Mohon tunggu...
Agung Soni
Agung Soni Mohon Tunggu... wiraswasta -

Bismillah...Alhamdulillah Wa syukurillah

Selanjutnya

Tutup

Money

Aplikasi Konsep Ki Hajar Dewantara dalam Perencanaan Pendidikan Anak

31 Oktober 2015   15:04 Diperbarui: 31 Oktober 2015   15:39 787
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meraih masa depan cemerlang untuk anak adalah dambaan setiap orang tua. Terlepas dari tingkat ragam ketersediaan keuangan orang tua, maka segala upaya akan dilakukan agar anak bisa melanjutkan pendidikan hingga tingkat tinggi dan menjadi insan berdaya saing, cerdas, amanah dan bermanfaat untuk sesamanya.

Riak-riak susahnya orang tua dalam menempuh kehidupan ekonomi sangat mempengaruhi cara pandang keluarga tersebut dalam memilih pendidikan tinggi yang diinginkan. Terkadang, ada anak yang tidak ingin melanjutkan pendidikan tinggi dan memilih untuk bekerja demi meringankan beban orang tuanya. Ada juga anak yang tetap ingin bisa kuliah karena merasa mampu dalam bidang akademis dan sangat meminati bidang yang disukainya untuk dijadikan sandaran hidup kelak. Namun karena keterbatasan orang tua dalam hal finansial, ini akan mematahkan dan melumpuhkan semangat anak.

Tentu saja, hal ini sangat disayangkan. Karena sebagai orang tua, kitalah yang kurang cerdas mensiasati pendidikan anak di masa depan. 

Ada sebuah filosofi terkenal dari seorang tokoh bangsa yang bisa kita jadikan "kekuatan" yakni tokoh pergerakan pendidikan, Ki Hajar Dewantara.

"Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani", demikian filosofi yang mengemuka hingga saat ini. Tak pernah lekang oleh waktu, tetap menjadi sandaran untuk dunia pendidikan anak bangsa hingga saat ini.

Tapi, sedikit orang yang tahu bila menginginkan perencanaan pendidikan anak sukses, maka orang tua mau tak mau, tak bisa menganggap remeh filosofi tersebut. Filosofi yang mungkin di tahun 1910-1920-an sangat anti mainstream kala itu dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantara sebagai tokoh penggerak pendidikan anak sebelum kemerdekaan.

"Di depan memberi teladan, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan", menjadi rumusan terpenting untuk merencanakan keuangan demi masa depan anak kelak.

 

 

Aplikasi Filosofi Ki Hajar Dewantara dalam Keluarga

Orang tua sudah harus memikirkan rencana pendidikan anak dalam skala panjang. Rencana pendidikan anak tidak bisa dibuat seperti kita membuat rencana bisnis atau rencana penjualan disertai prediksi laba ruginya. Karena rencana pendidikan anak adalah sesuatu yang orang tua juga memikirkan kemampuan kecerdasan anak, kemampuan dalam menguasai sebuah bidang ilmu tertentu dan kecerdasan orang tua memahami bakat anak. 

Misal, anak tidak bisa dipaksa untuk memilih jurusan studi yang sama dengan pilihan ayah atau ibunya saat kuliah dulu. Atau demi gengsi, anak dipaksa harus masuk program studi favorit seperti kedokteran, teknik atau ekonomi, padahal anak ternyata lebih menyukai program bahasa asing. Ini hanya sebuah contoh kecil yang banyak terjadi di masyarakat dan tak menutup kemungkinan, keluarga kita akan juga mengalaminya.

Sejatinya, pendidikan anak adalah rancangan yang juga harus dinikmati dan membuat anak nyaman dengan pilihannya.

Dan saya berusaha menerapkan filosofi Ki Hajar Dewantara ini dalam keuangan keluarga saya. Sebisa mungkin, sesuai kekuatan dan kemampuan yang saya miliki.

Apa dan bagaimana Filosofi Ki Hajar Dewantara ini menjadi aplikatif untuk perencanaan pendidikan anak masa depan ?

Ing Ngarso Sung Tuladha dengan ungkapan Ngarso artinya depan dan Tuladha menunjukkan teladan, makna dari konsep ini adalah setiap manusia memiliki kesempatan menjadi pemimpin dengan memberikan teladan kepada siapa saja dalam kebaikan dan kehormatan. Dalam level management apa saja, ia harus memberikan contoh yang baik.

Contoh kebaikan yang harus diterapkan dalam keuangan keluarga adalah hidup sederhana dan "gemar menabung". Karena kekuatan keuangan adalah "bisa menyimpan" saat muda dan kuat untuk "digunakan" saat tua dan lemah. Inilah contoh kekuatan teladan yang bisa diaplikasikan dengan asuransi pendidikan untuk anak.

Saya memilih menyimpan uang dalam 1 bulan untuk disimpan dalam asuransi pendidikan kurang lebih sekitar 2 juta untuk 2 anak saya. Karena anak pertama, alhamdulillah sudah lulus dari fakultas kedokteran gigi dan sekarang sudah menjadi dokter di sebuah klinik terkemuka di Denpasar, Bali.

Dengan hitungan 1 juta untuk 1 anak per bulannya, maka tidaklah berat jika diumpamakan, dalam satu hari kita menahan uang sebesar Rp.33.000,- saja. Tentu saja, hitungan setiap keluarga di atas kertas bisa berbeda. Dengan memperhatikan fokus keluarga pada pendidikan masa depan anak, uang sebesar itu tidaklah memberatkan bila melihat dan memandang manfaat yang akan diperoleh kelak buat anak saat mereka membutuhkan dana untuk masuk perguruan tinggi.

Ing Madya Mangun Karsa dengan madya berarti "tengah" dan karsa bermakna "kehendak". Siapapun kita, sebagai kepala keluarga adalah seorang middle manager, artinya apabila mau berpikir dan bertindak konsisten, siapapun pemimpin itu pasti punya atasan sekaligus bawahan. Jika ingin berhasil, dianjurkan untuk dapat memperhatikan, membentuk, memelihara dan menjaga keseimbangan antara kehendak juga keperluan atasan dengan bawahannya.

Jika memang bercita-cita untuk memasukkan anak ke dalam sebuah program studi favorit yang terbaik atau menyekolahkan anak di luar negeri, misalnya, kita sebagai orang tua harus memperhatikan minat, kemampuan intelektual dan akademis anak. Membangkitkan semangat anak untuk menjadi "sesuatu" yang terbaik di masa depan. Memberikan anak pencerahan akan pentingnya sudah mulai memikirkan bidang apa yang akan mereka jadikan sandaran hidup sejak lulus sekolah menengah dan berusaha mengarahkan mereka pada bidang yang juga sesuai dengan keuangan kita sebagai orang tua.

Atasan orang tua adalah anak, dalam artian kita menyerahkan sepenuhnya bidang studi yang mereka minati dan ingin digeluti kelak saat kuliah. Anak pun akan menjadi bawahan, saat anak setiap bulannya mendapat ongkos dana untuk membayar pendidikan mereka. Tapi sekali lagi, jangan disalahartikan kalau "atasan bawahan" yang saya tulis, "sama" dengan yang terjadi di sebuah perusahaan atau organisasi. Tidak ada makna untung rugi untuk orang tua maupun anak. Lebih kepada simbolis bahwa anak adalah buah cinta yang wajib dihargai kemauannya, cita-citanya dan kemauan mereka juga harus mengikuti kemampuan keuangan orang tuanya.

Titik temu yang diharapkan adalah cita-cita anak akan menemui kesanggupan dari orang tua untuk bisa membayarkan semua keperluannya saat meraih cita-cita tersebut.

Tut Wuri Handayani dengan makna "wuri" adalah di belakang, dan "Handayani" bermaksud "memberi kekuatan/dorongan". Sebagai orang tua, kita harus bisa memberi arahan dan motivasi kepada anak, bukan memanjakan namun juga memberi mereka rasa aman dan nyaman saat melakoni perjalanan hidup dalam meraih cita-citanya.

Kehidupan anak di masa mendatang sangatlah penting. Kita tidak tahu, kapan kita akan meninggalkan mereka (wafat) dan saat kapan anak akan membutuhkan dana yang cukup besar untuk kuliah, sedangkan orang tua "belum cerdas" dalam keuangan akan mempersulit anak meraih cita-citanya. 

Rasa aman, itulah pentingnya membukukan rencana keuangan anak dalam bentuk sebuah asuransi pendidikan berkala. Menyesuaikan dengan prinsip ekonomi keluarga, menghindari "besar pasak daripada tiang" maka asuransi pendidikan untuk anak adalah jawaban "rasa aman" yang bisa diberikan orang tua untuk masa depan mereka.

Contoh nyata adalah saya tidak akan malu-malu atau merasa khawatir saat anak sudah duduk sebagai mahasiwa kedokteran gigi karena keuangan keluarga saya atas berkat Tuhan bisa mencukup biayanya hingga lulus menjadi seorang dokter. Namun, bagaimana ketika anak dalam keadaan mendadak perlu dana untuk membayar alat praktikum yang mahal, misalnya? Maka inilah peranan ornag tua sebagai pemimpin untuk bisa menjadi fasilitator dan konseptor keuangan yang terencana dan terukur sangatlah diperlukan.

Meletakkan semua dalam proporsi yang benar dan terukur antara kemampuan, cita-cita anak dalam kerangka pendidikan dengan kemampuan keuangan orang tua sangatlah mutlak.

Disinilah "kebijakan" peran orang tua dalam berasuransi. Merencanakan itu penting. Tapi lebih penting adalah harmonisnya keluarga dalam keseimbangan orang tua dan anak, itulah watak luhur bangsa Indonesia yang jangan sampai terabaikan.

Salam Kompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun