Mohon tunggu...
Bawah Paras Laut ۞
Bawah Paras Laut ۞ Mohon Tunggu... lainnya -

~Diaspora Tanah Kumpeni, 40+, domisili di suburb Amsterdam. Paspor merah, hati tetap ijo. Mencoba menulis isu sehari-hari untuk dokumentasi pribadi. Sukur-sukur berguna bagi sesama.~\r\n\r\n“If you don’t like something, change it, if you can’t change it, change your attitude” -Maya Angelou-

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Hah, Orang Buta Jadi Hakim?

3 Maret 2015   12:47 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:14 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kok bisa? Ya, bisa dong. Ini buktinya.

Tersebutlah Romke de Vries (66) hakim tuna netra pertama di Pengadilan Amsterdam, Belanda, yang 2015 ini resmi pensiun. 18 Februari 1982, orang sempat tercengang ketika Borgerhoff Mulder, Presidium Pengadilan Amsterdam, mengukuhkan De Vries bersama dua hakim lainnya di Belanda.

[caption id="attachment_400570" align="aligncenter" width="600" caption="Sumber: ANP"][/caption]

Tentu saja banyak orang setengah mencibir, “Bagaimana mungkin orang buta dapat menilai suatu kasus. Memandang terdakwa atau penggugat saja tak sanggup?” Toh, De Vries menjalankan ‘mandatnya’ selama 33 tahun secara profesional sebagai hakim anak.

Kompasianers, saya kepikiran juga sih, “Apa enggak ribet tuh punya cacat visual begitu?” Namanya hakim, hal-hal kecil pasti jadi perhatian. Misalnya saat tertuduh pipinya bersemu, tiba-tiba gugup atau justru menunduk malu. Isyarat tubuh begini sepertinya krusial deh di ranah pengadilan. Entah ya kalau saya salah…

Tapi, setahu saya orang-orang difabel seperti Meneer de Vries ini selalu diberi kelebihan. Semacam kompensasi. Mungkin saja indra pendengarannya 100 kali jauh lebih mumpuni dibanding kita-kita yang ‘normal’ ini.

Salah seorang kenalan saya agak-agak rabun, tapi jangan ditanya deh kupingnya. Hanya lewat telpon dia bisa tahu saat saya sedang bercanda, berkelit, berbohong ataupun jutek di kantor. Intuisinya super duper tajam!

Sama halnya dengan De Vries, kutip harian sore Belanda Het Parool, ia menekankan, “Apa yang tak diceritakan oleh seseorang di pengadilan, itu yang lebih saya dalami!”

Lalu, apa sih kelebihan hakim buta dibanding hakim-hakim non tuna netra?

Jawabannya: obyektivitas! Menurut De Vries, sitir Het Parool, tanpa bermaksud menggeneralisir, hakim pun manusia biasa yang mudah terpengaruh dengan kesan pertama. Bisa saja saat menghadiri proses peradilan, seseorang terlihat kumal atau rada-rada mabuk. Nah, hakim tuna netra boleh jadi tak silaf dengan hal-hal ini. Pedoman mereka betul-betul hanya berkas dan proses verbal.

Selama 33 tahun menjalani profesinya, tak pernah ada klien yang naik banding karena keputusan hakim De Vries. Layaknya seorang tuna netra yang berada di tengah keramaian, ia pun cenderung lebih peka telinganya. De Vries terlatih ‘mengunyah’ informasi secara sistematis, runut, logis, dan terstruktur. Selain itu, ia terbiasa menganalisis sesuatuhingga tuntas.

Cacat fisik De Vries pun terkadang justru mencairkan suasana kaku dan formal di pengadilan. Seorang ayah pernah membawa kampak ke pengadilan karena dilarang menjenguk anaknya. De Vries bersikeras ingin ‘melihat’ kampak itu dari dekat. Anda bisa bayangkan, seorang hakim tak buta barangkali sudah lari lintang pukang dan panik memanggil sekuriti.

Cerita lain, De Vries selalu ditemani oleh anjing labrador penuntun. Sewaktu seorang klien beringas ketika mendengar putusan hakim yang dirasa tak adil, gukguk labrador De Vries menyangka pria itu antusias mengajak bermain. Walhasil, amarah pria itu pudar dengan sendirinya.

Selama bertugas menjadi hakim, revolusi digital pun merambah pengadilan Belanda. Ini sekaligus menguntungkan De Vries. Dulu, tahun 70-an ia punya asisten pribadi yang membacakan dokumen, merekamnya di kaset, ataupun menyeleksi catatan. De Vries punya kertas khusus dan komputer yang dapat mentranskrip aksara biasa ke huruf Braille. Kini, laptop dapat mengambilalih fungsi itu.

Sesekali, rekan-rekan yuridis De Vries harus cekatan dan kreatif. Situasi kecelakaan lalu lintas contohnya dapat ditiru dengan mobil mainan.

Akhir kata, usaha Pak De Vries merintis jalan pembuka bagi hakim penyandang tuna netra di Belanda tak sia-sia. Propinsi Overijssel dan Oost Brabant pun sekarang memiliki hakim tuna netra. Semoga tongkat estafet terus dilanjutkan, kali-kali sampai ke Indonesia. Tak hanya melek harta, tahta, dan wanita. Hehe…

Selamat leyeh-leyeh Meneer De Vries!

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun