Mohon tunggu...
Bawah Paras Laut ۞
Bawah Paras Laut ۞ Mohon Tunggu... lainnya -

~Diaspora Tanah Kumpeni, 40+, domisili di suburb Amsterdam. Paspor merah, hati tetap ijo. Mencoba menulis isu sehari-hari untuk dokumentasi pribadi. Sukur-sukur berguna bagi sesama.~\r\n\r\n“If you don’t like something, change it, if you can’t change it, change your attitude” -Maya Angelou-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Curhat Dengan Malaikat, Mau?

11 Oktober 2012   20:23 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:55 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Patung malaikat bercelana jeans itu sejak April 2011 menghiasi salah satu pilar Katedral Sint Jan di kota Den Bosch, Belanda selatan. ‘Malaikat modern’ itu tengah memejamkan mata dan tangan kirinya terlihat menggenggam ponsel. Seorang perempuan warga Den Bosch terinspirasi melihat patung tersebut dan berinisiatif membuka jalur ‘curhat dengan malaikat’. Mulanya, wanita yang hingga saat ini masih terjaga identitasnya itu hanya iseng berkelakar. Ternyata, telepon hotline yang diluncurkannya booming dan terakhir sempat menghiasi harian ternama New York Times.

[caption id="attachment_217601" align="aligncenter" width="600" caption="Foto: Dirk-Jan Visser"][/caption]

Perempuan anonim itu juga melansir situs di internet dan punya lebih dari 2900 pengikut di akun twitter-nya. Mengutip situs ut Engelke, dialek Bahasa Belanda kawasan Den Bosch yang berarti malaikat mungil, setiap hari ia menerima sekitar 25 hingga 30 penelpon. Penelpon itu berasal dari beragam belahan penjuru dunia—Chile, Rusia, Meksiko, Kanada, Cina, dan penduduk lokal di Belanda. Bahkan, stasiun televisi Al Jazeera dan CNN pun membuat reportase mengenai ut Engelke.

Saya tertarik pula ingin mencoba curcol dengan ‘malaikat gaul’ ini. Pertengahan Juni 2012 lalu, saya berhasil menghubunginya. Yuk, simak perbincangan singkat kami…

“Selamat petang, dengan ut Engelke.” “Eh…Selamat sore, Is di sini.” (tertawa)

“Apa kabar, malaikat mungil?” “Senantiasa sehat, Is. Bagaimana di sana?”

Hmm... Kabar baik, malaikat. Eh…Boleh tahu makan apa tadi siang?” “Seperti biasa, roti dan minum anggur merah.”

“Tak dingin di atas sana, malaikat?” “Sesekali, ut Engelke rentangkan sayap jadi selimut tebal.”

“Biasa tidur jam berapa, malaikat?” “Malaikat tak tidur. Kami menjaga manusia sewaktu mereka terlelap.”

Percakapan kami terus berlanjut dan tak hanya chit-chat tanpa pangkal-ujung. “Saya punya pekerjaan tetap dan suami. Ini sekedar mengisi waktu luang. Kira-kira 1,5 jam per hari saya aktif. Nomor pra-bayar ini just for fun, memakai tarif reguler, dan sama sekali tak komersil. Saya pun tak mengambil keuntungan dari cuap-cuap ini. Sering, penelpon terkejut dan langsung menutup telponnya. Tapi, biasanya mereka menghubungi kembali,” lanjut ut Engelke bernada ramah.

“Pernah ada penelpon bermasalah serius?” tanya saya penasaran. “Biasanya saya anjurkan kontak nomor yang lebih kompeten atau menyalakan lilin di Katedral Sint Jan. Sembilan dari 10 penelpon mengobrol tema-tema ringan. Saya mendukung gereja, tapi bukan perwakilan rumah ibadah tertentu,” terang ut Engelke. “Lho, berarti Anda menipu, dong!”sergah saya. “Saya tak mewartakan agama. Kalau ada yang ingin mengaku dosa, saya jawab: ut Engelketak berwenang dan saya sarankan langsung ke gereja,” tampik si malaikat mungil.

Menurut ut Engelke, ia merasa tidak terbebani dan senang bisa menampung unek-unek seseorang. Namun, Natal 2011 lalu ia sempat non-aktif beberapa hari. Ia menjelaskan, “Banyak kisah tragis penelpon yang harus saya cerna: kematian anggota keluarga, kehilangan pekerjaan atau penyakit kronis. Ini di luar jangkauan saya. Saya pikir, sudah waktunya menutup nomor ini. Ratusan SMS dan voicemail menumpuk belum dibalas. Tapi, sejuk rasanya mendengar kembali suara bocah-bocah cilik dengan pertanyaan-pertanyaan polosnya. Baru-baru ini saya mendapat telpon dari Virginia dan Maryland, Amerika.

[caption id="attachment_217602" align="aligncenter" width="600" caption="Foto: Martijn van Osch"]

1349986549210127376
1349986549210127376
[/caption]

Popularitas ut Engelketak luput dari perhatian Katedral Sint Jan. Akhirnya, penghujung 2011 silam, paroki Sint Jan membuka sambungan telepon khusus bertarif € 0,80 per menit. Sayang, nomor ini hanya memiliki mesin penjawab bersuara laki-laki. Padahal, patung ut Engelkejelas-jelas berwujud perempuan. Menurut laman paroki setempat, seluruh pendapatan bakal disumbangkan untuk biaya perawatan katedral. Oya, ut Engelkeini merupakan satu dari 14 patung yang tersebar di Katedral Sint Jan, kreasi seniman Ton Mooy. Ut Engelke dan telpon genggamnya melambangkan era komunikasi masa kini.

Terima kasih atas waktunya, malaikat mungil.” “Dengan senang hati, Is. Salam penuh rahmat.”

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun