Bila ada berita musibah banjir melanda bumi Indonesia ini, maka saya pribadi akan langsung bisa merasakan pedih dan menderitanya bila menjadi korban. Mungkin banyak orang akan tidak percaya kalau banjir memang menjadi langganan tempat saya bekerja dan sekaligus menjadi tempat tinggal kami di Denpasar selama 6 Tahun. Sejak Tahun 2006 , banjir sudah mulai masuk ke dalam bengkel dan menjadi tontonan para pengemudi kendaraan yang lewat di jalan raya. Bukan saja tertawa melihat bengkel kami terendam banjir, mereka terkadang melajukan kendaraan dengan cepat agar ombak banjir bisa masuk ke dalam bengkel sambil tertawa terbahak-bahak. Saya cuma bisa woles saja deh. Itu hak mereka untuk tertawa dan bahagia melihat kami bergulat dengan banjir.
[caption id="attachment_316597" align="aligncenter" width="610" caption="Bengkel Sebelum Sesudah Banjir ( Dokumen Pribadi )"][/caption]
Dengan kedalaman banjir hingga 1 meter dan di dalam rumah mencapai 1,5 meter kami terus hadapi selama 6 tahun. Bila waktu sudah memasuki awal November , maka kami pun segera bersiap-siap menghadapi musibah itu. Bukan takut atau khawatir, tapi kami mulai menjadikan semua peralatan rumah tangga menjadi lebih tinggi dari sebelumnya. Kursi tamu (sofa) kami angkat dan kotak krat bekas minuman soda menjadi kaki-kakinya sofa. Rak Televisi kami las dengan tambahan pipa besi hampir 40 centimeter. Ranjang kami tambahkan pipa besi hingga 50 cm. Semua peralatan dapur kami masukkan ke dalam lemari dapur yang kami tinggikan juga. Dan tempat gas LPG pun juga dibuat lebih tinggi. Ini kami lakukan selama 6 tahun !
[caption id="attachment_316598" align="aligncenter" width="488" caption="fb/Agung Soni"][/caption]
Dan memasuki bulan Januari kami pun harus berterimakasih kepada banjir yang sudah menjadikan tempat bekerja kami menjadi " kolam renang alami " yang gratis tanpa harus menggali tanah.
[caption id="attachment_316600" align="aligncenter" width="520" caption="FB/Agung Soni"]
Perih memang ...
Dan puncaknya yang membuat hati saya semakin sedih adalah ketika istri saya melahirkan anak ketiga kami di tahun 2009 dan kami memiliki bayi mungil yang masih rentan dengan penyakit. Kami terkadang ingin menangis melihat kenyataan yang terjadi. Tetapi kembali kepada realita yang ada, istri dan saya sepakat untuk tidak menangisi musibah dengan bersikap lemah dan lembek. Kami mencoba tegar dan sabar. Anak-anak kami yang memberi ilham sabar kepada kami.
[caption id="attachment_316599" align="aligncenter" width="525" caption="FB/Agung Soni"]
Bukan hanya penderitaan keluarga yang kami sikapi dengan positip thinking dan tetap sabar, tapi bengkel yang juga menjadi tempat mata pencaharian kami harus mengalami kerugian material tidak sedikit. Dengan kehadiran banjir, kami harus menutup bengkel selama 3 sampai 5 hari untuk menunggu keringnya bengkel. Tidak perlu ditanyakan berapa omzet bengkel yang hilang selama 3-5 hari kami tutup. Cukup membuat kami harus tetap tertawa dalam tangisan. Belum lagi memikirkan bagaimana karyawan-karyawan kami yang beristirahat selama banjir melanda. Memikirkan cost yang harus kami bayar saat banjir saja sudah membuat penat pikiran, belum lagi biaya -biaya lain yang tetap timbul walaupun bengkel tutup. Cukup sudah , Tuhan membuat kami harus tetap tegar di atas pahitnya kenyataan.
Dan akhirnya di tahun 2009, Â saya mencoba menulis surat elektronik kepada Pemerintah Kota Denpasar.