Mohon tunggu...
Bawah Paras Laut ۞
Bawah Paras Laut ۞ Mohon Tunggu... lainnya -

~Diaspora Tanah Kumpeni, 40+, domisili di suburb Amsterdam. Paspor merah, hati tetap ijo. Mencoba menulis isu sehari-hari untuk dokumentasi pribadi. Sukur-sukur berguna bagi sesama.~\r\n\r\n“If you don’t like something, change it, if you can’t change it, change your attitude” -Maya Angelou-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

“Dukun Rumput” di Lapangan Bola

7 Maret 2015   03:43 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:03 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konon, rumput tetangga selalu lebih hijau. Tak demikian halnya dengan Stadion Arena di Amsterdam, Belanda. Rumput di lapangan sepak bola ini dijaga konstan kualitasnya dan punya pengurusnya sendiri.

Juli 2014 lalu, saya dan beberapa kerabat krucil sempat mengunjungi open house stadion kondang di ibu kota Belanda ini.

Yuk, simak bincang-bincang ala kadarnya dengan Pak Henkie, salah seorang penanggung jawab fasilitas ‘kandangnya’ klub Ajax ini.

[caption id="attachment_401239" align="aligncenter" width="480" caption="Foto: B. Reksadipura"][/caption]

Pandangan saya tertuju ke dua kabel kekuningan yang menyembul dari balik hamparan rumput dan tersambung dengan monitor.

“Sensor di ujung kabel itu mentransfer data seputar pertumbuhan tunas, bakteri, dan kandungan air di rumput,” terang Pak Henkie.

Ia melanjutkan, “Monitor mini ini sementara. Nantinya, tiga mobil caddydilengkapi monitor utama akan patroli sampai pertandingan dimulai.” Mirip-mirip fit and proper test buat caleg di Tanah Air. Hehe…

Caddy itu memiliki kamera inframerah yang sanggup memindai kondisi rumput jelang dan usai pertandingan. Pokoknya canggih, deh. Seperti scanner buat otak di rumah sakit bentuknya.

“Pemindai itu sekaligus berfungsi mengukur kelembapan tanah, intensitas cahaya, dan suhu udara yang dibutuhkan oleh rumput. Rencananya bakal diganti dengan robot otomatis caddy-caddy itu,” jelas Pak Henkie.

Sementara ini, mau tak mau, Pak Henkie dan rekan-rekannya yang biasa disebut groundsmen harus bersedia menyingsingkan lengan mengoperasikan perangkat itu secara manual.

2013 lalu, rumput di Stadion Arena kejangkitan virus. Dalam kurun waktu lima hari, rumput-rumput itu menguning dan mati.

Scanner pintar itu sekalian memberikan pilihan antihama atau pupuk apa yang cocok untuk rumput yang sakit,” papar Pak Henkie.

Enggak tanggung-tanggung, ‘cuma’ untuk urusan rumput, Stadion Arena bekerja sama dengan HAS, Sekolah Tinggi Agro, Pangan, dan Ruang Hijau di Kota Den Bosch dan Venlo. Sekolah tinggi ini memberikan advis seputar perawatan teknis dan jenis rumput yang cocok buat lapangan sepak bola.

Kompasianers, rumput di Stadion Arena Amsterdam ini pernah jadi olok-olokan persdan penggemar bola Belanda karena kualitasnya buruk dan imitasi alias ‘rumput plastik’. Apalagi, stadion ini adalah kebanggaan Amsterdam dan rival utama klub bonafid Belanda lainnya, yakni Feyenoord di Rotterdam. Boleh percaya boleh tidak, rumput di lapangan bola dianggap ‘sakral’ di Walanda.

Namun, 2012 lalu, rumput di Stadion Arena menyandang predikat terbaik di eredivisie atau Liga Nasional Belanda. Kesebelasan Ajax pun, yang dulu terpaksa ‘nomaden’, kinidapat latihan teratur di ‘sarangnya’ sendiri.

Pak Henkie mengamini, “Penghargaan ini sejalan dengan penunjukan kami sebagai tuan rumah Piala Eropa 2020 mendatang.”

Lima tahun terakhir, Stadion Arena mulai investasi pula berkonsep ramah lingkungan. Umpamanya, pemasangan panel surya di atap dan pengembangan IT yang dapat mengatur arus penonton yang membeludak.

“Kami ingin dikenal di lingkup internasional,” tegas Pak Henkie setengah promosi.

Tak heran, Stadion Arena, masih soal rumput, didapuk jadi konsultan Piala Dunia di Brasil baru-baru ini dan Piala Dunia 2022 di Qatar nanti. Business as usual… Terutama Qatar bakal jadi ujian berat naga-naganya, mengingat kondisi gurun dan iklimnya.

Dampak positif lain? Ya jelas dong buat para mahasiswa di sekolah tinggi agraria. Sepengetahuan saya, bidang studi agraris biasanya kurang dilirik di Belanda karena terkesan enggak seksi. Hari gini siapa yang mau gotong cangkul, bajak sawah, dan naik traktor. Subyektif sih ini. Haha…

Bisa aja nanti mahasiswa itu jadi spesialis internasional yang menangani rumput di stadion atau mengembangkan varietas ilalang super. Ada yang minat?

Green, green grass of home. Salam bal-balan!

***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun