Panas sekali rasanya Kota Denpasar siang ini. Lagi gerah-gerahnya, lewatlah seorang anak penjual buah keliling yang tidak biasanya saya lihat melintas depan bengkel. Tingginya kurang lebih 130 centimeter, berkulit sawo matang dan wajah yang semringah ( sering senyum dan tertawa).
Made, ia menyebut namanya. Usianya baru 11 tahun. Setiap hari kepalanya dibebani 50 sampai 100 macam potongan buah-buahan segar untuk dijajakan keliling kota Denpasar. Sambil berkalung tas pinggang dan bersendal jepit, ia lintasi Denpasar Barat hingga ke pelosoknya.
Made mengaku kalau ia tidak punya biaya untuk bersekolah. Ayahnya keburu meninggal saat ia masih kelas 4 SD. Adik-adiknya ia tinggalkan di Karangasem bersama ibunda tercinta. Made hidup berjualan dengan mengikuti orang sebagai majikan besar yang menyediakan tempat tinggal buat anak-anak jalanan seperti Made dan menyediakan buah setiap harinya.
Dagangan yang dijual Made memang banyak jenisnya. Ada pepaya, jagung sisir, melon, semangka, salak, dan lain-lain.
[caption id="attachment_314085" align="aligncenter" width="480" caption="Made (11 th) penjual buah keliling, segera membalikkan badannya ketika tahu ia hendak saya ambil gambarnya (dok.pribadi)"][/caption]
Dari hasil berjualan keliling selama 8 jam ( dari jam 8 pagi sampai 3 sore) , omzet Made mencapai 200 - 300 ribu rupiah sehari. Dan dari uang jualan sehari, Made hanya diberi 40 ribu rupiah. Kata bosnya Made, "sudah untung kau tidak bayar kost, di Denpasar kost mahal. Uang ini untuk membayar makan dan kost kamu sebulan". Made tidak sendirian. Ia bersama teman-temannya hidup dalam satu kost. Paginya Made dkk disebar ke semua penjuru kota untuk menjual buah segar.
"Kenapa Made ndak sekolah ?", pancing saya.
Made hanya melambai-lambaikan tangannya sambil berkata , " Sing lapis, Oom". ( tidak punya uang--artinya).
"Mau ikut Oom terus Made sekolah. Made gak usah kerja. Di rumah Oom saja tinggalnya. Mau ?", tanya saya iba.
"Udah Om. Ini kembaliannya ya. Suksma", Made menolak saya dengan halus sambil berlari.
Saat saya berusah mengambil wajah Made untuk dipotret pun ia cepat - cepat membalikkan badannya tanpa ada perasaan sungkan kepada saya. Katanya, "Malu Oom, jelek begini".
---oOo---
Ada 3.530.305 siswa miskin yang ada di Indonesia dan menjadi target bantuan KemendikBud sepanjang tahun 2012-2013. Belum lagi jumlah anak jalanan yang hidup di jalan baik sebagai pengemis, gelandangan, pengamen sampai penjual koran dan buah hampir menyentuh angka 55 ribu anak di seluruh Indonesia. Bukan angka yang kecil dan cukup memprihatinkan bila kita berkaca dari keadaan pembangunan perekonomian nasional yang disebut-sebut mengalami pertumbuhan signifikan dan bagus (kata presiden kita di forum nasional dna internasional), namun nyatanya tetap saja , nasib anak-anak terlantar dan putus sekolah ini tidak bisa dibantu dan diatasi. Malah jumlahnya setiap tahun bertambah dan membengkak.
Lebih herannya buat kita, Bali sebagai propinsi tujuan pariwisata dunia dan nasional, ternyata hasil pembangunan perekonomiannya hanya menyentuh bagian-bagian kehidupan tertentu.
Jangan kaget ya, kalau wisata ke Bali, nanti anda akan menemui anak-anak kecil seusia SD/SMP menawarkan hasil kerajinan dan buah-buahan. Dan jangan kaget lagi kalau di antara mereka ada juga yang mengemis dan menjadi kuli buruh panggul di pasar-pasar.
Semua anak tinggal bersama saudara atau teman di kos-kosan di Denpasar, namun kondisinya mengenaskan. “Mereka menyewa satu kamar kecil berisi 3-5 orang, dan bercampur antara anak dan dewasa,” kata Sri. Di sisi lain, seluruh pekerja anak dan orang tuanya ini tak bisa mengakses program kesehatan gratis karena tak punya KTP dan kartu keluarga.
Anak-anak ini harus menyetorkan sebagian penghasilan pada orang tua atau wali yang menampung di Denpasar. Kekerasan dialami nyaris tiap hari dari teman seprofesi dan orang dewasa karena rebutan lahan pekerjaan.
Solusi penanganan yang ditawarkan Sri Wahyuni, mantan Ketua Komisi Perlindungan Anak Daerah Bali ini adalah melakukan pendampingan, dukungan pendidikan di luar jam kerja anak-anak, dan memberikan alternatif keterampilan. “Selama program penanganan di daerah asal seperti Karangasem yang tidak serius dan berkelanjutan, kita tetap akan melihat mereka di jalanan,” kata Sri.
Dinas Sosial Denpasar menyebutkan dalam situs resminya, rata-rata ada 40-50 anak gelandangan pengemis (gepeng) yang ditangkap Satpol PP tiap bulan. Tahun lalu sebanyak 348 orang gepeng, sebagian besar anak-anak yang ditangkap dan dipulangkan ke daerah asalnya. Karena sebagian ditangkap berulang-ulang, jumlah gepeng yang ditangkap jumlahnya sekitar 150 orang per tahun.
Beginikah Pemerintah Kita yang tetap Kekeuh Mengatakan Bahwa Indonesia Cukup Stabil Pertumbuhan Ekonominya ? Sedangkan mereka hidup dalam kemiskinan, kesusahan, ancaman kekerasan seksual dan pelecehan.
Ah, saya tidak bisa membayangkan bagaimana Indonesia (terutama Bali) 5 tahun kedepan ???
Salam Pepaya (Pemerintah Payah ! )
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H