Mohon tunggu...
Bawah Paras Laut ۞
Bawah Paras Laut ۞ Mohon Tunggu... lainnya -

~Diaspora Tanah Kumpeni, 40+, domisili di suburb Amsterdam. Paspor merah, hati tetap ijo. Mencoba menulis isu sehari-hari untuk dokumentasi pribadi. Sukur-sukur berguna bagi sesama.~\r\n\r\n“If you don’t like something, change it, if you can’t change it, change your attitude” -Maya Angelou-

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Garong, Mimpi Buruk Para Pelancong

1 April 2013   12:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:55 617
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cuaca justru bersahabat pada hari apes itu. Matahari hangat, angin sejuk semilir, dan langit cerah. “Pemandangan dari atas gunung pasti menakjubkan,” begitu benak saya. Sepekan di Ekuador, diguyur hujan deras, mengurungkan niat saya melihat puncak gunung Mandango, dataran tinggi cantik diapit oleh ngarai Vilcabamba. Buat sebagian penduduk desa Quichuas, gunung ini dianggap keramat karena mirip patung Inka sedang terlelap.

Hari naas itu, saya ditemani dua orang teman—satu wanita dari Belanda dan seorang pekerja sosial pria asal Jerman—berniat mendaki Mandango. “Hati-hati, rutenya terjal dan banyak pencoleng!” seorang penduduk setempat memperingatkan. “Ah, saya baca di milis dunia maya, kriminalitas terakhir tercatat dua tahun lalu,” batin saya menenangkan. Lagipula, saya tak sendirian dan kami sudah biasa jadi backpacker. Siapa takut!

Cukup tersengal kami menapaki jalan menanjak, mengikuti peta yang di-print dari internet. Kira-kira empat jam kemudian, kami lega sampai di Mandango. Teman pria saya mulai jeprat-jepret foto panorama. Saya menghela nafas panjang sembari menikmati suguhan pemandangan alam. Kenalan Jerman saya masih mengamati foto-foto di kameranya. Tiba-tiba ia berteriak, “Hey, kita tak sendirian. F*ck, ada rampok!” Ia melempar kameranya ke balik semak.

[caption id="attachment_252191" align="aligncenter" width="600" caption="Foto: lintasindonesia.com"][/caption]

Belum sempat saya menoleh, di belakang kami sudah berdiri tiga laki-laki sambil mengacungkan senapan, pistol, dan belati. Muka mereka tertutup masker bivak ala tentara dan satu di antaranya mengikat wajahnya dengan syal tebal. Kami lemparkan ransel butut kami ke arah mereka. “Tiarap!” hardik mereka. “Donde esta la camera? Donde?” sergah mereka. Mereka sudah melihat kami ceklak-ceklik membuat foto. Salah seorang perampok itu bergegas mencari kamera di rerumputan.

Pencoleng lainnya langsung menggeledah isi tas kami. Ia tak menemukan apa-apa dan mulai kalap. “Donde esta el dinero?” ancamnya. Saya tak membawa uang. Mereka tak menggubris gelengan kepala saya dan mulai menempelkan laras pistol ke pelipis saya. Saya mulai terisak. Mereka menggeledah saya, melepas paksa ikat pinggang, arloji, dan cincin di jari saya. Pasir menempel di pipi mulai terasa seperti lumpur campur air mata dan keringat dingin.

Salah satu garong itu akhirnya menemukan kamera di gundukan tanah di sela pepohonan. Mereka bersorak kegirangan dan mengambil rokok dari salah satu tas kami. Mereka ‘pesta’ sejenak. Bahkan, garong itu membawa bir kalengan. Sambil tetap menodongkan senjata ke arah kami, mereka tertawa dan berkelakar bernada ‘menjurus’ sambil menatap teman perempuan saya. Saya hanya menggigil. Sinar matahari seakan ikut kehilangan nyali. Takut dan panik!

Kawan perempuan saya cuma menunduk. Saya masih ingat ia baru meng-update status di fesbuknya.Ia sempat menulis email ke keluarganya. Keadaannya baik-baik dan tak jadi soal buat perempuan kelayapan di pelosok Amerika Latin. Lamunan saya buyar. Bagaimana jika ia jadi korban kekerasan seksual? Posisi kami lemah. Senjata api bisa memainkan segalanya. Para perampok itu yang punya kuasa. Kami hanya pecundang. Diam seribu bahasa…

Nafas saya mulai sesak. Pencoleng itu tetap asyik bercanda seenaknya. Mendung mulai menggelayut. Mereka tambah mabuk. Saya tak punya riwayat asma. Tapi, baru sekali ini saya merasa tercekik di dada. Mereka memerintahkan kami lari satu-persatu. “Dor!saya terjerembab. Kawan Jerman dan Belanda menindih saya. “Kamu baik-baik saja?” tanya kami hampir serempak. Kami berpelukan. Tanpa peta, kami terhuyung menuruni lereng. Dewa Inka seolah murka.

***

Kompasianers, cerita di atas ‘untung’ berakhir happy end. Saya masih bisa menuliskan penggalan kisah ini dalam keadaan segar-bugar, meski lebih dari lima tahun sempat menghantui. Pelajaran yang bisa saya petik, nasib baik dan buruk itu berdempetan.

Kiat apa yang sebaiknya dilakukan jika mengalami perampokan seperti ini?

  • Camkan nasehat penduduk setempat. Mereka lebih tahu situasi dan kondisi wilayahnya. Jangan abaikan larangan memasuki kawasan tertentu. Hindari memakai perhiasan berlebihan atau baju bermerek. Cari tahu sebelumnya di forum diskusi internet.
  • Kemungkinan disatroni maling selalu ada. Patuhi travel warning yang dikeluarkan pemda setempat. Kemenlu Belanda atau Amerika misalnya, selalu mengeluarkan daftar tempat di negara-negara tertentu yang sebaiknya dihindari. Daftar ini konstan diperbaharui.
  • Telanjur digasak atau jadi korban? Usahakan tenang dan kooperatif. Jangan membuat penodong naik pitam atau membuat mereka merasa terancam. Serahkan semua barang yang mereka minta.
  • Segera lapor ke kepolisian setempat, meski banyak opsir yang kelihatan segan menolong. Biasanya, berkas kehilangan barang dari polisi dibutuhkan untuk klaim asuransi perjalanan di negara asal.
  • Ada baiknya bagi pengalaman traumatis Anda dengan orang yang kompeten, misalnya psikolog atau tulis di Kompasiana. Hehe… Jangan diamkan dan membiarkan larut jadi gangguan psikis atau emosional.

Salam anti bandit!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun