspirasi ini harus diakhiri, sebaiknya Susila dikeluarkan dari penjara.” Ujar sang agen berkode 36 B yang sebelumnya menyamar sebagai penari tayub, dan kemudian memacari Susila.
Sang agen berhasil membebaskan Susila. Negara pun gempar. Maka dibentuklah GAM (Gerilyawan Anti Maksiat) yang ditugaskan mencari Susila.
Pencarian tak berhasil. Negara kemudian dinyatakan dalam keadaan darurat moral. Namun, pengadilan tetap dilanjutkan dengan terdakwa in absentia.
Karena Susila tak bisa dihadirkan, maka hakim memutuskan pengganti, yaitu kloset yang ada di ruang tahanan Susila sebagai terdakwa. Dan kloset pun diputuskan bersalah, karena terbukti di dalamnya terdapat sidik kotoran Susila.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H