Resesi di Eropa yang berawal 2008 silam, sebenarnya punya sisi menguntungkan bagi profesi debt collector. “Panen di masa paceklik,” demikian kelakar teman-teman sekantor saya. Pertengahan 2010 hingga akhir 2011, saya sempat kerja paruh waktu sebagai ‘tukang tagih keliling’ di Amsterdam. Apa sih syarat jadi debiteur di Belanda? Minimal, bisa jadi pendengar yang baik dan punya empati terhadap kesulitan orang lain. Selain itu, kesabaran dan nyali kerap diuji.
[caption id="attachment_224406" align="aligncenter" width="600" caption="Foto: Maurice Boyer"][/caption]
Dulu, saya dan beberapa rekan punya istilah khusus untuk para pengutang ini: pasien ringan dan pasien kronis. Tak jarang, cerita mereka menyayat hati. Tapi, saya digaji perusahaan bukan untuk ikut menangis. Prinsip saya, jika hanyut dengan alasan mereka, saya tak bisa lagi berfikir logis. Kebanyakan, pengutang ini bermasalah dengan administrasi sehari-hari atau tak jeli memprioritaskan sesuatu. Pernah ada seorang klien yang mengasuransikan anjing kesayangannya € 2000.
Padahal, hidupnya sendiri serabutan dan gali lubang tutup lubang. Ada juga pasutri yang lima tahun berturut-turut tak berani lagi membuka surat-surat tagihannya. Mayoritas klien saya tabiatnya santun, kendati cenderung gegabah. Mereka gampang mengambil kredit untuk hal-hal tak perlu, tanpa memperhitungkan akibat jangka panjangnya. Moto hidup mereka, “Lihat saja nanti. Pasti ada jalan keluar!” Tanpa disadari, para ‘pasien’ ini menggali liang kuburnya sendiri.
Seringkali, mereka tak sanggup melunasi hutang tepat waktu, uring-uringan, kehilangan pekerjaan, ditinggal pasangan, dan yang lebih tragis—didepak dari rumah sendiri. Mirip efek bola salju yang menggelinding kencang. Pengamatan saya jadi debiteur selama 1,5 tahun, pengutang ini tak tahu jumlah pengeluaran tetap mereka tiap bulan dan mudah tergiur penawaran. Lagipula, mereka tak punya cadangan finansial jika sewaktu-waktu dipecat.
Di Belanda, jamsostek baru dikirim beberapa bulan setelah proses PHK. Jadi, selang waktu itu, orang Belanda wajib menanggung sendiri hidup mereka—entah dari pesangon ataupun tabungan. Ada pula klien yang konstruksi KPR-nya ‘ajaib’ dan terjerat hutang karena iming-iming investasi abal-abal. Biasanya, saya sarankan untuk membuang brosur-brosur tak jelas itu atau menolak pramuniaga berpakaian rapi yang kerap mengetuk pintu dan obral barang.
Lantas, bagaimana dengan ‘pasien-pasien kronis’? Di Jerman, ada seorang debt collector yang ditembak mati oleh pengutang. Di Belanda, tak jarang penagih disandera klien dan ‘menghiasi’ warta berita serta koran-koran. Untung, saya sendiri boleh dibilang tak pernah menghadapi kekerasan fisik. Kalau hardikan, cercaan, dan intimidasi, wah sudah kenyang. Haha… Apalagi, perawakan saya terbilang mungil untuk ukuran orang Belanda.
Banyak pengutang sengaja melepas gukguk-nya jika kedatangan debt collector. Saya penyayang binatang, tapi kalau harus melawan bulldog sangar agak ciut juga. Sesekali, saya membawa sedikit biskuit untuk hewan-hewan peliharaan di saku jaket. Jaga-jaga… Ada pula bapak-bapak yang langsung menyumpah serapah ketika saya membuka pagarnya. Namun, amarah itu sebenarnya hanya kedok kesedihan dililit utang dan rasa tak berdaya.
[caption id="attachment_224405" align="aligncenter" width="600" caption="Foto: Maurice Boyer"]
Pengutang-pengutang ‘akut’ ini kadang bermasalah psikis atau di bawah pengaruh miras dan narkoba. Sejauh ini, perangai mereka berubah kok bila saya tekankan ingin mencoba memahami masalah mereka dan bukan hanya datang menagih uang. Di balik pintu rumah-rumah mewah itu, banyak kisah mengharukan yang harus saya ‘telan’: perceraian, pembatalan pesanan, memberi pinjaman ke anak sendiri atau wiraswastawan kena tipu orang.
Apa pengalaman paling berkesan? Saya kenal seorang ibu-ibu sepuh yang tinggal sebatang kara ditemani kucing peliharaannya. Tiap bulan, ia sengaja terlambat membayar rekening yang menumpuk di kotak suratnya. “Biar ada orang membesuksaya,” jawabnya ketika saya tanya kenapa. Ibu ini pun selalu menyediakan teh dan kue-kue kecil untuk ‘tamu bulanannya’. Terakhir, saya mendapat SMS dari mantan kolega. “Dicariin tuh sama Ibu X, kesepian, kangen pingin curhat!” Hehe...
Yuk,hindari besar pasak daripada tiang. Salam anti inkaso!
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H